Tergoda Mantan

2130 Kata
21+ Leo saat ini tengah meeting dengan tim divisi bisnis dan pengembangan. Banyak hal yang mereka bahas, terutama tentang kontrak kerja salah satu brand ambassador mereka yang akan segera berakhir. Leo mengatakan jika tidak ingin memperpanjang kontrak sang selebgram. Sejak berita mengenai skandal Ara seminggu yang lalu, penayangan series menuju episode terakhir yang diperani oleh perempuan itu mendapati penurunan rating. Leo mengamati semuanya—yang berkaitan dengan Ara. Termasuk, beberapa brand yang menarik tawaran kerja sama dengan perempuan itu. Seolah apesnya Ara tak kunjung hilang walau beritanya sudah tidak pernah muncul lagi, beberapa waktu lalu Leo terkejut karena pihak lelaki yang terdapat di dalam foto bersama Ara memberikan keterangan bahwa dia sama sekali tidak mengenal Ara dan perempuan itu tiba-tiba saja menciumnya tanpa alasan. Lelaki itu berkata bahwa dia langsung mendorongnya, setelah sebelumnya sempat terkejut. Dan entah kenapa, Leo sama sekali tidak mempercayai ucapan lelaki itu. Leo tahu bagaimana Ara... dulunya. Hingga saat ini, Leo tak begitu mempercayai gosip yang beredar. "Saya yang akan nentuin siapa yang akan menjadi brand ambassador selanjutnya. Nanti akan segera saya beritahu dan kalian nanti hanya perlu mempersiapkan untuk proses pergantiannya," ucap Leo tegas, tidak ingin dibantah. Walau di dalam hatinya masih ada keraguan. Bukan karena tak yakin akan merekrut Ara, hanya saja dirinya agak khawatir akan mendapatkan penolakan dari sang papa, Ervan. Ervan masih sering mengawasi kinerja adik sepupunya yang akan digantikan oleh Leo sebagai CEO. Untuk Leo sendiri, Ervan meminta anaknya untuk menceritakan apa saja jika ada kendala di kantor atau diskusi dengannya dalam mengambil sebuah keputusan. Masalahnya, Leo pernah mendengar jika sang papa dulu pernah terlibat masalah dengan seorang brand ambassador. Jadi, setiap kali ada pemiliham brand ambassador terbaru yang diajukan tim dari divisi bisnis dan pengembangan, keputusan akhirnya akan berada di tangan Ervan selaku komisaris di sana. Leo masih berada di ruang meeting setelah semua tim dari divisi bisnis dan pengembangan itu keluar ruangan. Dengan ponsel di tangannya, jemari Leo beregulir memperhatikan akun media sosial milik Ara. Sudah beberapa tahun Leo mengunjungi akun itu dan sekarang frekuesninya lebih sering dari yang biasanya setelah pertemuan mereka malam itu. Apa salah jika aku masih ngarepin kamu, Ra? Jika waktu masih sekolah Leo sering merasa tidak percaya diri menyukai seorang Arabella yang populer, saat ini Leo yang sudah usianya sudah matang telah menajdi versi lebih baik dari dulu tentunya. *** "Lo nggak mau konfirmasi apa-apa? Gue tahu, bukan lo yang nyosor duluan semabuk apa pun elo." Beni tampak gemas akan reaksi Ara yang terlampau santai menanggapi konferensi pers yang diadakan lelaki yang di dalam TV sana. "Enggak. Ngapain? Nggak bakalan ada yang percaya juga. Au ah, gue sendiri juga nggak tahu persis.” Ara memang tak mengetahui bagaimana kejadian sebenarnya. Beni datang belakangan setelah sebelumnya dia sempat menghubungi Ara di saat perempuan itu belum begitu mabuk. Usai foto tersebut viral di media sosial, Beni diam-diam mendatangi club tersebut guna mendapatkan CCTV malam itu untuk mengetahui kejadian sebenarnya. Namun, Beni tak bisa mendapatkan video tersebut. Pihak club beralasan jika malam itu CCTV di sekitar tempat kejadian sedang rusak dari sehari sebelumnya. Beni yang sedang sibuk dengan ponsel di tangannya seketika menoleh kepada Ara ketika layar ponselnya menyala di mana tertera nama papa dari perempuan di dekatnya itu. "Ra... bokap lo telepon." Ara mengedikkan bahunya acuh. "Terserah kalau lo mau angkat." "Gue takut bokap lo marah besar kali ini. Kemarin ini pas awal gosip beredar, dia nanya dan gue bilang gini, "percaya sama Ara, Om". Ara tertawa sumbang. "Seharusnya lo bilang aja gini, "Anak Om itu mabuk parah terus cium orang sembarangan. Dia emang suka begitu, Om". Kenapa nggak bilang kayak gitu aja?" "Gila lo! Nggak kebayang bakalan gimana marahnya bokap lo." "Udah biasa. entahlah, gue kayak nggak peduli lagi papa mau marah atau enggak anak gue lagi sebagai anaknya." Beni menatap iba kepada artisnya yang sudah dianggapnya seperti saudara itu. Sudah beberapa tahun bersama Ara, Beni tahu bagaimana karakter perempuan itu. Beni tahu, Ara sebenarnya adalah perempuan yang baik. "Kalau capek, bilang sama gue, Ra. Lo hidup bukan hanya untuk bahagiain semua orang. Cintai diri lo sendiri." Hingga kemudian layar ponsel Beni berhenti menyala. Sebanyak tiga kali papanya Ara menelepon Beni, namun lelaki kemayu itu mengabaikannya. Tak lama, ada notifikasi pesan masuk. "Dari bokap lo kayaknya." "Buka aja pesannya." Beni pun mengikuti perkataan Ara. "Papa lo nanya kenapa lo enggak bisa dihubungin." "Terus?" "Lo disuruh datang ke rumah malam ini juga." Ara bergumam malas. Tapi, dia tetap akan datang atas permintaan papanya itu. Karena, Ara juga tidak mau mamanya terkena amukan amarah sang papa nantinya. "Mau balas atau gue diemin aja?" "Gue bakalan datang, balas gitu sama papa." *** Arash memijit keningnya pusing. Baru saja papanya datang dan memintanya untuk segera menceraikan Ara. Arash sungguh tak mengerti, orang tuanya yang selama ini selalu menutup mata akan gosip miring tentang Ara, hari ini malah menunjukkan amarah mereka. Papanya Arash tidak peduli lagi akan kekecewaan yang dirasakan Ara beserta keluarga perempuan itu nantinya. Lagian, papa Arash merasa jika perusahaan yang sekarang dikelola anaknya berkembang pesat, tak sepenuhnya karena bantuan papanya Ara. Dia juga berkerja keras dulunya untuk sampai ke posisi seperti saat ini. Dan beberapa tahun yang lalu saat giliran temannya itu yang terlilit hutang, papanya Arash telah membantu menyelesaikan persoalannya. Bahkan, dia bersedia menikahkan anaknya dengan puteri temannya yang merupakan seorang artis tersebut. "Kasih aku waktu ya, Pa?" Entah kenapa, Arash rasanya tak rela juga mengakhiri pernikahannya dengan Ara begitu saja. "Apa? Bukannya ini yang selama ini kamu harapkan? Kamu nggak benar-benar cinta sama perempuan itu, bukan? Jangan kira papa nggak tahu kalau kamu sering abai sama dia di belakang kami." Arash tampak terkejut. Orang tuanya tahu kalau hubungannya dengan Ara tidak baik-baik saja? "Tapi, Pa... " "Apa sekarang perasaan kamu sudah mulai berubah? Nggak... Papa nggak mau lagi perempuan seperti itu menjadi menantu papa. Sikapnya udah nggak bisa ditoleransi, bikin malu aja kalau sampai semua orang tahu kamu punya istri seperti itu. Dan juga... benar kata mama kamu, kami sebagai orang tua pastinya pengen kamu mendapatkan keturunan. Cari lah seorang perempuan yang bisa memiliki keturunan darimu. Ceraikan Ara!" Di saat sedang merasa gundah karena istrinya yang menghilang entah ke mana, sang papa malah menyuruhnya bercerai dari sang istri.. Arash pernah mencintai Ara? Tentu saja. Hanya saja, belakangan ini dia agak ragu dengan perasaannya sendiri. Apa masih ada cinta untuk perempuan itu setelah kedatangan mantan kekasih yang merupakan sekretarisnya itu? Harus Arash akui jika dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan sang mantan, bahkan di luar pekerjaan jika dibandingkan dengan Ara. Di kala merasa jenuh, Arash beberapa kali jalan bersama Syafa, walau hanya sekedar nonton atau dinner. Bahkan saat dinas bersama di luar kota, Syafa menemaninya jalan-jalan jika ada waktu luang. Arash tak memungkiri jika Syafa memberikan ketenangan padanya. Kemudian, Arash menggelengkan kepala mengingat kenyaman yang dirasakannya bersama Syafa sejak 2 tahun belakangan ini. Tangan Arash terulur meraih ponselnya. Dia ingin menghubungi Ara, namun ternyata perempuan itu masih memblokir nomornya. Apa Ara begitu marah padanya karena tidak ikut pulang bersama istrinya malam itu? "Pak... " Arash yang sedang menunduk sembari memijit keningnya, tersentak dari lamunannya ketika mendapati Syafa yang telah berdiri di depan mejanya. "Maaf, saya langsung masuk aja untuk meminta tanda tangan. Saya udah ketuk pintu sebelumnya, tapi enggak ada jawaban." Arash berdehem. "Bapak lagi kurang sehat?" "Ah, cuma sedikit pusing aja." Arash mengambil lembaran surat di dalam map yang ingin di tanda tanganinya, lalu segera membubuhkan tanda tangan di sana. "Ada lagi?" Syafa menggeleng. "Ya udah, kamu boleh keluar sekarang." Syafa tak kunjung beranjak pergi dari sana. "Bapak mau saya pijitin?" "Emang kamu bisa mijit?" "Bisa enggak bisa, sih." Syafa mengusap hidungnya. "Tapi pernah beberapa kali mijitin ibu. Umm... mau saya pijitin?" Arash tersenyum tipis. ”Enggak usah.” Syafa tetap ingin melakukannya melihat Arash yang tampak lesuh tak bersemangat. Surat di dalam mapnya, Syafa taruh di atas meja dan dirinya berdiri melangkah menuju arah belakang Arash duduk. ”Ngapain?” tanya Arash mengernyit. ”Cuma mau bikin Bapak lebih rileks.” Tangan Syafa dengan telaten mulai memijat bagian kepala hingga ke bagian bahu Arash. Dan tak ada protes dari lelaki itu. "Emm... pindah ke sofa aja, Pak. Biar Bapak lebih nyaman dipijitnya," ujar Syafa sembari menggigit bibirnya. Arash yang mulai terkantuk karena pijitan Syafa mengiyakan apa yang diucapkan perempuan itu. Dia pindah ke sofa dan merebahkan diri di sana. Mata Arash kembali menyala— menatap Syafa yang mulai memijit bagian tangannya. Hingga dirinya mengingat kenangan di antara mereka dulu. "Fa, kamu beneran belum punya pacar?" Syafa sontak menghentikan pergerakan tangannya pada lengan Arash. Perempuan itu menggeleng, lalu tersenyum. "Kenapa? Kamu belum move on dari saya?" tanya Arash menggoda. Syafa tertawa kecil. "Ngaco aja. Semisal iya pun, kita nggak mungkin bisa bersama lagi." Arash terdiam. Dia terus memandang wajah cantik Syafa. Perempuan polos berhati lembut yang pernah menjadi kekasihnya itu, Syafa tak jauh berbeda dari dulu. Syafa yang bertutur kata lembut dan tak berani menatapnya lama-lama. "Balik badan, Pak. Saya mau pijit bagian punggung Bapak." Bukannya segera balik badan, Arash tetap menatap Syafa tanpa berkedip. "Apa kamu masih mencintai saya?" Syafa tampak terkejut. Arash menahan tangan perempuan itu yang hendak bangkit berdiri. Syafa kembali terduduk di pinggir sofa dengan Arash yang mendudukkan diri juga—tak berjarak dengan perempuan itu. Arash memajukan wajahnya, mempertemukan bibirnya dengan Syafa. Perempuan itu awalnya hanya diam, namun tak lama membalas ciuman Arash. Semakin lama, ciuman mereka menjadi semakin panas dengan tangan Arash yang bergerylia ke mana-mana. Mereka saling mendamba—seolah tengah melepas rindu, hingga keduanya sudah sama-sama tak mengenakan pakaian lagi. *** Arash merasa kembali segar. Setelah bercinta dengan Syafa barusan, dia jadi bersemangat—melupakan sosok istrinya yang telah seminggu lebih menghilang tanpa kabar. Sudah lama sekali Arash tidak melakukan hubungan intim. Dan sekarang ketika merasakannya dengan Syafa, ada rasa nikmat yang berbeda. Arash menyukai percintaannya dengan Syafa barusan, walau perempuan itu sudah tak perawan lagi ketika disentuhnya. Kata Syafa, dia dulu terjatuh dari sepeda waktu kecil dan selaput darahnya terluka. Syafa mengatakan bahwa surat keterangan dokter yang menyatakan dirinya pernah mengalami luka tersebut ada di rumah, namun Arash tak membutuhkan surat itu. Dia percaya Syafa yang tak mungkin telah diperawani oleh lelaki lain. Buktinya, baru saja kewanitaan perempuan itu sempit—menjepitnya sehingga Arash merasa begitu nikmat di dalam sana. Arash sangat menikmati perbuatan haram tersebut, tanpa berpikir jika hal itu akan menyesatkan. Kenikmatan yang hanya dirasakan sesaat, bisa jadi akan menjadi sebuah penyesalan nantinya. Mereka berdua masih saling berpelukan tanpa sehelai benang pun di atas sofa yang sempit. Untungnya ruangan Arash memang tak ada cctv dan dirinya tadi sudau memastikan pintu ruangannya terkunci, sebelum menyentuh Syafa lebih. "Mas... " Syafa memberingsuk ke lebih dalam ke dadanya lelaki itu. "Kamu udah nidurin aku, nanti gima— " "Aku akan bertanggung jawab," potong Arash seolah mengerti apa yang sedang dipikirkan perempuan yang sedang berada dalam pelukannya itu. Arash tadi meminta agar mereka tidak melakukan panggilan formal di luar pekerjaan. "Ta-tapi, gimana sama Mbak Ara?" "Nanti akan aku pikirkan lagi." Arash sedang tak mau pusing saat ini. Dia kembali merasa b*******h saat kaki Syafa melingkarinya—tak sengaja mengenai bagian intinya. "Shitt... kamu bangunin dia lagi barusan." Muka Syafa sontak merona. Arash langsung mencium bibir Syafa. "Kamu harus tanggung jawab,” ujarnya sembari menyentuh setiap inci tubuh perempuan itu. "Kamu enak banget, Fa... " Syafa tersenyum atas ucapan Arash di mana bagian intinya sedang merasakan milik Arash yang mulai bergerak di dalam sana. "Enakan mana sama Mbak Ara?" tanya Syafa dengan menekan kepala Arash agar menciumi dadanya. "Ka-mu… kamu jauh lebih nikmat." Arash mempercepat gerakannya di bawah sana, lalu mencium bibir Syafa dengan penuh nafsu menggebu-gebu. Mendengar desahan Syafa, Arash semakin bernafsu hingga akhirnya meledak di dalam diri perempuan itu. Sama seperti tadi. Mereka menghabiskan waktu bernostalgia di ruang kerja Arash tak mengenal waktu.. Di lain tempat, Ara sedang melamun dari balkon apartemennya menatap cahaya matahari berwarna jingga. Ara tiba-tiba rindu pada masa sekolah SMA-nya dulu. Dulu, dia sering lama-lama di sekolah hingga sore hari karena terlalu malas berada di rumah. Perusahaan papanya tengah kacau dan beliau sering marah-marah di rumah. Makanya, Ara lebih senang berada di sekolah dari pada di rumah. Semua orang berpikir jika kehidupan Ara waktu itu begitu sempurna, namun mereka tidak tahu bagaimana sebenarnya. Nasib Ara sudah sering menyedihkan dari SMA dulu. "Kesambet entar, ngelamun mau maghrib begini." Ara sama sekali tak menoleh ke arah suara yang sudah pasti milik Beni. "Barusan ada yang nawarin kerja sama," ujar Beni yang sudah duduk di kursi satu lagi. Ara baru menoleh mendengar ucapan Beni. "Siapa?" tanya Ara heran.. "Masih ada yang nawarin job di saat skandal yang udah gue lakuin?" Beni berdecak. "Jangan pesimis gitu. Rezeki nggak akan ke mana." "Iklan atau film?" "Jadi brand ambassador, PT Orani yang e-commerce itu." Ara kembali mengingat-ingat nama e-commerce yang Beni sebut. "Yang CEO-nya ketemu sama kita waktu itu. Inget nggak? Barusan orang suruhannya hubungin gue."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN