Akan Selalu Ada

1427 Kata
"Kamu yakin?" tanyanya memastikan. Ekspresi Khalisa memang tidak terlihat yakin saat mengatakan bersedia menikah dengannya. Tentu saja, bagaimana Khalisa bisa yakin mengambil sebuah keputusan dalam waktu singkat. Apalagi dengan sosok seorang Hadyan. Dari penampakannya saja sudah tidak menyenangkan. Bicara begitu pelit. Bisa-bisa liurnya basi karena menjalani hidup bersama lelaki yang jarang bicara. Sikapnya yang angkuh dan tidak peduli, sungguh menyebalkan. Bisa-bisa dia kurus kering karena makan hati setiap hari. Argh! Membayangkannya saja sudah membuat Khalisa stres. Bagaimana dia harus menjalaninya? Namun, permintaan Hasan saat ini lebih penting dari perasaan dan hidupnya sendiri. Dia tidak mau menyesal di sisa umurnya karena tidak memenuhi keinginan terakhir laki-laki yang menjadi sebab dia ada di dunia itu, andai sesuatu yang buruk terjadi. "Iya." Khalisa mengangguk, walau sebenarnya masih tidak yakin. "Serius yakin?" "Iya." "Baik. Kalau begitu saya akan mempersiapkan semuanya." "Iya." *** Beberapa jam berlalu, Hadyan kembali ke rumah sakit. Bersamanya turut serta penghulu, dokter piket ruangan, serta salah satu staf perawat. Tidak perlu persiapan lebih lama. Setelah beberapa patah kata pengantar dari penghulu, ijab kabul segera akan dilangsungkan. Di atas ranjang rumah sakit, Hasan menjabat tangan Hadyan. Meski lemah, tetapi penuh kepastian. "Hadyan Prabaswara bin Rizwan Mawardi, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya, Khalisa Salsabila binti Hasan Umar dengan Mas Kawin sebentuk cincin emas dibayar tunai." "Saya terima nikahnya dan kawinnya Khalisa Salsabila binti Hasan Umar dengan Mas kawin tersebut dibayar tunai!" "Sah!" Begitu lancar kalimat ijab kabul terucap dari bibir Hadyan, Khalisa menghela napas dalam. Perasaannya antara lega dan gelisah. Lega, sebab dia sudah memenuhi keinginan Hasan untuk menjadi wali nikahnya sebelum mungkin kemampuan bicaranya kembali lumpuh. Gelisah, sebab mulai hari ini lembaran kehidupannya pasti akan berubah total. Dia menjadi istri dari seorang (mantan) duda. Khalisa tidak bisa mencerna, mengapa hal yang begitu ingin dia hindari, harus dia jalani. Menikah dengan duda, sangat ingin dia hindari. Lalu sekarang dia tidak hanya menikahi laki-laki dengan status itu, melainkan lengkap dengan bonus memiliki sikap menyebalkan, plus tanpa cinta, dan tanpa rasa. Dosa apa yang dia lakukan di masa lalu sehingga dia harus menerima takdir sepahit ini? "Silakan pegang ubun-ubun istri sambil membaca doa kebaikan pernikahan." Penghulu memberi instruksi kepada Hadyan yang langsung dibalas anggukan sebagai tanda mengerti. Hadyan lekas menghadap pada Khalisa, meletakkan tangan di atas ubun-ubun gadis yang baru dinikahinya sembari bibirnya melafazkan doa. "Allaahumma innii as'aluka khairahaa wa khaira maa jabaltahaa 'alaihi, wa a'uudzubika min syarrihaa wa syarri maa jabaltahaa 'alaihi." Khalisa memejam. Entahlah, seketika dia merasa hatinya sejuk dan damai mengalir dari ubun-ubunnya seiring doa itu dilafazkan, masuk melalui tangan Hadyan, menjalar hingga ke relung sanubarinya. Sejuk dan damai itu berubah menjadi desiran halus ketika tangannya bersentuhan dengan Hadyan saat dia mencium takzim punggung tangan laki-laki itu. Seolah tangan kekar itu memiliki aliran listrik yang mampu menggetarkan hatinya dalam sekejap. Khalisa melepaskan tangannya dari Hadyan dengan perasaan tidak menentu. Tanpa disangka, laki-laki itu membalas dengan memberi kecupan lembut pada keningnya. Napas Khalisa seakan berhenti sesaat. Desiran halus yang mulai bersemayam di hatinya, terasa kian merajalela. "Saya mencintai kamu, Khalisa." Sebuah bisikan yang sama sekali tidak pernah dia duga menyapu lembut indera pendengarnya. "Heh?" Khalisa ternganga sesaat, lalu meneguk ludah salah tingkah. Susah payah dia menepis kejanggalan rasa yang tiba-tiba datang menggelayutinya. Semua yang dia rasakan dan dia dengar, pasti hanya ilusi. Mana mungkin rasa yang tidak pernah ada, bisa datang tiba-tiba. Mana mungkin pula laki-laki yang selama ini begitu enggan bicara dengannya, ujug-ujug berkata cinta. Benar-benar mustahil. "Nak Hadyan." Suara lemah Hasan menyadarkan Khalisa dari pikirannya sendiri. Meskipun yang dipanggil Hasan adalah Hadyan, tak urung dia ikut memerhatikan. "Iya, Ayah." Laki-laki yang baru saja mengambil tanggungjawab atas dirinya itu mendekat lebih rapat pada Hasan. Tangannya menggenggam hangat tangan tua yang baru beberapa menit lalu dijabatnya dalam ijab yang sakral. Hadyan mengubah panggilannya pada Hasan. Biasanya dia memanggil dengan sebutan 'Pak'. Kali ini diganti Ayah. Sepertinya dia sudah menyesuaikan diri. "Terima kasih sudah mau menikahi Khalisa. Ayah bahagia sekali." Hasan bicara lemah. Dia pun mengubah sebutan untuk dirinya pada Hadyan. Senyum bahagia terukir dari bibir tuanya, memancar dari binar wajahnya. "Iya, Ayah." Hadyan mengangguk. "Sekarang kapan pun Allah memanggil, ayah bisa menghadapinya dengan tenang," lanjut Hasan ringan. Senyum bahagia terus menghias bibirnya. "Ayah jangan bicara seperti itu. Insya Allah Ayah segera pulih dan selalu sehat setelah ini. Jangan bicara yang tidak-tidak," balas Hadyan lembut dan santun, "bukankah Ayah selalu bermimpi menimang cucu?" Dahi Khalisa mengernyit mendengar kalimat yang terucap dari bibir Hadyan. Ditatapnya dua laki-laki yang berada tidak jauh darinya itu penuh heran secara bergantian. Hasan pernah membahas perihal cucu dengan Hadyan sebelum ini? Oh, tunggu! Apa tadi yang laki-laki itu katakan? Cucu? Artinya anaknya? Baru menikah beberapa menit yang lalu, laki-laki itu bahkan sudah memikirkan anak? Seketika image duda sebagai laki-laki kesepian kembali melintas di benak Khalisa. Sontak dia bergidik ngeri. Akan tetapi, bukankah Hadyan tidak menyukainya? "Iya, Hadyan. Ayah memang sangat ingin menimang cucu. Ayah ingin melihat mereka tumbuh besar, bermain sambil berlarian, mendengar tangis, tawa, dan celoteh lucu mereka. Tentu menyenangkan jika Allah memberi kesempatan itu. Tapi, ayah sadar kondisi semakin tua dan lemah. Cukuplah Khalisa menemukan pendamping hidup yang cocok, ayah sudah bahagia." Hasan menjeda kalimatnya beberapa jenak. Matanya menatap Hadyan dengan sorot penuh harap. "Berjanjilah kamu untuk selalu menjaga Khalisa, membimbingnya menjadi istri yang sholehah," lanjutnya. "Iya, Ayah. Insya Allah." Hadyan kembali mengangguk. "Terima kasih. Ayah percaya kamu bisa menjadi suami yang baik untuk Khalisa." "Aamiin." "Khalisa." Suara lemah Hasan beralih pada Khalisa. Hadyan menggeser sedikit posisinya, memberi ruang pada Khalisa. Keduanya berdiri bersisian menghadap pada Hasan. "Iya, Ayah." Khalisa menggenggam tangan tua Hasan setelah mendekat lebih rapat. "Selamat, ya, Nak. Akhirnya kamu menjadi seorang istri." Hasan menatap Khalisa teduh. Selarik senyum hangat tidak lepas dari bibirnya. "Iya, Ayah," sahut Khalisa santun. Meskipun merasa getir atas ucapan selamat dari Hasan, tak urung Khalisa membalas senyum cinta pertamanya itu. Menjadi seorang istri memang impiannya beberapa waktu ke belakang. Akan tetapi, bukan sebagai istri Hadyan. Mimpinya selama ini adalah menikah dengan Radit. "Jadilah istri yang sholehah, ya, Nak. Berbaktilah pada suamimu. Layani dia dengan ikhlas, sebab dia merupakan jalan surgamu sekarang." Hasan balas menggenggam tangan Khalisa dengan lembut. "Iya, Ayah." "Satu yang harus kamu ingat, Nak. Menikah itu sejatinya bukan untuk mengejar bahagia, melainkan mengejar ridho Allah. Bahagia itu bonus. Jika Allah sudah ridho, maka Insya Allah kamu akan bahagia. Jadi jangan lihat siapa laki-laki yang menjadi suamimu. Siapapun dia, kewajibanmu untuk berbakti." "Iya, Ayah." Tidak ada yang bisa Khalisa lakukan, selain menurut pasrah. "Hadyan." Suara lemah Hasan kembali beralih pada Hadyan. Tangan tuanya tergeragap meraih tangan laki-laki yang kini menjadi menantunya itu, menyatukannya dengan tangan Khalisa. "Iya, Ayah." Hadyan mendekat lebih rapat. Kini dia dan Khalisa berdiri tak berjarak. "Sekali lagi, ayah titip Khalisa. Tolong jaga dan lindungi dia. Khalisa hanya punya kamu sekarang. Dia tidak punya siapa-siapa lagi." "Iya, Ayah." Seperti sebuah firasat, permintaan Hasan untuk menjadi wali nikah Khalisa merupakan keinginan terakhirnya. Seorang ayah berhati lembut itu akhirnya menutup mata dalam usia 62 tahun. Dia pergi usai menunaikan tugasnya sebagai seorang ayah, setelah mengalihkan tanggung jawab atas putrinya pada lelaki yang diyakininya mampu menggantikan posisinya. Pun kepergiannya membawa kerinduan untuk wanita yang teramat dicintainya, yang telah pergi mendahuluinya tiga tahun lalu. Selama tiga tahun itu, setiap hari dia memendam rindu yang begitu besar. "Ayah ...." Khalisa luruh ke lantai setelah kalimat tauhid mengiringi mata Hasan yang memejam selamanya. Dunianya bagai hilang separuh. Tubuh ramping itu berguncang dalam isak yang tertahan. Tangisnya memang tidaklah kencang. Namun, siapa saja yang melihat pasti bisa merasakan bahwa hatinya begitu remuk redam. "Mengapa Ayah tinggalkan Lisa?" ucapnya tersendat dalam isak yang berat. Menghabiskan waktu bersama sosok ayah terbaik selama 25 tahun terasa amatlah kurang. Di tambah lagi kedekatannya dengan Hasan yang semakin dalam selama tiga tahun kepergian ibunya, membuatnya begitu takut untuk berpisah. Sekarang tinggal dia sendiri. Meskipun saat ini sudah memiliki seseorang yang bertanggung jawab atas dirinya, tetapi sosok dua orang yang menjadi sebab hadirnya di dunia itu tidak akan bisa tergantikan oleh siapa pun. Rasanya terlalu cepat Allah memanggil dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya itu. Khalisa masih ingin bersama mereka, menghabiskan lebih banyak lagi waktu yang tersisa di dunia. Namun, dia bisa apa jika takdir memaksa mereka untuk berpisah? "Lis ...." Hadyan merendahkan tubuhnya, mensejajari Khalisa yang tersuruk. Kedua tangannya meraih pundak gadis yang baru saja dia ambil tanggung jawabnya itu, memposisikan agar mereka saling berhadapan. Tidak banyak kata, tubuh ramping itu segera dia bawa ke dalam pelukannya, membiarkan tangisan pilu tumpah di dadanya. Dia tahu Khalisa tidak butuh kata-kata penghiburan saat ini. Gadis itu hanya butuh tempat bersandar. Dia bersumpah mulai saat ini dan selamanya, akan selalu ada untuk itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN