Menikah dengan duda sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak Khalisa. Bukan apa-apa, dia seorang pencemburu. Membayangkan miliknya pernah dimiliki orang lain saja sudah cukup memantik api cemburu di hatinya. Apalagi bukan tidak mungkin jika masa lalu sang duda itu kembali datang. Khalisa tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya.
Di samping itu, Khalisa memiliki alasan lain yang membuatnya enggan untuk menikah dengan duda. Image laki-laki yang sudah lama kesepian. Dalam pikiran Khalisa pasti 'ganas'. Jujur itu membuatnya takut. Memikirkannya saja sudah membuatnya bergidik ngeri. Apalagi menjalaninya. Lagi-lagi Khalisa tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
Namun, dia bisa apa jika takdir membawanya pada jalan itu?
"Saya saja yang nikahi kamu!"
Khalisa berjengit kaget ketika tiba-tiba sebuah suara berat terdengar dari arah belakang posisinya berdiri. Sesaat dia tertegun setelah mengetahui siapa pemilik suara itu.
Hadyan, tetangga depan rumah. Laki-laki berstatus duda anak satu. Usianya 33 tahun. Sosok yang sering dipuji Hasan--ayahnya--karena sikapnya yang santun, penyayang, bertanggung jawab, mapan, dan tampan. Penggambaran yang justru bertolak belakang dengan apa yang Khalisa temukan.
Bagi Khalisa, Hadyan justru kerap membuat dongkol karena dinilai tidak sopan; jarang menyahut ketika disapa, mengalihkan pandangan saat diajak bicara.
Apalagi yang lebih tidak sopan dari pada itu? Bukankah benar-benar menyebalkan? Dari semua penggambaran Hasan tentang Hadyan, hanya dua hal yang Khalisa setujui. Dia mapan dan tampan.
Mapan. Tentu saja. Laki-laki itu memiliki usaha sendiri.
Tampan. Bisa dikatakan sebelas dua belas dengan Profesor Roy Kimberly dalam drama Doctor Cha. Namun, apa gunanya tampan jika sikapnya menyebalkan.
Hadyan merupakan warga baru di kompleks perumahan tempat tinggal Khalisa. Laki-laki itu bersama anak dan ibunya baru pindah sekitar empat bulan yang lalu.
Sebagai tetangga, Khalisa merasa sudah sewajarnya saling sapa dan beramah tamah. Namun, laki-laki itu selalu tidak acuh setiap dia menyapa. Jangankan membalas sapa, senyum pun tidak. Jangankan senyum, seringkali menoleh pun tidak. Sesekali Hadyan hanya menanggapi dengan melirik, tetapi hanya sekilas. Setelah itu dia akan mengalihkan pandangan. Seolah tidak sudi berbicara dengan Khalisa.
Terang saja Khalisa gusar. Sikap Hadyan seolah menunjukkan bahwa laki-laki itu berpikir kalau dirinya menyapa karena ingin mencari perhatian dan tebar pesona.
Padahal? Big no!
Meskipun dia setampan Profesor Roy, tetapi Khalisa sama sekali tidak tertarik. Dia sudah punya calon suami yang tidak kalah tampan. Tentu saja masih muda dan bukan produk preloved.
"Jika laki-laki itu tidak bisa dihubungi, saya saja yang nikahi kamu!" ulang Hadyan tegas saat melihat Khalisa hanya terdiam.
Satu minggu yang lalu Hasan masuk rumah sakit. Saat akan berwudhu untuk menjalankan sholat subuh, tiba-tiba laki-laki itu terjatuh di kamar mandi dan seketika tidak sadarkan diri.
Panik dan cemas, Khalisa seketika berteriak minta tolong. Hadyan merupakan orang pertama yang datang memenuhi teriakannya. Mengetahui apa yang dialami Hasan, laki-laki itu sigap membawa ke rumah sakit.
Hubungan Hadyan dan Hasan memang cukup dekat sejak mereka bertetangga. Keduanya sering mengobrol jika Hadyan sedang tidak bekerja. Bahkan pagi-pagi sebelum berangkat, Hasan kerap memanggil Hadyan untuk menikmati kopi bersama. Terlebih kala sore sepulang Hadyan bekerja, mereka lebih banyak menghabiskan waktu sambil bercengkrama bersama.
Begitu cepat mereka akrab. Apa ini berkaitan dengan nama keduanya yang hampir sama? Entahlah, Khalisa tidak mengerti.
Hasan didiagnosa mengalami serangan stroke. Dia memang memiliki riwayat tekanan darah tinggi. Subuh itu tekanan darahnya sedang naik yang mengakibatkan tubuhnya limbung dan terjatuh di kamar mandi.
Satu minggu dirawat, hari ini kondisi Hasan membaik. Tubuhnya yang sebelumnya begitu lemah, sudah tampak lebih segar. Bicaranya yang sempat terganggu, hari ini mulai kembali lancar. Oleh karena kembali bicara lancar, Hasan meminta agar Khalisa segera menikah. Dia khawatir suatu saat kembali mengalami gangguan bicara dan tidak bisa menjadi wali nikah putri satu-satunya. Khalisa merupakan buah cintanya bersama mendiang sang istri. Anugerah terindah yang dia peroleh setelah melalui penantian panjang, sepuluh tahun.
Permasalahannya, Radit--calon suami Khalisa--tidak bisa dihubungi. Satu minggu Hasan dirawat, laki-laki itu bahkan tidak sekali pun datang menjenguk. Setiap Khalisa meminta, dia selalu beralasan sibuk. Entah sesibuk apa, bahkan meluangkan waktu lima belas menit sepulang bekerja pun tidak bisa.
Sebenarnya selama ini Hasan tidak pernah menyukai Radit. Entah mengapa, Khalisa tidak mengerti. Hasan pernah memintanya mencari laki-laki lain, tetapi dia menolak. Akhirnya Hasan pasrah. Dia terpaksa menerima Radit sebagai calon menantu hanya karena memikirkan pilihan hati Khalisa.
Seharusnya di saat Hasan sakit begini kesempatan bagi Radit untuk merebut hati calon mertuanya itu; membantu menjaganya, atau memberi perhatian sekecil apapun. Namun, dia justru tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Parahnya, hari ini Radit sama sekali tidak bisa dihubungi. Padahal sedang week end. Apa di hari libur laki-laki itu masih bekerja? Atau sebab hari libur, dia sengaja mematikan ponselnya karena tidak mau diganggu? Khalisa benar-benar tidak habis pikir.
Selama satu minggu ini, Hadyan yang selalu datang membantu Khalisa menjaga Hasan. Dia memberi kesempatan untuk Khalisa pulang membersihkan diri. Tidak hanya itu. Hadyan pun tanpa sungkan menunggui Hasan ketika malam dan meminta Khalisa beristirahat di rumah. Dia tidak mau Khalisa terlalu lelah.
Walau saat menyampaikannya terkesan angkuh dan memerintah, tetapi apa yang dilakukan Hadyan sangat banyak membantu Khalisa. Sejak Hasan jatuh sakit, Khalisa memang lelah fisik dan pikiran.
Lelah fisik, sebab dia keluarga Hasan satu-satunya. Segala keperluan laki-laki itu, dia yang mengurus.
Lelah pikiran, Khalisa takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Hasan. Hanya Hasan yang dia punya saat ini.
"Saya cuma menawarkan option. Jika kamu keberatan, tidak apa-apa. Saya melakukan ini lantaran memikirkan kondisi ayah kamu. Tidak lain." Hadyan mengakhiri pembicaraan. Begitu saja dia berlalu, kembali ke ruang rawat Hasan dan meninggalkan Khalisa yang masih terpaku di taman rumah sakit.
Khalisa mengembuskan napas kasar, menatap gusar sosok Hadyan yang perlahan menjauh. Tidak habis pikir, begitu gampang laki-laki itu memandang pernikahan. Pantas saja menduda, sebuah ikatan suci itu hanya dijadikan sebagai option. Padahal bagi Khalisa, pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, memutuskannya harus dengan sungguh-sungguh disertai pemikiran matang dan niat yang ikhlas. Bukan asal.
Akan tetapi, pada akhirnya dia pun sama. Tidak ada pilihan lain, melihat Hasan yang begitu berharap dirinya segera menikah, Khalisa terpaksa menerima tawaran Hadyan. Lagipula, tidak mungkin dia menunggu Radit yang telah membuatnya kecewa. Laki-laki yang selama ini telah mencuri hatinya itu rupanya tidak punya hati. Di saat calon mertua sakit, sama sekali tidak ada niat untuknya berkunjung. Alih-alih berkunjung, yang ada dia justru menghilang tanpa kabar.
"Saya bersedia dinikahi Mas Hadyan," ujar Khalisa pelan setelah menyusul laki-laki itu ke ruang rawat Hasan. Hadyan menoleh, tertegun menatap Khalisa beberapa saat.