Chapter 08

1215 Kata
Happy reading  Typo koreksi ya... Jgn lupa vote love and comment.... Biar aku semangat nulisnya ____ Lorong koridor rumah sakit yang sepi dan hening menciptakan atmosfer semakin mencekam untuk seorang wanita cantik yang masih mengenakan piyama tidurnya. Ia duduk lesu di kursi besi berwarna putih di rumah sakit tersebut, kepalanya merunduk menatap jemari-jemarinya yang saling meremas dan berkeringat dingin. Di depannya pintu kaca besar bertuliskan UGD terpampang, membuat jantungnya semakin berdetak tidak berirama beraturan. Tidak jauh dari tempatnya, sepasang mata menatap sendu kearahnya. Sosok itu pun terlihat tidak tenang namun ia lebih mengkhawatirkan kondisi wanita itu daripada dirinya sendiri saat ini. Dengan langkah kaku ia mendekat, setelah berdiri tepat di depan wanita itu ia berjongkok menumpu kedua lututnya di atas lantai keramik. Kepala wanita itu terangkat hingga pandangam keduanya bertemu, mata dan hidung wanita itu tampak merah, pipinya pun basah. Tangan kekar sosok laki-laki tampan itu terulur ragu, memegang kedua pipi itu dengan tatapan sendu. Jemarinya dengan lembut bergerak menghapus jejak-jejak bulir air mata tersebut dengan tangan sedikit gemetar. Jantungnya berdebar kuat, ketika manik mata indah itu terlihat sayu dan menatap balik dirinya intens. "Aku mohon. Jangan menangis lagi Rissa. Raka pasti baik-baik saja." Ujarnya lembut dengan tatapan hangat. Mata wanita itu mengerjap, lalu mengangguk kecil. Pipinya sudah tidak basah lagi, Arkan lelaki itu rupanya sudah selesai menghapus jejak air mata Clarissa dengan telaten. Tangannya masih bertengger di pipi mulus wanita itu, detak jantung keduanya berdebar kencang, keduanya seakan terserap kedalam lubang aneh secara bersamaan. Rasa nyaman, hangat, itu menyebar memenuhi rongga d**a keduanya. Bahkan saking nyaman nya sampai membuat d**a mereka rasanya mau meledak. Ada himpitan sesak terasa disana, tapi tidak sakit. Himpitan itu membuat mereka justru ingin terus berada disana lebih lama. "Aku minta maaf. Karena aku Raka jadi seperti ini. Seharusnya aku tidak melarang kamu mengatakan pada Raka jika aku sebenarnya sedang sakit. Raka pasti berpikir aku tidak menyayanginya karena tidak pernah menemuinya lagi." "TIDAK." Clarissa menggeleng tegas. Tangannya memegang telapak tangan besar milik Arkan dan meremasnya pelan. "Raka bukan anak yang seperti itu kak. Dia. Dia tidak pernah menganggap kakak seperti itu. Dia. Dia hanya merindukan ayahnya. Aku yang salah. Karena tidak bisa menjaga Raka dengan benar." Jantung Arkan semakin berdebar-debar kuat, tindakan kecil Clarissa yang menggengam tangannya mengalirkan aliran listrik menyengat hingga rasanya di dalam perutnya ada yang ingin meronta-ronta. "Rissa." "Hmm." Keduanya kembali bersitatap intens. Arkan menatap jemari putih mulus dan wajah wanita didepannya lekat bergantian, ia menurunkan tangannya dari pipi Clarissa hingga jemari wanita itu pun ikut terlepas. Clarissa menatap Arkan bingung. Lalu detik berikutnya ia tersentak saat Arkan menarik pergelangannya kuat hingga tubuhnya terhuyung kedepan dan masuk kedalam pelukan lelaki itu erat. "Kak." Clarissa menegang kaku saat merasakan deru napas panas milik lelaki itu menyentuh tengkuk lehernya hangat. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali bersamaan dengan desiran aneh dalam dirinya. Wanita itu menelan ludahnya gugup saat suara serak dan berat masuk kedalam indra pendengarannya dengan nada rendah. "Sebentar saja. Aku mohon." Satu kata yang bisa Clarissa yakini. Nyaman. Clarissa tidak mengerti dan dia memilih diam tidak berkutik. Ketika ia merasa kenyamanan pada sosok laki-laki di depannya. Arkan hanya memeluknya. Pelukan yang sama seperti Andre lakukan padanya. Tapi, mengapa rasanya ada yang berbeda. Ia memejamkan matanya saat debaran aneh itu semakin menekan dan menghimpit dadanya. Tanpa sadar tangannya telurur ke balik punggung lebar lelaki itu dan mencengkram jaket Arkan kuat. "Kak aku--." "Aku mencintai kamu Rissa." Deg. Clarissa mematung, mata yang semula tertutup kini terbuka membelalak lebar. "K--kak." Tenggorokkannya tercekat. Arkan melepas pelukannya, ia tersenyum miris. "Jangan khawatir. Kamu tidak perlu membalas perasaan aku Rissa. Aku hanya ingin mengatakannya sebelum menyesal." Clarissa menatap Arkan dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu harus merespon bagaimana. Tapi hatinya... "Keluarga pasien." Keduanya tersentak kaget, ketika mendengar suara orang lain menyapa. Keduanya melihat seorang dokter sudah berdiri di dekat pintu kaca UGD. Arkan dan Clarissa buru-buru berdiri tegak, menghampiri sang dokter dengan raut canggung dan malu. "Ya Dok. Kami orang tuanya." Sahut Arkan. "Begini. Anak Bapak dan Ibu sepertinya mengalami gejala penyakit tifus. Tapi Bapak dan Ibu tenang saja. Ini baru gejala awal. Beruntung semua belum parah dan terlamabat. Kami sudah memberikan putra Bapak dan Ibu obat antibiotik dan juga vaksin serta penurun panas. Kita akan menunggu sampai kondisi suhu tubuhnya kembali normal. Saya sarankan anak Bapak dan Ibu untuk di rawat dulu di sini demi proses yang efektif bagi penyembuhannya." Clarissa tampak tercengang mendengar penjelasan sang dokter, ia tidak menyangka jika putranya terkena sakit tifus. "Baik Dok. Lakukan yang terbaik buat putra kami." Sang dokter mengangguk mengerti, "Baik Pak. Mohon di tunggu sampai anak Bapak dan Ibu kami pindahkan kekamar perawatan." Arkan mengangguk paham. Ia mengucapkan terima kasih pada dokter yang kemudian pamit undur meninggalkan keduanya berdiri di tempatnya. "Rissa." Panggil Arkan saat melihat wanita itu hanya diam bergeming. Grep. Clarissa terlonjak saat merasakan Arkan mengenggam telapak tangannya dan menautkannya di sela-sela jemarinya lembut. Clarissa menolehkan kepalanya dengan wajah memanas, memandang raut hangat lelaki itu kepadanya. "Raka pasti sembuh. Jangan khawatir. Jagoan kita itu anak yang kuat. Oke." Anggukan kepala di balas olehnya, ia menatap pintu dimana putranya berada dengan raut khawatir dan menyesal. Sayang Bunda harus sehat lagi ya. Maafin Bunda Nak. Cepat sembuh ya sayang. Bunda sayang Raka. Disini ada ayah Nak. ____ Beberapa jam kemudian. Silau sinar matahari pagi menyambut seorang lelaki di atas tempat tidurnya, matanya perlahan terbuka, Ia menyipitkan matanya, lalu kepalanya menoleh kesamping melihat jam di atas nakas dengan dahi mengerenyit. Tangannya terulur mengambil ponsel genggamnya dan melihat notifikasi yang masuk. Desahan pelan terdengar, saat tidak ada notifikasi apapun yang masuk selain email tentang pekerjaan. Ia bangkit dan mengambil posisi duduk, ponsel nya berada dalam genggaman tangannya membuka email yang masuk. Lalu berdecak kala mendapat mendapat laporan tidak menyenangkan dari sahabatnya. Tanpa membalas pesan, lelaki itu turun dari atas tempat tidur setelah meletakkan ponselnya asal. Kakinya melangkah kearah kamar mandi, butuh waktu 30 menit untuk lelaki itu selesai membersihkan dirinya. Setelah rapi dan segar ia turun ke bawah, menatap suasana sepi rumah ini. Di dapur hanya ada asisten rumah tangganya yang tampak sedang membuat sarapan untuknya. "Pagi Mbok." "Pagi Mas Andre. Aduh maaf tunggu sebentar ya Mas. Mbok belum selesai masak nasi gorengnya." Andre lelaki itu mengangguk, mengambil gelas yang ada di atas meja pantry dan menuangkan air mineral kedalamnya. "Saya tunggu di meja makan ya Mbok. Mbok juga temenin saya kita makan bareng." Belum sempat wanita patuh baya itu menjawab Andre anak majikannya sudah berjalan menuju ruang makan. Rumah ini tampak sepi, karena Toni masih di rawat di rumah sakit. Sedangkan Sari tetap setia menjaga ayah angkat bergantian dengannya. Selang berapa lama, Mbok Wati datang membawa nasi goreng untuknya. Alis Andre terangkat karena hanya ada satu piring yang di bawa wanita paruh baya tersebut ke ruang meja makan. "Kenapa cuma satu Mbok." "Emm. Anu Mas. Mbok sudah makan tadi. Maaf Mas. Mbok lupa bilang." Andre mendesah pelan. Ia menganggukkan kepalanya mengerti. "Baik. Tidak apa-apa Mbok." Akhirnya Andre hanya makan seorang diri lagi. Lelaki itu makan dengan tidak semangat. Ia mendesah, ketika keadaan rumah saat ini benar-benar sunyi. Ia rindu suasana ramai dan hangat seperti dulu. Seandainya saja kita sudah menikah calis. Batinnya. ____ Tbc Ekhm ada yg berduaan di rumah sakit menebar-nebar debaran cupid. Ada juga yg sendirian di rumah. Aku jadi kebingungan harus pro kemana wkwkw. Maklum jujur aku pengen 2 2 nya soalnya...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN