bab 5

1144 Kata
Dua bulan kemudian kami resmi menikah, kehidupan rumah tanggaku jauh lebih rumit dibanding dengan pernikahan pada umumnya. Raihan masih saja melakukan kebiasaan buruknya Gonta&ganti wanita, meski sekarang dia tidak pernah membawanya ke rumah karena mungkin ada aku di sana. Dia juga pekerja keras, bahkan setelah pulang kantor dia lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerjanya. Aku sendiri melakukan hal yang aku sukai selama itu tidak melanggar perjanjian yang kita buat. Di luar sana banyak wanita yang mendambakan Raihan menjadi suaminya karena dia termasuk pria idaman, tapi bagiku dia tidak lebih pria iblis yang bersembunyi dibalik wajah tampannya. Ketika keluar rumah meski hanya sekedar nongkrong tak jarang aku sering mendapatkan tatapan iba dari orang lain, belum lagi jika ada orang yang mengatakan hal buruk tentang Rai yang masih mempertahankan kebiasaan buruknya. Aku hanya bisa tersenyum, sakit hati? Tentu tidak, hanya saja aku sedikit lelah jika harus mendengarkan ocehan mereka seolah aku ini adalah istri bodoh yang hanya bisa diam saat suaminya berulah, ya, karena mereka tidak pernah tahu apa yang terjadi. "Semalam pulang jam berapa?" Tanyaku saat sarapan pagi. "Bukan urusanmu!" "Jawabanmu selalu sama." "Bukankah kita sudah sepakat dengan hal itu jauh sebelum kita menikah?" Aku menyerah dan lebih memilih kembali fokus pada makanan yang aku buat, selama pindah ke Singapura, aku tidak mempunyai teman satupun entah karena mereka tahu bahwa aku adalah wanita yang hanya beruntung bisa menikahi pemuda kaya, dari awal kasta kami memang berbeda. Pernah mencari teman dari kalangan kolega Raihan, yang ada aku hanya jadi bahan gosip karena tidak paham dengan apa yang mereka bahas. Terkadang mereka membahas bisnis, tas bermerk, berlian dan lainnya. Di sana aku hanya diam mendengarkan mereka mengobrol dan itu membuatku tidak nyaman. Setiap malam Raihan selalu tidur di sampingku, terkadang saat aku terjaga tanpa sadar sering memandangnya dalam diam. Dia terlihat begitu tenang dalam tidurnya, bahkan wajahnya tidak pernah mengguratkan rasa lelahnya bekerja setiap hari. Hanya tiga tahun? Iya, tiga tahun! Itu bukanlah waktu yang lama bukan, aku pasti bisa bertahan. Dua bulan menikah dengannya, uang di tabunganku sudah lumayan besar, kuakui Rai sosok suami yang royal hanya saja aku yang sering mikir untuk tidak terlalu boros dalam hal keuangan karena aku tahu ini hanya sementara, aku takut tidak bisa mengontrolnya sampai waktunya tiba. "Semalam wanita mana lagi yang kamu bawa kencan?" "Maksud kamu?" Tanyanya tanpa mendongakan kepalanya saat membaca majalah. Aku menyodorkan i-pad yang memuat gosip tentang suamiku yang baru saja keluar dari hotel bersama seorang wanita yang dikabarkan berprofesi sebagai model. "Dasar gosip murahan!" Umpatnya seraya menutup kembali majalah yang ia baca, ini adalah weekend dan dia memang sering berada di rumah. "Di sini aku seperti orang bodoh." Ucapku dengan tersenyum sinis. "Sudah, jangan terlalu diambil pusing. Toh itu 'kan hanya rumor, kenyataannya belum tentu." "Oh ya? Bagaimana mungkin saat dua orang keluar dari hotel yang sama secara bersamaan masih disebut rumor?" Rai menatapku tajam, sama halnya setiap kali ketika aku mempertanyakan kemana dia pergi, dengan siapa dan apa yang dilakukannya. "Tapi bukan berarti aku melakukan sesuatu bukan? Lagipula aku sering mengatakannya padamu, itu bukan urusanmu." "Aku geli mendengarnya saat kamu mengatakan tidak melakukan apa-apa. Bukan kah hotel tempat untuk tidur?" "Aku tidak tidur dengannya!" Ucapnya dengan santai. "Tidak tidur? Kamu tidak lihat komentar yang ditinggalkan wanita itu?" Rai menggeleng, ia bangkit membawa majalahnya ke ruang kerjanya. "Nanti siang, mama akan datang. Lebih baik kamu diam jangan mengadu sepertinya itu akan jauh lebih baik." Tegasnya sebelum menutup pintu ruang kerjanya. Mengadu? Maaf itu bukan sifatku. "Hai, Dela! Apa kabar?" Tanya Mamahnya Rai. "Baik, Mah! Mamah sendiri, apa kabar?" "Baik dong." Aku mencium punggung tangan Tuan Hakim yang kini jadi mertuaku, "Rai mana?" Tanyanya celingukan karena tidak melihat sosok anaknya itu. "Ada kok di ruang kerjanya, mamah dan papah duduk saja dulu. Biar aku panggilkan Rai." Beberapa kali aku mengetuk pintu tidak ada sahutan dari dalam, apa mungkin dia ketiduran? Dengan memberanikan diri aku membukanya. Tidak ada siapa-siapa. Kemana dia? Aku pun masuk dengan perasaan was-was, jujur baru kali ini aku memasukinya biasanya aku hanya menunggunya diambang pintu. "Kamu sedang apa mengendap-ngendap begitu?" "Ah, sial! Kamu bikin aku jantungan saja." Rai hanya mengangkat bahu acuh, dia baru saja kembali dari toilet yang ada di sana. Mataku di manjakan dengan ornamen-ornamen yang membuat pikiran tenang, pantas saja dia sering menghabiskan waktunya di sini. "Sudah tournya? Ada apa?" Aku mengerucutkan bibir, "Mamah dan papamu sudah ada di bawah, mereka menunggu kamu." "Baiklah." Dan untuk pertama kalinya, dia menggandeng tanganku meski sedikit menyeretnya menuju lantai bawah. Bahkan tangannya kini berpindah merangkul pinggangku, merapatkan pada tubuhnya. Mamahnya Rai terlihat senang melihat kami berjalan berdua beriringan. "Mah, apa kabar?" Tanya Rai memeluk sosok ibunya dengan hangat, seperti biasa di hadapan orang tuanya dia akan berubah menjadi anak yang baik dan penurut. "Kapan kalian akan memberikan cucu pada kami?" Pertanyaan Tuan Hakim membuat darahku berhenti mengalir, cucu? Ah, sudahlah boro-boro memberinya cucu tidurpun kami layaknya orang asing yang hanya berada di atas tempat tidur yang sama. Raihan meraih tanganku, "Kami hanya ingin menikmati suasana sepeti ini dulu, nanti juga kalau misalkan kami sudah siap, kami akan memberi kabar pada kalian. Bukan begitu, sayang?" Aku mengerjap beberapa kali, Sayang? Sungguh akting yang bagus, aku pun mengimbangi sandiwara yang dilakukan Rai. "Iya, sayang!" Tiba-tiba Rai mencium pelipisku, keringat dingin mulai menjalar. Tuhan! Help me! Entah kenapa saat Rai berubah seperti sekarang malah membuat hatiku menghangat, cara dia memperlakukanku, memperhatikanku dari mulai hal terkecil sedikitpun dia lakukan. Jauh berbeda saat kami hanya berdua saja, apa ini sisi baik dari sosok Rai? "Aktingmu bagus, begitu meyakinkan!" Ucapku saat kami sudah berada di dalam kamar. Tidak ada jawaban dari sang empunya pemeran utama, seperti biasa dia sibuk membulak-balik majalah bisnis. "Kamu juga!" Jawabnya setelah beberapa saat. Aku berdiri di depan jendela kamar, melihat jauh ke luar sana, langit yang berwarna jingga seolah memberikan keindahan yang luar biasa. Kini Rai berdiri di sampingku, dia melakukan hal yang sama denganku. "Kamu suka melihat matahari terbenam?" "Begitulah." "Kenapa?" Tanyanya lagi. "Aku tidak tahu, suka aja." "Lah, bukannya setiap apa yang kamu suka harus ada alasannya." Aku tersenyum tipis, "Tidak semua yang kita sukai harus disertai dengan alasan, sama halnya dengan apa yang sering kamu lakukan." Rai mengangkat satu alisnya, mewakili bahwa dirinya bertanya "Apa yang aku lakukan?" "Itu kamu sering gonta-ganti perempuan." Rai tersenyum, "Kamu keberatan?" "Keberatan? Tentu saja tidak, hanya di sini aku seperti seorang istri yang bodoh, aku tidak bisa memikirkan bagaimana wanita-wanita itu berfikir tentangku. Apa dimata mereka aku ini seorang istri yang bodoh? Atau bisa jadi istri yang takut pada suami? Atau bisa jadi aku ini hanya istri pajangan." "Makanya gak usah di pikirin, it's much simpler." "Ah, benar juga. Untuk apa aku berfikir tentang mereka, oh iya selama orang tuamu ada di sini lebih baik kamu menjaga sikapmu, tetap jadilah seorang Raihan yang baik dan berbakti." Aku meninggalkan Rai yang tidak mengatakan apa-apa, setidaknya selama mertuaku ada di sini dia akan pulang tepat waktu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN