Mimpi?

1002 Kata
Khalisa menatap punggung Hadyan yang perlahan menjauh dengan perasaan bingung. Tangannya terangkat, meraba pelan dahinya yang masih terasa basah oleh kecupan laki-laki itu. Tidak bisa dipungkiri, ada getaran aneh yang kembali dia rasakan sama seperti saat pertama kali Hadyan mengecup keningnya di akad nikah mereka. Kalimat-kalimat yang juga baru Hadyan ucapkan, mengapa Khalisa merasa seperti ada cinta di hati laki-laki itu untuknya? Apa mungkin duda yang selama ini terlihat enggan bicara dan bertegur sapa dengannya itu menyimpan cinta untuknya? Ah, tidak mungkin! Khalisa langsung menepis pemikirannya sendiri. Paling laki-laki itu hanya sekadar kasihan atas duka yang sedang menimpanya. Tidak lebih. Bukankah dia mulai mau bicara dan bersikap manis padanya setelah ayahnya sakit? Sebelum itu tidak pernah. Khalisa mengembuskan napas dalam. Apa ini? Mengapa dia merasa ada yang tercubit di hatinya memikirkan Hadyan hanya sekadar kasihan padanya? Mengapa sudut hatinya merasa kecewa? Memangnya apa yang dia inginkan? Berharap laki-laki itu jatuh cinta padanya? Cukup egois. Sementara dia saja masih bingung dengan perasaan sendiri. Bahkan nama Radit belumlah pergi dari hatinya. *** Entah berapa lama Khalisa terlelap. Setelah Hadyan keluar, dia langsung memejamkan mata dan tertidur tidak lama setelah itu. Antara sadar dan tidak, dia merasa sebuah tangan kekar mengusap lembut pucuk kepalanya. Tidak lama berselang, terasa seperti hangat embusan napas menyapu wajahnya. Lalu sebuah kecupan yang mulai familiar kembali menyentuh keningnya. Kali ini tidak berhenti sampai di sana saja. Melainkan perlahan merambat turun, menyentuh ujung hidungnya, lalu lebih ke bawah membasahi bingkai wajahnya. Hati Khalisa berdesir halus. Dia merasakan getaran yang indah merasuk ke dalam dadanya. Untuk beberapa lama dia terbuai, membiarkan dirinya menikmati rasa yang mampu membuatnya seolah berada di taman bunga penuh warna. Sesaat kesedihan akan perginya Hasan seperti teralihkan. Dia merasakan kebahagiaan yang sempurna. Hingga akhirnya dia tersadar, lalu memaksa membuka mata. "Mas Hadyan!" pekiknya tertahan. Dia berpikir Hadyan yang melakukan semua itu padanya. Memangnya siapa lagi? Hanya dia laki-laki dewasa di rumah ini. Dia pula yang memiliki akses memasuki kamar dengan mudah. Akan tetapi, Khalisa tidak menemukan siapa-siapa. Hadyan tidak ada di dekatnya. Laki-laki itu bahkan tidak tidur satu ranjang dengannya. Sekitarnya kosong. Lalu apa yang dia alami tadi? Apa dia bermimpi? Mungkinkah sosok suaminya itu mulai memengaruhi hingga ke alam bawah sadarnya sampai dia terbawa mimpi? "Ada apa? Kamu sudah bangun?" Tiba-tiba sosok yang sedang dia pikirkan keluar dari kamar mandi yang ada di kamar mereka. Laki-laki itu hanya berbalutkan handuk pada bagian tubuh bawahnya. Sementara bagian atas terbuka. Titik-titik air yang masih bersisa di tubuh dan rambutnya menegaskan bahwa dia baru saja membersihkan diri. Khalisa menghela napas dalam. Jika Hadyan sedang mandi, artinya tidak mungkin dia melakukan apa yang baru saja dirinya alami. Jadi benar tadi dia memang bermimpi? Ah, memalukan! Bagaimana bisa dia memimpikan hal seintim itu? "Enggak." Khalisa lekas menggeleng. Dia tidak mau perubahan wajah yang mungkin memerah dan sikapnya yang salah tingkah karena memikirkan adegan barusan memancing curiga Hadyan. Bagaimana dia akan menjawab jika laki-laki itu bertanya? "Tadi kamu panggil saya?" Dari remangnya lampu tidur, Khalisa bisa melihat jika laki-laki itu menatapnya penasaran. Dahinya berkerut dalam. "Enggak. Aku tadi cuma kagok dan agak terkejut karena berada di kamar berbeda," sahutnya tergagap. Alasan yang dibuat-buat. Kaget mendapati kamar yang berbeda dengan kamarnya, mengapa justru memanggil laki-laki itu? Ah, dia berharap Hadyan tidak lagi mengajukan pertanyaan yang semakin menyudutkannya. "Oh ...." Hadyan tersenyum ringan. Dia lantas menekan tombol lampu utama, hingga suasana kamar yang remang berubah terang. "Nanti lama-lama kamu juga akan terbiasa," ucapnya. "Iya." Khalisa mengangguk setuju. Kenyataannya memang benar bahwa dia agak canggung dengan suasana kamar yang berbeda. Namun, bukan itu alasan yang sebenarnya dari pertanyaan Hadyan. Tidak mungkin dia berterus terang, mengatakan bahwa mimpi dicium olehnya. Apa kata dunia? Mau disembunyikan di mana wajahnya. Hadyan lantas berjalan menuju lemarinya, mengambil pakaian ganti, dan langsung mengenakannya. Khalisa membuang muka, tidak mau memerhatikan Hadyan yang tanpa sungkan berganti pakaian di depannya. Dia tidak biasa melihat laki-laki dengan pakaian minim. Apalagi laki-laki dewasa. Sumpah! Sejak kecil sejauh bisa mengingat dengan baik, tidak pernah dia melihat laki-laki yang hanya mengenakan pakaian dalam. Sebisa mungkin dia menghindar untuk hal itu. Kecuali foto para model yang biasa ditemukan di sosial media. "Kamu mau mandi?" Setelah berganti pakaian dengan sempurna; mengenakan baju Koko dan sarung, Hadyan menghampiri Khalisa dan duduk di sisinya. "Memangnya ini jam berapa?" sahut Khalisa masih tetap tidak melihat pada Hadyan. Entah mengapa, dia mendadak merasa sangat canggung. Tentang mimpi yang seperti nyata saat terasa bibir laki-laki itu menyentuh bibirnya. Juga mendapati otot-otot liat suaminya yang begitu menantang membuat perasaannya kikuk. "Jam empat lewat. Hampir setengah lima. Sebentar lagi masuk waktu subuh," sahut Hadyan tenang. Sikapnya kontras dengan Khalisa yang gugup, "Kamu mau mandi sebelum sholat subuh?" tanyanya. "Aku enggak bawa pakaian ganti," sahut Khalisa cepat. Alasan yang jitu untuk menolak. Meskipun Hadyan sudah menjadi suaminya, tetapi tetap saja dia merasa malu untuk mandi dan melepas pakaian di hadapan laki-laki itu. Walaupun masih berbalut handuk. Paling tidak untuk sementara dia terselamatkan akan hal itu. Saat dibawa Hadyan ke kediamannya kemarin sore, Khalisa memang hanya mengenakan baju di badan. Dia sama sekali tidak berniat untuk berkemas dan membawa semua barang-barangnya. Hatinya masih sedih. Bahkan mukena untuk sholat saja dia dipinjami oleh Atikah, ibu mertuanya. "Kalau begitu cuci muka saja sama gosok gigi. Saya sudah letakkan sikat gigi baru di tempat sabun," ucap Hadyan, "ayo. Sebentar lagi subuh. Kita sholat berjamaah. "Iya." Khalisa mengangguk, lalu lekas beringsut turun. Dia melangkah panjang dan cepat, meninggalkan Hadyan yang duduk di sisinya begitu saja. Rasanya lega bisa menjauh sejenak dari laki-laki itu. Gara-gara mimpi, semua jadi serba canggung. Duduk di dekat Hadyan tiba-tiba membuat dadanya terasa sesak. Khalisa merutuk diri sendiri. Dalam suasana duka seperti ini, bisa-bisanya dia bermimpi aneh. Sialnya lagi, bisa-bisanya dia merasa suka. Ah, rasanya dia ingin menenggelamkan dirinya ke dalam bak mandi, bersembunyi sejenak, melupakan hal memalukan itu. Jika tidak ingat pasti Hadyan akan menyusul dan itu akan menambah parah keadaan. Sementara Hadyan menatap langkah panjang Khalisa sambil tersenyum ringan. Bibir istrinya itu masih terasa melekat di bibirnya. Padahal dia sudah membasuh sisa kecupannya saat berwudhu tadi. Manis!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN