Ini bukan kali pertama Alena pindah sekolah, lebih tepatnya ini yang keempat kalinya. Kelas 2 SD pindah ke Bandung hingga kenaikan kelas 6 ia pindah ke Jakarta. Pertengahan kelas 8 SMP, ia pindah ke Balikpapan dan sekarang ia pindah lagi ke Jakarta.
Sebenarnya, Alena tidak suka dengan keadaan seperti ini. Namun, karena pekerjaan Budi yang merupakan karyawan di sebuah perusahaan besar, membuat Alena mau tak mau harus mengikuti ke mana papa dipindahtugaskan. Toh, papa juga bekerja untuk dirinya.
Sayangnya, sejak mama dan kakaknya meninggal, papa jadi lebih protektif pada Alena. Mengiriminya pesan hingga menelepon barkali-kali jika ia terlambat pulang. Lebih parah lagi, papa justru meminta Riga untuk mengawasinya.
“Om Budi nitipin lo ke gue,” ucap Riga saat di perjalanan pulang kemarin.
“Tolak aja. Lo bukan bodyguard.”
“Gue udah terlanjur bilang iya.”
"Tapi gue nggak mau diawasin, Ri."
Alena mengembuskan napas pelan, mengingat obrolannya dengan Riga kemarin sore. Rasanya, percuma meminta Riga menolak permintaan papa, karena mereka berdua sama saja, sama-sama tidak bisa dibantah.
Panggilan Papa membuat Alena segera mengikuti pria itu masuk. Diantar seorang satpam, mereka menyusuri jalanan paving menuju gedung berjarak beberapa meter dari jalan raya. Masuk lewat pintu kaca di gedung utama, lalu belok kanan ke ruang kepala sekolah. Namun, karena kepala sekolah belum datang, jadi Alena minta izin untuk berkeliling sekolah barunya.
“Kok bisa sih, Kak Luna dulu pengin banget pengen masuk sini? Ini belum apa-apa aja, udah capek duluan. Gimana nanti? Tersiksa kali, ya?”
Kompleks SMA Angkasa sangat besar. Total ada enam gedung di sini, empat di antaranya memiliki tiga lantai, dan dua lainnya hanya dua lantai. Gedung utama untuk ruang kepala sekolah, guru dan staf, serta UKS; gedung A untuk jurusan IPA; gedung B untuk jurusan IPS, dan gedung C untuk laboratorium, perpustakaan, dan ruang OSIS; gedung D untuk aula; dan gedung E untuk ruang esktrakurikuler. Kantin ada di sisi utara gedung B, dekat lapangan basket.
Pukul 06.45, Alena menyudahi tour dadakannya. Sepanjang perjalanan kembali ke ruang kepala sekolah, tidak sedikit murid yang menatapnya penasaran. Meski agak risi ditatap, tapi Alena berusaha menyunggingkan senyum. Setidaknya kalau ragu buat nyapa orang baru, mending kasih senyum aja, begitu prinsipnya.
“Aduh!” ringis Alena saat tubuh bagian belakangnya membentur lantai koridor yang dingin. Ia mencoba bangkit saat tiba-tiba seseorang mengulurkan tangan ke arahnya. Dengan cepat, ia meraih uluran tangan tersebut.
“Makasih—Lo?" Baik Alena dan seseorang itu sama-sama terkejut.
“Lo pacarnya Gamma, kan?” tanya Alena memastikan.
“Ah, iya, gue pacarnya Gamma. Sorry, tadi gue nggak sengaja nabrak lo. Lo nggak apa-apa, kan?”
Orang itu adalah Nada, gadis yang kemarin bersama Gamma di toko buku.
“Aman, gue nggak apa-apa. Thanks, udsh nolongin gue,” jawab Alena seraya tersenyum. "Ah iya, kenalin gue Alena. Gue murid baru di sini mulai hari ini. Salam kenal, ya. Lo Nada, kan?" Alena mengulurkan tangan kanan ke arah gadis itu.
"Salam kenal juga, Alena," jawab Nada, sambil menjabat tangan Alena.
Setelah sesi perkenalan itu, Alena pamit pergi ke ruang kepala sekolah. Nada sempat menawarkan diri untuk mengantar, tapi ia menolak. Sampai di sana, ternyata papa sudah selesai mengurus semua berkas, hanya tinggal Alena yang masih harus menunggu calon wali kelasnya.
Tak lama kemudian, seorang pria berusia sekitar lima puluhan masuk. Pria bernama Anwar itu mengenalkan diri sebagai guru matematika kelas sebelas, sekaligus wali kelas XI IPA 2. Alena lantas diantar ke kelas oleh pria itu. Saat akan memasuki gedung IPA, seorang guru perempuan menyapa Pak Anwar, yang ternyata adalah guru Biologi yang akan mengajar di kelas barunya.
Entah kenapa perasaan gugup tiba-tiba menyerang Alena. Mendadak ada keraguan di hatinya saat menginjakkan kaki di lantai dua gedung tersebut. Koridor sepi, maklum bel masuk sudah berbunyi sejak sepuluh menit lalu.
Langkah Alena perlahan melambat saat netranya tanpa sengaja menangkap sosok tidak asing di dalam ruang kelas yang akan ia tuju. Ia meneguk ludah. Ini mimpi buruk.
"Selamat pagi, anak-anak!"
Suara Pak Anwar berhasil menghentikan riuh murid di kelas tersebut. Murid-murid menyahut kompak. Lalu hening, dan semua pasang mata sontak tertuju ke arah kedua guru tadi. Tidak, lebih tepatnya ke arah gadis asing yang tadi masuk bersama mereka.
"Jadi, hari ini kita kedatangan teman baru. Silakan, perkenalkan diri kamu, Nak." Pak Anwar mempersilakan Alena, lalu bergeser ke samping meja guru.
Alena mengucapkan terima kasih pada Pak Anwar, sebelum maju untuk memperkenalkan diri. Gadis itu tersenyum manis. "Hai semua. Perkenalkan, nama saya Alena Titania. Saya pindahan dari Balikpapan. Salam kenal, dan mohon bantuannya. Terima kasih."
Namun, keheningan tadi tidak bertahan lama. Pasalnya, setelah Alena selesai memperkenalkan diri, para laki-laki di kelas langsung berisik.
“Hai, Alena. Udah punya pacar belum?”
“Alena rumahnya mana?”
“Neng Alena bagi nomor WA, dong.”
"Heh, sudah-sudah! Kalian ini kalau ada cewek cantik aja langsung gercep, giliran dikasih tugas ngeluhnya aja yang gercep, tapi nggak dikerjain. Sudah, sekarang kalian lanjutkan belajar sama Bu Arum. Alena, kamu bisa duduk di sebelah Via," ujar Pak Anwar seraya menunjuk bangku kosong di baris keempat. Setelahnya, Pak Anwar keluar.
Alena segera menuju bangku yang tadi ditunjuk Pak Anwar. Saat akan mencapai bangku, tanpa sengaja netranya bertemu pandang dengan seorang gadis. Gadis itu tersenyum, membuat Alena tidak bisa untuk tidak menyapanya.
“Hai, Nada. Kita ketemu lagi.”
***
Keinginan pertama Alena sejak berangkat sekolah tadi pagi adalah, bisa bertemu Gamma lagi. Dulu, hubungannya dan Gamma hanya bertahan enam bulan, tapi itu cukup membekas dalam ingatan Alena. Ada sesal yang selalu menyusup setiap kali mengingat semua itu.
Alena tahu kesalahannya di masa lalu pasti membuat Gamma membencinya. Karena itu, ia ingin menebus semua kesalahannya. Ia ingin menemui Gamma langsung. Namun, ternyata tidak mudah. Alena pikir berada di kelas yang sama dengan Nada bisa membuat ia bertemu Gamma lagi, tapi ternyata tidak. Bahkan sampai jam istirahat kedua hampir berakhir, Gamma tidak datang ke kelasnya untuk menemui Nada. Nada justru pergi ke kantin bersama teman sebangkunya.
Kalau begini ia pesimis bisa bertemu Gamma. Mau pergi ke kelas laki-laki itu, tapi ia tidak tahu di mana kelasnya. Mau tanya murid lain, yang ada bisa-bisa mereka berpikir macam-macam padanya. Pada akhirnya, Alena memilih berdiam di kelas sambil bermain ponsel. Setidaknya, sampai ia menyadari kalau ada seseorang di bangku belakangnya.
“Riga,” panggil Alena.
Yang dipanggil mendongak sekilas dan berdeham pelan.
“Lo nggak ke kantin, Ri?” Gadis itu bertanya. Posisi duduknya berubah menghadap Riga.
“Enggak. Kenapa?” Riga balik bertanya tanpa mengalihkan fokus dari game di ponselnya.
"Nggak apa-apa, nanya doang," jawab Alena, kemudian kembali memainkan ponselnya. Jujur, ia jadi merasa canggung sekarang. Faktor sudah lama tidak bertemu, ditambah tidak pernah bertukar kabar sejak ia pindah, mungkin adalah alasannya.
“Lo sendiri kenapa nggak ngantin?” tanya Riga.
“Males, Ri. Masih canggung jadi murid baru, padahal biasanya enggak gini.”
“Males atau takut ketemu Gamma?”
“Gamma sekolah di sini?” Oke, ini pertanyaan konyol.
Riga hanya menjawabnya dengan gumaman.
“Gamma di kelas mana?” tanya Alena antusias.
Hening tak kunjung ada jawaban. Hingga akhirnya suara Riga memecah keheningan di antara keduanya.
“Al?”
“Iya?”
“Jangan ganggu Gamma lagi.”