Episode 13 : Cinta Tulus Alvaro Untuk Arina

1279 Kata
Semenjak malam itu, Arina merasa hidupnya diawasi. Zack, pria itu selalu mengikuti Arina, di setiap Arina bepergian dari rumah. Arina duduk di teras, Zack mengamati dari luar gerbang rumah Arina. Arina ke kafe, pria itu juga menyusul. Arina ke toko buku, pria itu juga tidak absen. Bahkan ketika Arina membantu Marwa membeli keperluan dapur seperti sayuran dan daging di pasar tradisional, Zack yang selalu tampil keren baik itu mengenakan setelan jas atau mantel hangat tak ubahnya model andal sebuah produk pakaian ternama, juga tetap hadir. Pria itu terus menatap Arina dalam dan tampak sangat berharap. Membuat Arina salah tingkah bahkan semakin bingung. Hanya saja, ketika Arina bersama Alvaro, bisa Arina pastikan, Zack tidak mengikutinya. Atau jangan-jangan, Zack tetap mengamati, Arina saja yang tidak tahu? ****  Hari Minggu ini, Alvaro mengajak Arina untuk kembali berkunjung ke rumah pria itu. Tentunya, Arina telah menyiapkan mental lahir dan batin, sebab hingga detik ini, Malini calon mamah mertuanya belum juga memberinya restu. Belum lagi jika Sanya selaku kandidat menantu idaman Malini, ada di sana. Ke dua sejoli itu; Malini dan Sanya, pasti akan kembali sibuk mencoba mengaramkan kapal Arina dan Alvaro. “Sayang? Kok serius banget?” Alvaro menatap wanita di sebelahnya seiring benaknya yang menjadi bertanya-tanya. Mengenai Arina yang tampak begitu serius dengan ponselnya. Apa yang sedang wanita itu baca atau sekadar pahami? Kenapa selain tampak serius, Arina juga tampak tidak percaya? Di tengah kesibukannya, Arina menyempatkan diri untuk menoleh dan menatap Alvaro yang kali ini tengah mengemudi. “Ini, Mas ….” “Apa …?” Sebelah tangan Alvaro membelai rambut bagian punggung kepala Arina dan kebetulan tergerai sempurna. “Ya aneh saja … semua novelku mendadak ludes di pasaran. Dari yang di toko, yang via online, … semuanya enggak tersisa, Mas!” balas Arina. “Lho … kalau gitu, harusnya kamu senang, dong? Bakalan cetak ulang dan dapat predikat mega best seller?” Alvaro kian tersenyum lepas sembari meyakinkan calon istrinya. Arina tak mengomentari dan justru terdiam. Ia menatap Alvaro dengan pandangan tidak yakin, terlepas dari wanita itu yang merasa aneh atas terjualnya semua bukunya secara serempak. Harusnya, … harusnya Arina memang senang atas terjualnya semua buku-bukunya secara serempak. Namun, kenapa selain merasa aneh bahkan janggal, Arina juga sampai merasa takut. “Sudah, jangan dipikirkan. Mungkin saja itu kekuatan dari pembacamu. Kekuatan dari semua doa mereka yang telah kamu bantu. Sudah begitu, berarti memang sudah jadi rezekimu,” ujar Alvaro yang kian sibuk membelai kepala Arina. Arina menelan salivanya, seiring ia yang merasa masuk akal, apa yang Alvaro katakan memang benar. “Ya ampun, Rin. Sudah, syukurin saja. Berarti itu sudah jadi rezekimu. Sudah … sudah. Lebih baik sekarang kamu fokus ketemu ibu suri Malini. Siap-siap pokoknya!” batin Arina yang menyemangati dirinya sendiri. Arina menarik napasnya dalam-dalam dan menata dirinya sedemikian rupa hanya untuk menemui calon mamah mertua. “Mas, … si Sanya, ada di rumah, ya?” Arina menatap Alvaro dengan saksama. “Kalaupun ada, aku juga enggak pedulikan, kan?” balas Alvaro yang langsung menjadi malas hanya karena membahas Sanya. Arina langsung membenarkan posisi duduknya. Awalnya, ia menegapkan punggungnya. Namun tak lama setelah itu, ia juga sampai menyandarkan punggung berikut kepalanya pada sandaran tempat duduk yang ia duduki, hingga tanga Alvaro yang masih sibuk membelai kepalanya, berangsur beranjak dari sana. Akan tetapi, tangan Alvaro tak beranjak begitu saja dari Arina. Sebab tangan itu berangsur menggenggam sebelah tangan Arina yang juga kerap tangan itu belai. Arina bisa memastikan betapa Alvaro sangat mencintainya. Betapa pria itu ingin memanjakannya. Arina merasa sangat bersyukur akhirnya mereka bisa bersama. Pun meski pada kenyataannya, hubungan mereka juga tidak mulus dari cobaan. “Mas, … sebenarnya, … sebenarnya, … aku cemburu banget, lho, sama Sanya.” Arina menunduk murung. Membuatnya mendapati jemari tangan Alvaro yang berhenti membelai gandengan mereka. Alvaro mengernyit tak mengerti. “Bahkan aku enggak pernah kasih dia kesempatan, kan?” “Bukan itu, Mas.” Arina menatap kedua manik mata Alvaro sembari tersenyum masam. “Dia tuh sempurna banget. Cantik. Berpendidikan. Dokter. Pinter masak. Pinter beres-beres rumah.” Arina mengakhiri ucapannya dengan helaan napas dalam. “Menantu sempurna ….” “Apa yang tampak sempurna di mata kita, belum tentu dirasakan juga oleh orang lain bahkan yang bersangkutan. Kalau kita hanya bisa iri dengan apa yang orang lain miliki, bisa jadi Tuhan marah, kemudian Tuhan ambil apa yang telah kita miliki,” ujar Alvaro yang memfokuskan pandangannya ke depan, kendati sebelah tangannya masih menggenggam tangan Arina. Apa yang Alvaro katakan membuat Arina merasa tertampar. “Enggak sepenuhnya iri, sih, Mas.” Arina menunduk. Tangannya yang bebas berangsur menggenggam genggaman tangan mereka. “Aku hanya enggak habis pikir, aku sudah mati-matian belajar masak, sampai jari-jariku nyaris kepotong, masih saja enggak bisa. Yang hambar lah. Kemanisan lah … keasinan lah … ancur banget lah.” “Enggak semua wanita harus bisa masak, kan? Koki saja, kebanyakan laki-laki. Lagian, aku juga enggak minta kamu buat bisa masak. Aku enggak mau waktumu justru habis di dapur, sementara aku justru terlantar. Ayolah … tanpa masak, kita juga bisa tetap makan enak. Tinggal pesan, pilih, bayar! Aku nikahin kamu bukan buat bikin hidup kamu susah. Apalagi tanpa nikah pun, kamu bisa hidup berkecukupan, kan? Tentu aku harus kasih kehidupan yang lebih layak dari sebelum kamu sama aku!” tegas Alvaro. Kedua tangan Arina berangsur merengkuh sebelah lengan Alvaro seiring ia yang juga menyandarkan kepalanya di sebelah pundak calon suaminya itu. “Kebahagiaan enggak selalu hadir dari mereka yang kita anggap sempurna. Dan kebahagiaan juga enggak hanya dirasakan oleh mereka yang di mata kita sempurna. Kebahagiaan itu ada di diri kita. Bisa tidaknya kamu mensyukuri apa yang sudah kamu miliki.”  “Contohnya, kesehatan, kesempatan. Kita masih sehat, kita masih dikasih kepercayaan sekaligus kesempatan untuk bersama, ini sudah lebih dari cukup bahkan istimewa, lho.” Setelah menyimak penjelasan panjang lebar Alvaro, Arina mengangguk-angguk. “Iya, Mas … iya. Maaf. Iya, makasih. Ya ampun … kok aku payah banget, yah?” lirih Arina yang menjadi terisak-isak. “S-sayang, … maaf. Tadi itu, aku enggak marah, lho. Aku cuma mau negasin, mengenai Sanya yang sama sekali enggak penting. Juga, mengenai orang yang memang sudah punya takdir masing-masing. Termasuk mengenai sempurna ….” Arina sengaja memotong penjelasan Alvaro. “Enggak apa-apa, Mas. Enggak apa-apa. Serius, aku enggak apa-apa. Semua yang Mas katakan benar. Justru aku makasih banget, karena akhirnya, aku tahu ini dan itu dari Mas.”  Alvaro menghela napas dalam-dalam. Merasa lega sekaligus bersyukur, lantaran Arina tidak menangis karena tersinggung atas ucapannya. Sebab jika itu sampai terjadi, Alvaro pasti akan menyesal dan tidak mungkin bisa memaafkan dirinya sendiri. Karena sebisa mungkin, Alvaro tidak akan membuat wanitanya terluka, terlepas dari Alvaro yang tidak akan pernah membiarkan seorang pun melukai Arina, bahkan itu Malini mamahnya. Apalagi sejauh ini, Alvaro sudah mati-matian menjaga sekaligus mempertahankan hubungannya dengan Arina, di tengah kenyataan Malini yang tak kunjung memberikan restu kepada hubungan mereka. “Aku sayang banget sama kamu, Rin. Dan aku enggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu, bahkan sekalipun itu mamahku sendiri!” batin Alvaro. “Katakan kepadaku, jika aku sudah keterlaluan,” ucap Alvaro lirih dan mengakhirinya dengan kecupan dalam, di kening Arina beberapa kali. Arina yang masih menitikkan air mata, mengernyit tak mengerti kemudian menengadah, dan membuatnya mendapati wajah Alvaro. “Keterlaluan gimana, Mas?” “Aku bikin kamu enggak nyaman, ... bahkab parahnya, aku bikin kamu sedih,” tukas Alvaro yang tetap fokus dengan kemudinya kendati sesekali, bibirnya akan mengunci kepala Arina dengan senyuman. “Aku percaya, Mas selalu berusaha kasih aku yang terbaik. Sampai kapan pun. Aku benar-benar percaya!” ucap Arina yang kemudian tersipu. Arina buru-buru menyeka air matanya. Tak beda dengan Arina, Alvaro juga menjadi tersipu, kendati pria itu juga menjadi berkaca-kaca lantaran di mata Arina, ia telah memberikan yang terbaik seperti apa yang selama ini Alvaro lakukan. “Syukurlah, kalau kamu juga merasa begitu. Sabar, ya. Cepat atau lambat, Mamah pasti ngerti, kok!” ucap Alvaro meyakinkan. Arina segera mengangguk sambil bergumam, mengiyakan anggapan Alvaro, terlepas dari Arina yang langsung sibuk memanjatkan doa, agar Tuhan membuka pintu hati Malini, untuk mereka. Semoga, ... amin! Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN