Pergi

1620 Kata
Arash merasa dia telah mengecewakan Ara untuk kesekian kalinya. Arash menghembuskan napas berat. Selain pusing karena skandal yang menimpa Ara, lelaki itu juga di desak oleh orang tuanya agar mencari perempuan lain yang bisa memberikan keturunan untuk keluarganya. Beberapa tahun yang lalu, perasaan Arash terhadap Ara begitu menggebu-gebu dibalik sikap cuek dan dingin yang ditunjukkannnya. Namun, 2 tahun belakangan ini, Arash merasa tidak se-antusias dulu terhadap Ara. Bahkan jika dalam seminggu tidak bertemu dengan perempuan itu pun, Arash tak lagi merasakan rindu yang menggebu seperti yang dia rasakan sebelumnya. Arash mulai jarang pulang ke rumah mereka. Dia sering ribut dengan Ara perihal sekretarisnya, ditambah dengan Ara yang sepertinya marah kepada kedua orang tuanya yang sering menanyai istrinya itu perihal kehamilan yang tak kunjung menghampiri Ara. Walau Ara beberapa kali mendapatkan skandal, Arash tak lantas melepaskan Ara begitu saja. Entahlah, Arash pun tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Di sisi lain, kadang dia kesal dengan tingkah perempuan itu. Papanya pernah berkata jika Ara itu adalah perempuan yang tepat untuknya. Menurut sang papa dan juga mamanya, isu miring yang menimpa Ara masih bisa ditoleransi. Mereka juga yakin kalau Ara adalah perempuan yang baik. Arash akui, jika sikap Ara lembut dan sopan sekali jika di hadapan keluarga mereka. Di depan Arash pun begitu—dulunya, sebelum gosip miring muncul. Sekarang, orang tuanya mulai tidak menyukai Ara. Lamunan Arash tersentak ketika ponselnya berdering. Arash melihat layar benda pipih itu yang memunculkan nama Syafa di sana. Setelah sambungan telepon dengan Syafa berakhir, Arash segera meraih kunci mobilnya. Arash akan menemui Syafa di rumah sakit karena barusan perempuan itu menelepon jika ibunya harus dirawat. "Gimana keadaan ibu kamu?" tanya Arash khawatir di saat Syafa menjemputnya di lobi rumah sakit. Tadi Syafa meneleponnya dan berkata jika sang ibu jatuh di kamar mandi. "Ibu sedang istirahat sekarang, kata dokter nggak ada sesuatu nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Maaf, udah bikin Bapak panik. Saya cuma takut kalau ibu— " "Ssstt... ibumu akan baik-baik aja." Di luar jam kerja, hubungan Arash dengan Syafa cukup dekat. Berawal dari Syafa yang melamar kerja dì perusahaannya yang memang sedang membutuhkan seorang sekretaris, karena sekretarisnya yang biasa hendak menikah dan berhenti bekerja. Syafa memenuhi kualifikasi dibanding pelamar lainnya. Arash awalnya terkejut ketika mantan kekasih itu menjadi kandidat calon sekretarisnya. Namun, Arash harus profesional. Dia juga ingin mendapatkan seorang sekretaris yang benar-benar sesuai dengan kriterianya. Hingga suatu saat Arash mengantarkan Syafa pulang ke rumah karena perempuan itu lembur sampai malam, tidak tega rasanya membiarkan perempuan itu pulang sendirian. Di dalam perjalanan pulang, Syafa memulai pembicaraan dengan membahas masa lalu mereka. Syafa yang dulunya terpaksa meninggalkan Arash karena takut pada ancaman seseorang yang begitu menggilai Arash. Setelah itu, beberapa kali Arash mengantarkan Syafa pulang. Ibunya Syafa mengira jika kedua orang itu telah menjalin hubungan kembali. "Tante cuma punya Syafa satu-satunya dalam hidup, Tante. Tolong jangan kecewain dia, ya? Tante nitip Syafa sama kamu. Semisal nanti Tante nggak panjang umur, ka— " "Ibu!!" Syafa menggelengkan kepalanya. "Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya ibu Syafa. "Tante, sebenarnya ka— " "Tunggu waktu yang tepat ya, Bu?" Arash menatap Syafa dengan mata menyipit dan dibalas dengan gelengan kepala oleh perempuan itu. Syafa memberi tatapan seolah berkata, "nanti saya jelasin." Setelah sang ibu tidur, Ara pin bercerita tentang penyakit sesak napas yang dialami ibunya tersebut. "Tolong, Pak. Untuk saat ini, maaf bukannya saya lancang, saya cuma ingin ibu bahagia dengan mendengar yang baik-baik aja. Kesehatan ibu belakangan ini mulai menurun." Ibunya Syafa yang berusia 52 tahun itu sering sakit-sakitan. Dan Syafa berkerja keras untuk membiayai kehidupan sehari-hari setelah kedua orang tuanya bercerai dan juga membiayai kesehatan ibunya yang mulai menurun sejak ditinggal ayahnya Syafa. "Nanti biar saya yang bayar semua perawatan ibu kamu," ujar Arash sebelum beranjak dari rumah sakit. "Kalau ada apa-apa, kabarin aja." "Terima kasih sebelumnya, Pak. Tapi saya masih punya asuaransi, saya pakai itu aja." "Nggak usah, biar saya yang nanggung." Syafa mengangguk, paham akan Arash yang sepertinya tidak ingin membantah. "Saya berhutang budi banyak sama Bapak," ujar Syafa menatap Arash sendu. Tiba-tiba teringat akan dirinya dulu yang meninggalkan Arash begitu saja. Syafa menjadi merasa sangat bersalah. Namun, di saat Syafa ingin mengharapkan Arash kembali, dia dihadapkan oleh kenyataan bahwa ternyata Arash telah menikah. Arash sendiri yang bercerita pada Syafa, akan tetapi meminta perempuan itu untuk merahasiakannya. Syafa tidak mengerti kenapa Arash dan istrinya yang berprofesi sebagai artis itu menyembunyikan pernikahan mereka. Syafa tidak ingin terlalu banyak bertanya mengenai kehidupan pribadi sang mantan yang sekarang menjadi atasannya tersebut. Tak lama, Arash sudah berada di dalam mobil di parkiran. Dia menepuk jidatnya ketika baru ingat tadi kalau dirinya berkata pada Beni jika akan menghubungi Ara pada pukul 11:00. Sedangkan sekarang, waktu sudah menunjukkan pukul 13:00. Arash lupa karena tadi buru-buru ke rumah sakit saat mendengar suara panik Syafa. Arash menghubungi nomor Ara. Nomor ponsel perempuan itu sudah aktif, namun sambungan teleponnya tidak kunjung diangkat. Arash mencoba mengirim pesan, Ara tidak juga membalasnya hingga 15 menit berlalu saat Arash sudah mengendarai mobilnya menuju arah rumahnya dan Ara. Arash menggelengkan kepala di saat pikirannya mendadak gelisah. Tidak, Ara tidak boleh meninggalkannya. Walau skandal yang dilakukan Ara kali ini membuat darahnya mendidih, Arash tak ingin melepaskannya begitu saja. Mereka belakangan ini memang sering ribut, hal itu tak lantas membuat Arash terpikir untuk berpisah dengan istrinya itu. Arash hanya butuh menjaga jarak agar Ara berpikir. Namun, semalaman dia juga merasa bersalah karena kesekian kalinya membentak perempuan itu. Tak kunjung mendapatkan balasan dari Ara, Arash menghubungi nomor manajer perempuan itu. Sementara itu, Ara di kamarnya sedang bersiap hendak ke apartemennya. Apartemen lama miliknya sudah dijual dan menggantinya dengan membeli di kawasan lain pada 2 minggu lalu, di mana tak seorang pun mengetahuinya, kecuali Beni. "Tuh, kan, dia nelepon gue karena lo enggak angkat," decak Beni. Entahlah, Ara tidak ingin berbicara atau bertemu dengan Arash untuk saat ini. Perempuan itu kecewa. Apa Ara salah jika cemburu pada mantan kekasih Arash yang lebih sering bertemu dengan suaminya itu dibanding dirinya? "Biarin aja. enggak usah diangkat." Lalu, beberapa menit kemudia ada notifikasi pesan masuk dari Arash dan Beni yang sedang menggulir layar ponsel tak sengaja membuka pesan tersebut. "Dia mau ke sini katanya, Ra." "Bilang aja, gue lagi pergi dan lo nggak tahu gue pergi ke mana. Buru!! Habis itu bantuin gue angkat koper-koper ini." *** Ara memblokir nomor ponsel Arash. Mungkin sesekali, dia harus mengabaikan lelaki itu. Ara ingin tahu, apakah lelaki itu akan biasa saja atau uring-uringan tanpanya? Sudah beberapa hari setelah berita miring menerpanya, Ara mencoba membuka akun media sosial miliknya. Memang tidak ada lagi akun yang menandai karena perempuan itu telah me-nonaktifkannya. Hanya saja, Ara melihat ada banyak notifikasi pesan masuk. Ara yakin, rata-rata netizen yang maha benar itu banyak yang menghakiminya. Terkekeh sini, tangan Ara bergulir penasaran ingin membaca random pesan yang masuk. Hingga dia menemukan pesan masuk dari seseorang yang bertabrakan dengannya semalam. Lelaki itu menanyakan tentang kondisi kakinya. Ara segera membalas karena tidak ingin lelaki itu merasa bersalah. Lalu, setelah itu tangannya malah bergulir mengunjungi profil akun tersebut. Penasaran juga dengan ucapan Beni yang dari semalam tak henti-hentinya memuji lelaki itu. Ara saat ini sudah berada di apartemen barunya. Dia sedang rebahan di sofa di depan TV sambil mengotak-atik ponselnya. Tidak sengaja, Ara menyentuh tanda follow back pada akun lelaki itu yang ternyata sudah mengikuti akunnya tersebut. Tanpa menunggu lama, ada balasan pesan lagi dari lelaki itu. "Udah DM-an aja." Ara sontak terkejut menyadari Beni yang berdiri di belakang sofa dekatnya duduk. "Perasaan tadi ada yang bilang kalau dia sama sekali nggak menarik," lanjut Beni lagi dengan mencebikkan bibirnya. Ara memang tadi berkata pada Beni jika lelaki kemayu itu berlebihan menilai lelaki yang baru semalam mereka kenal tersebut. Lelaki bernama Leo itu tampak biasa saja bagi Ara, sama sekali tidak menarik perhatiannya. "Gue cuma balas pesan dia doang, kok. Dia nanya gimana keadaan kaki gue." "Balas pesan, tapi stalking akun dia, huh?" Ara berdecak. Dia segera meletakkan ponselnya di atas meja. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Lo tahu gimana gue, enggak semudah itu bagi gue tertarik sama lawan jenis. Apa lagi status gue masih sebagai istri orang.” ”Makanya, gugat cerai aja laki lo yang ngeselin itu!” ujar Beni dengan entengnya. “Dari pada lo makan hati terus.” Ara menoleh pada Beni, kemudian menatap lurus ke arah TV. “Gue cuma pengen menikah sekali seumur hidup, Ben. Tapi kenapa nasib gue begini amat?” ujarnya terdengar lirih. “Apa gue salah kalau cemburu sama mantan pacar Arash yang frekuensi pertemuan mereka lebih sering dari pada sama gue? Apa gue salah curiga di saat suami gue jarang pulang dengan alasan sibuk? Dan… apa salah gue juga karena sampai saat ini belum hamil juga? Kenapa Arash nggak pernah belain gue di depan keluarganya?” Tangan Beni terulur mengusap-usap punggungnya Ara pelan. “Enggak… lo nggak salah, kok. Suami lo aja yang nggak punya perasaan.” ”Gue capek, Ben… capek.” ”I see, Beb. Ada kalanya kita harus melepaskan dari pada terus-terusan merasa tersakiti. Gue paham sama prinsip lo itu. Tapi, gue cuma mau bilang kalau menikah, belum tentu pasangan yang sekarang itu jodoh lo selamanya. Ada kalanya ada seseorang lain yang akan menjadi jodoh dunia akhirat elo dan Arash hanya ditakdirkan sebagai ujian yang harus lo lalui. Nggak ada yang salah dengan sebuah perceraian jika memang nggak ada jalan lain. Lo juga butuh bahagia, Ra.” Ara terkekeh pelan mendengar ucapan bijak sang manajer kemayunya itu. “Tuhan memang membenci adanya sebuah perceraian. Tapi kalau apa yang lo hadapi sekarang benar-benar nggak ada jalan keluarnya lagi, lo bisa melakukan itu, Ra. Sorry, bukan maksudnya gue memaksa lo untuk berpisah dari laki lo itu, gue cuma kasihan ngeliat lo yang udah jarang tersenyum lagi. Gue pengen lo kembali jadi Ara yang ceria kayak dulu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN