5. Gejolak

1220 Kata
Khalisa tenggelam ke dalam surah pendek dan doa-doa yang dibawakan Hadyan. Untuk pertama kali mereka sholat berjamaah. Semalam saat Magrib dan Isya, mereka sholat masing-masing karena masih disibukkan oleh situasi duka. Jika dipikir-pikir, sebenarnya apalagi yang kurang dari seorang Hadyan? Mengapa Khalisa masih ragu untuk menjadi istri laki-laki itu secara penuh? Hadyan boleh dibilang sosok yang sempurna dalam kriteria mencari pasangan yang disunnahkan Rasulullah. Hadyan mapan dalam harta, rupawan dalam rupa. Pun Khalisa yakin dia berasal dari keluarga baik-baik. Hal itu dapat dilihat dari perilaku Atikah sebagai wanita yang melahirkannya dan bagaimana keduanya saling memerlakukan. Hal paling penting, laki-laki itu memiliki agama yang bagus. Paling tidak itu image yang Khalisa tangkap untuk sementara. Dulu bersama Hasan, Hadyan selalu sholat berjamaah di mesjid. Itulah salah satu alasan yang membuat Hasan begitu menyukai Hadyan. Dalam mengimami sholatnya saat ini, bacaan laki-laki itu begitu Tartil. Suaranya pun sangat merdu. Khalisa tidak mengerti, dengan kesempurnaan kriteria yang dimiliki Hadyan, mengapa dia tetap belum yakin. Padahal tentang cinta, sepertinya sudah ada sepercik rasa di hatinya. Apa hanya karena status duda dan umur yang terpaut lumayan jauh membuatnya ragu? Entahlah. Khalisa bingung sendiri. Usai sholat dan berdoa, Khalisa menyalami Hadyan dan mencium takzim punggung tangannya. Setelah itu dia langsung beranjak, melepas mukena dan mengemaskannya. Khalisa tidak menyadari, sorot mata Hadyan tidak terlepas dari setiap gerak geriknya, selalu curi pandang dalam setiap kesempatan. Setiap menatap Khalisa, selalu saja rasa di hati Hadyan membuncah. Ah, entah sejak kapan dia begitu menggilai istrinya itu. Hatinya bungah setiap menatap Khalisa. Dadanya selalu berdebar-debar. Rasanya ingin segera direngkuhnya erat-erat sosok itu ke dalam pelukannya. Namun, alam sadarnya masih ingat, saat ini suasana masih berdu "Saya ke kamar Inaya dulu, ya. Bangunkan dia," ucapnya setelah menatap Khalisa beberapa lama. "Iya." Khalisa mengangguk tanpa menghentikan aktivitasnya melipat mukena. Bagaimana pun, dia tetap merasa canggung, masih belum berani bersitatap dengan Hadyan pasca mimpi yang baru dialaminya. "Kamu kalau masih mengantuk, tidur lagi aja enggak apa-apa. Pasti masih lelah oleh kejadian kemarin," lanjut Hadyan. "Iya." Hadyan tersenyum menanggapi jawaban singkat istrinya itu. Terdengar garing. Namun, entah mengapa dia justru merasa gemas. Serta merta tangannya terangkat, mengusak lembut rambut Khalisa. Baru saja keluar kamar beberapa jenak, Hadyan kembali masuk sambil menggendong Inaya yang masih dengan wajah mengantuknya. Khalisa yang saat itu sudah beralih aktivitas merapikan tempat tidur, menoleh ketika mendengar pintu kembali terbuka. "Ada yang mau ketemu kamu," ucap Hadyan sambil melangkah mendekat," sebenarnya dari tadi malam mau ketemu. Cuma saya bilang tunggu besok pagi. Sekarang bangun tidur dia menagih." Khalisa menghentikan aktivitasnya, lantas tersenyum hangat. Kedua tangannya terulur mengambil alih Inaya dari gendongan Hadyan. Dia dan gadis mungil lima tahun itu sebenarnya cukup dekat selama ini. Mereka sering saling sapa. Bahkan tidak jarang Inaya menemui Khalisa ke rumah untuk bermain dengannya. "Tante," panggil Inaya dengan suara khas bangun tidur. Mata mungilnya menatap manja. "Iya, Sayang." Khalisa menyahut lembut. Dia membawa Inaya duduk di tepi tempat tidur. Sesekali ciuman gemas dia labuhkan pada pipi putri suaminya itu. "Kata Ayah, Tante sekarang jadi bundanya Aya?" tanya Inaya penuh harap. "Iya." Khalisa mengangguk membenarkan. "Benar, Tante?" Inaya masih tidak percaya. "Huum. Aya, enggak keberatan 'kan, Tante, jadi bundanya, Aya?" "Tentu saja enggak, Tante. Malah, Aya, senang sekali," balas Inaya dengan wajah seketika semringah. Mata yang tadi masih mengantuk, kini terbuka lebar. "O, ya?" "Iya." "Terima kasih, Sayang." "Sama-sama. Apa boleh, Aya, panggil, Tante, Bunda?" "Tentu saja boleh. 'Kan sekarang memang udah jadi bundanya Aya." "Bunda ...." Tangan kecil itu serta merta memeluk Khalisa erat. Khalisa dapat merasakan kebahagiaan yang begitu besar di hatinya. Dari Atikah, Khalisa pernah mendengar jika tidak pernah sekali pun Inaya merasakan dekapan sang Ibu. Wanita yang telah melahirkannya itu sudah menolak kehadirannya bahkan sejak dia dalam kandungan. Eliana sering marah-marah dan menyebut Inaya yang saat itu masih di rahimnya sebagai pembawa sial. Kehadirannya membuat Hadyan bangkrut dan ekonomi mereka terpuruk. "Iya, Sayang." Khalisa merasa terharu. Dia membalas pelukan Inaya tidak kalah erat. Khalisa begitu terenyuh dengan kebahagiaan yang ditunjukkan gadis mungil itu. "Bunda enggak akan tinggalkan, Aya, 'kan?" Suara Inaya serak, bukan karena baru bangun tidur, tetapi seperti menahan tangis. "Aya sudah lama pengen punya bunda. Tante mau 'kan jadi bunda Aya selamanya?" lanjutnya. Khalisa semakin terharu. Matanya berembun mendengar kalimat Inaya yang terdengar pilu di telinganya. "Mau 'kan, Tante?" "Iya, Sayang. Tapi panggilnya jangan Tante lagi, dong. 'Kan tadi sudah panggil bunda," sahut Khalisa. "Iya, Bunda. Bunda, mau 'kan jadi Bunda, Aya, selamanya?" "Iya. Bunda akan jadi Bunda, Aya, selamanya." "Janji?" "Insya Allah, janji." "Terima kasih, Bunda." "Sama-sama." Khalisa mengeratkan lagi pelukannya pada Inaya. Matanya melirik pada Hadyan. Menjadi ibu Inaya selamanya artinya harus menjadi istri laki-laki itu selamanya. Apakah dia yakin? Di saat bersamaan, ternyata Hadyan pun melirik ke arahnya. Tatapan mereka bertemu. Dug! Jantung Khalisa seketika berdegup kencang. Lekas dia mengalihkan kembali pandanganya. Huh! Rasanya seperti tersetrum. *** Usai sarapan pagi, Hadyan menemani Khalisa ke rumah orang tuanya. Meskipun kediaman mereka berhadapan dan Khalisa akan sering berkunjung, tetapi rumah itu tidak akan ditempati secara aktif. Barang-barang perlu dikemasi agar tidak berdebu. Khalisa juga harus mengambil pakaian dan barang-barang pribadinya untuk dibawa ke rumah Hadyan. Laki-laki itu suaminya sekarang. Entah akan jadi apa rumah tangga mereka ke depannya, tetapi untuk saat ini dia harus ikut kemana suaminya itu tinggal. Sejujurnya Khalisa merasa enggan meninggalkan kediaman orang tuanya yang telah membesarkannya. Begitu banyak kenangan indah tercipta di sana, tentang kasih sayang tak berbatas dari dua orang paling berjasa dalam hidupnya. Namun, dia tidak bisa menolak ketika jalan hidup mengharuskan dia pergi. Khalisa menatap lama pada salah satu foto yang terpasang di dinding ruang keluarga rumah Hasan. Dia, Hasan dan ibunya berpose di sana. Kedua orang tuanya duduk di kursi, sementara dia berdiri di belakang, merangkulkan masing-masing tangannya pada pundak kedua orang tuanya. Hanya foto itu sekarang yang akan menjadi pelepas rindunya. "Mau saya ambilkan?" Hadyan yang sebelumnya mengemas sudut ruang yang lain, tiba-tiba berada di belakang Khalisa. Khalisa berjengit. Antara terkejut atas kehadiran Hadyan tiba-tiba, bercampur bingung atas pertanyaan laki-laki itu. "Heh?" "Mau saya ambilkan?" Hadyan mengulang pertanyaannya. "Ambil apa?" tanya Khalisa masih bingung. "Kamu mau bawa foto itu 'kan? Mau saya ambilkan?" Hadyan memperjelas pertanyaannya. "Ambil?" "Iya. Nanti kita pasang di rumah," tutur Hadyan menjelaskan pertanyaan sebelumnya. "Apa boleh?" tanya Khalisa ragu. "Kenapa enggak boleh?" Ganti Hadyan yang bertanya bingung. "Apa, Mas, enggak keberatan memasang foto orang tuaku di rumah, Mas?" Hadyan tersenyum ringan, "Kenapa mesti keberatan? Mereka orang tuamu, berarti orang tua saya juga. Jadi wajar saja memasang foto beliau di rumah." Tidak menunggu jawaban Khalisa lagi, Hadyan lekas menarik satu kursi, lalu naik ke atasnya untuk menggapai foto yang dimaksud. Dia segera menyerahkan foto itu pada Khalisa begitu turun. "Terima kasih, Mas." Khalisa tersenyum semringah, mengambil foto yang diulurkan Hadyan dengan antusias. "Sama-sama." Hadyan balas tersenyum. Hatinya ikut bahagia melihat kebahagiaan Khalisa. Tidak lepas matanya menatap raut gadis di hadapannya itu yang tampak sedang girang. Seperti sebuah mimpi akhirnya dia bisa memilikinya. Hadyan bersumpah, apapun yang terjadi tidak akan pernah melepaskan Khalisa. "Mas?" Akhirnya Khalisa menyadari jika Hadyan terus menatapnya. Dia merasa salah tingkah. "Hmm." Hadyan hanya menanggapi dengan bergumam ringan. Sementara pandangannya tidak juga beralih. "Mas kenapa lihati aku kayak gitu?" tanya Khalisa gugup. "Heh? Enggak kenapa-kenapa." Hadyan tersadar lalu lekas memalingkan wajahnya. Embusan napas kasar terdengar dari saluran napasnya. Apa ini? Ada sesuatu yang bergejolak dari organ tubuhnya, naluri alamiah seorang laki-laki yang telah terpendam selama lima tahun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN