ID 02

2184 Kata
Sedang di negara lain. Sesosok gadis cantik, kaya raya, sayangnya pemalas. Kuliah nggak lulus-lulus. Sengaja suka buat kesal ayahnya, lantaran hanya ingin dapat perhatian. "Maria! Sudah Mama bilang berapa kali padamu! Stop! Mainan sosial media tak ada guna seperti itu!" Bentak sosok wanita yang diketahui sebagai orang tua dari gadis yang bernama Maria itu. Gadis itu merepalkan kedua tangannya, berdiri dari tempat duduknya. Menatap nyalang sosok wanita yang berdiri di hadapannya. "Siapa elo berani ceramahin gue? Elo cuma wanita yang hadir pembawa petaka dalam hidup keluarga gue!" emosinya. Sosok wanita itu terbelalak. Sial! Andai saja bukan karena anak dari suaminya, sudah ia damprat gadis ini dari dulu. Batin wanita itu. Maria berlari menuju ke kamarnya, merebahkan tubuhnya di atas kasur. Menatap selembar foto seorang wanita yang begitu mirip dengannya. "Mama, Maria kangen. Mama kemana?" isaknya. Berharap jika sosok gambar yang ia ajak bicara bisa mendengar suara hatinya. Hingga tak lama setelahnya, Maria terlelap dalam tidurnya. Beberapa menit kemudian. Maria terusik dengan sentuhan sosok tangan besar. Yang berlahan membelai rambut panjangnya. "Maria, ini sudah malam. Cepatlah bangun, dan turun ke bawah. Papa dan mama sudah menunggu di bawah." ucap sosok pria yang tak lain adalah ayah dari gadis tersebut. Maria mengerjabkan bola matanya, kenapa hidupnya terlalu monoton begini? Dengan malas gadis itu menuruni tangga rumahnya menuju ke lantai bawah, lebih tepatnya ke ruang makan. Di sana sudah ada ibu, ayah, dan kakak tirinya. Maria berjalan gontai, mendekat ke arah mereka bertiga. "Duduk di sini, Maria." sosok pemuda yang terlihat tampan menggeser kursi di sampingnya untuk sang adik. "Elo nggak usah sok cari perhatian sama bokap gue!" ketusnya. "Maria! Jaga sikap kamu. Biar bagaimanapun, hormati Dirga sebagai kakak kamu!" Maria berdecih, memilih meninggalkan ruangan tersebut. Terlampau malas dengan drama mereka. Nafsu makannya tiba-tiba menguar entah kemana. "Maria! Dengarkan ucapan Papa!" teriak pria yang di ketahui bernama Adiguna Sadewa itu. Ayah kandung dari Maria. Maria bosan, ia malas berada di rumah. Semenjak kedatangan sosok wanita beserta anak lelakinya itu. Hidup Maria berasa ada di neraka. Ia memainkan ponselnya, mendial nomor lelaki yang biasa bermain live dengannya. Butuh teman curhat, hanya sekedar berteman tak lebih dari itu. Karena sejujurnya Maria belum pernah mempunyai pacar ataupun teman dekat. Katakanlah gadis itu polos, sebelum ibunya menghilang. "Benz," ucapnya, setelah panggilan ponselnya terjawab. "Iya," singkat pemuda itu. Maria sedikit curiga sebenarnya, suara pemuda itu sangat berbeda dengan saat melakukan siaran langsung. Ah, apa mungkin efek aplikasi saja, Maria mencoba berpikir positif. "Kamu sedikit pendiam, berbeda pada saat melakukan live." kekeh Maria. Benz yang ada di seberang sedikit heran. Melakukan live? Kapan dan di mana? Perasaan ia tak pernah melakukan hal itu. Tapi ya sudahlah, tidak penting juga. Benz memang terkesan masa bodoh emang. "Aku bosan, butuh temen. Andai kamu ada di sini, pasti bisa buat temen curhat aku." keluh Maria. Benz tersenyum, meski ia tau jika Maria tak bisa melihat senyumannya. "Kapan-kapan aku bakal berkunjung ke sana." Maria terbelalak. "Elo serius?" hilang sudah kata aku-kamu yang tadi terjaga. "Elo bisa ngomong santai juga ternyata. Gue lebih seneng ngomong dengan cara kek gini." "Sama dong!" seru Maria. Sejak saat itu hubungan mereka terjalin dekat. Ayah Maria-Adiguna begitu kesal. Semenjak kepergian sang istri yang tiba-tiba menghilang beberapa tahun yang lalu. Putrinya menjadi sosok gadis yang begitu pembangkang. Bermalas-malasan, bahkan ia sampai memasukkan gadis tersebut dalam universitas spesial milik keluarganya. Di mana universitas itu hanya berisi mahasiswa-mahasiswi terbodoh yang butuh gemblengan keras buat belajar. Adiguna bahkan sampai memanggil dosen pendatang dari luar negri, untuk bisa membimbing putrinya. Agar bisa lulus dengan nilai sempurna, karena dia adalah penerus satu-satunya di keluarga besar Adiguna. "Papa mau manggil dosen mana lagi, hah? Nggak akan mampu buat ngajarin aku." remeh Maria. Sang ayah sudah frustasi dibuatnya. "Ini yang terakhir kalinya, Papa memanggil dosen untuk kamu. Spesial dari Jepang, Papa mohon ... belajarlah dengan benar. Jika kamu tetap seperti ini, terpaksa ... Papa akan mewariskan perusahaan milik keluarga kita pada kakakmu-Dirga." Kedua mata Maria membola lebar. Tidak, ini tidak boleh dibiarkan. Ia harus menjaga kekayaan keluarganya, jangan sampai harta miliknya jatuh ke tangan orang yang salah. "Enggak Pa! Aku nggak setuju." "Jika kamu tidak setuju, maka belajarlah! Atau mungkin kamu bisa menikah dengan lelaki yang bisa mengatur perusahaan kita." Maria bingung, pacaran saja tidak pernah. Bagaimana bisa ia mendapat suami. "Jika aku memilih opsi yang kedua, bagaimana?" lirih gadis itu. "Jika kau memilih opsi yang kedua, Papa hanya memberikan waktu untukmu selama 30 hari. Dalam waktu 30 hari, kau harus bisa mendapatkan calon suami. Ingat, dia harus bermartabat, sama halnya dengan keluarga kita." Maria merutuki kebodohannya, nyatanya opsi yang kedua lebih berat ketimbang opsi yang pertama. Tapi ... setidaknya jika memilih opsi yang kedua. Ia tak usah kerepotan belajar tentang perusahaan. "Baiklah ... aku setuju." Kesepakatan terlaksana mulai detik itu. Hari ini Maria menjalani pendidikan seperti biasa. Ditemani dosen barunya, seorang gadis cantik, ramah, bernama Lovelya. Minggu berganti bulan telah berlalu. Tak ada perubahan yang terjadi selama belajar dengan Lovelya. Hingga pada saatnya, Lovelya memutuskan untuk berhenti mengajar sementara. Karena alasan akan menikah. Namun ia janji akan mencarikan dosen pengganti dirinya buat murid didiknya. ▫️▫️▫️ "Benz, bantuin gue ya ... pliss!!!" mohon Lovelya. "Apa harus banget, gue masih ngajar di sini. Nggak enak dong, kalau tiba-tiba gue pindah kerjaan gitu aja." "Elo masih punya banyak waktu, buat satu bulan ke depan. Gue mau nikah sama Jagad. Masa elo nggak mau bantuin gue sih?" Terpaksa Benz tak bisa menolak permintaan Lovelya, terlebih gadis itu merupakan cinta pertamanya. Otomatis hatinya langsung mengiyakan permintaan gadis itu. "Iya ... iya. Gue bakal gantiin elo sementara." Lovelya tersenyum cerah, terlalu mudah memang memperdaya Benz, ia merasa bangga karena dipuja banyak pria. Di sisi lain, Maria tengah kebingungan buat nyari cowok tajir yang bisa ia ajak kompromi, buat jadi pacar bohongan nya. Hingga tercetus sebuah ide. Ingin mengorek lebih jauh tentang kehidupan Benz. Syukur-syukur kalau dia anak orang tajir melintir dan mau jadi calon suami bohongan nya. "Benz, elo udah janji bakal nemuin gue. Kapan?" rengeknya. Benz yang merasa sedikit frustasi karena ditinggal nikah sama cinta pertamanya. Memutuskan buat mencari hiburan sejenak. Pergi menemui Maria sepetinya bukan ide yang buruk. "Lusa, gue bakal berkunjung ke Indonesia." "Elo serius?" tak percaya Maria. "Iya, gue serius." Maria jingkrak-jingkrak kegirangan. Entah kenapa ia bisa sebahagia ini. Dua hari kemudian. Maria menunggu kedatangan Benz di bandara. Sesuai dengan janji mereka berdua. Maria terdiam, sejujurnya ia merasa canggung. Baru kali ini ia bertemu dengan lelaki yang sama sekali belum ia temui. Dan bodohnya, ia belum pernah melihat sosok pemuda itu. Benz terlalu tertutup sebagai lelaki. "Kek orang begok gue, ngapain gue nungguin orang yang belom pernah gue kenal, liat mukanya aja belom." malasnya, terduduk di deretan kursi di sana. Hingga ponsel di tangan kanannya tiba-tiba berdering. "Iya, Benz. Elo udah datang?" tanyanya. Sembari menelisik ke segala penjuru. "Gue ada di samping elo!" Maria menoleh ke arah samping, di mana ada sosok pemuda tinggi, berpawakan tak terlalu besar cuma berisi dengan wajah tampan bak orang Jepang. Tersenyum ke arahnya, dia benar-benar tampan. Sangat berbeda dari sosok lelaki yang sering melakukan siaran langsung di aplikasi yang ia mainkan. Meski sosok yang berada di dalam vidio itu menggunakan masker, tapi jelas sangat berbeda. "Elo, Benz?" tanyanya, takut salah orang. "Iya, kenapa? Elo nggak percaya?" tanya balik sosok pemuda itu. Maria tersenyum malu. Ih, tampan banget ini cowok, astaga!! Berasa ketemu Kento Yamazaki. "Mau sampai kapan berdiri di sini? Ayo pulang." "Pu-pulang?" beo Maria dengan bodohnya. "Iyalah! Emang elo nggak mau pulang? Yaudah, gue aja yang pulang." Benz melenggang pergi. Maria terkesiap dan berlari mengekor pemuda tersebut. "Elo tinggal di mana?" tanya Maria. "Gue tinggal di kawasan pondok indah." Maria tersenyum dalam hati. Kawasan elit para holkay. Sudah pasti dia anak orang kaya. Tinggalnya aja di kawasan orang tajir. "Kok samaan sih? Gue juga tinggal di kawasan itu." Benz menghentikan langkahnya. "Serius? Bisa kebetulan gini." kekehnya. "Yaudah, sekalian pulang bareng aja. Elo tinggal sama siapa?" tanya Maria. "Gue tinggal sendiri." Maria mengangguk dan mereka melanjutkan perjalanan. Cukup lama berbincang, akhirnya mereka berdua sampai di kediaman Benz. "Rumah gue cuma beberapa meter doang dari sini. Kapan-kapan mampir ke rumah gue, ya!" Benz mengangguk, membereskan barang-barangnya. Sedang Maria hanya duduk memperhatikan sosok tampan di hadapannya. "Benz!" "Iya!" "Bantuin gue dong." "Apa?" Hah! Maria menghela napas. Sedikit tak enak hati untuk meminta pertolongan pada pemuda itu. "Gue juga mau minta bantuan sama elo!" "Em, elo duluan yang ngomong." putus Maria. "Elo aja." "Baiklah! Gue mau minta tolong sama elo. Bantuin gue, gue pengen ... elo pura-pura jadi kekasih gue. Dan nikah sama gue." Benz tersentak. "Apa?! Elo serius? Nikah? Kenapa harus nikah sih?" Maria malu, ia sudah yakin jika pemuda ini pasti akan menolak keinginannya. Tapi ia bisa apa, waktu untuk dirinya mencari jodoh kurang beberapa Minggu lagi. "Gue nggak punya pilihan lain. Cuma itu yang bisa gue lakuin, buat mertahanin harta milik keluarga gue." Benz sedikit tertarik dengan alasan Maria. "Ada apa dengan keluarga elo." "Gue harus jaga harta keluarga gue, dari nenek lampir sialan itu. Dengan cara gue nikah, maka seluruh harta keluarga gue bakal jatuh ke tangan gue, seutuhnya." "Nenek lampir?" "Mama tiri gue!" Benz mengangguk, ia mendekatkan wajahnya di samping wajah Maria. Tersenyum evil, sulit buat diartikan. "Apa imbalan buat gue? Kalau gue setuju buat jadi suami bohongan, elo." Maria berpikir sejenak. "Apapun yang elo mau. Asal ... jangan diri gue." "Kalau udah nikah kan otomatis elo jadi milik gue ... semuanya!" "Benz ... kenapa elo ngeselin sih? Kita kan cuma bohongan!" "Tapi nikah kita kan sungguhan." "Bohongan!" "Serah lo, dah. Tapi gue juga butuh bantuan elo." "Apa?" "Jadi cewek pura-pura gue." "Mudah itu mah!" "Baiklah ... kita deal!" Mereka tersenyum dan saling berjabat tangan. Perjanjian lisan tanpa tertulis hitam di atas putih. Maria tersenyum penuh kemenangan. 'Gue bakal lindungin harta milik keluarga Adiguna. Gue nggak bakal biarin harta itu jatuh ke tangan nenek lampir sialan itu.' gumam Maria. Benz tak kalah tersenyum penuh kemenangan. 'Gue bakal buktiin ke Jagad, kalau gue juga bisa dapetin cewek. Gue bakal buktiin kalau gue bisa move on dari Lovelya.' Maria tersenyum sepanjang perjalanan pulang. Tak ia sangka jika rencana dalam hidupnya bisa berjalan begitu lancar. Bertemu dengan Benz adalah anugrah terindah dalam hidupnya, udah tampan, kaya. Eh, tapi dia kerja apa? Pikir nanti saja, Maria lupa bertanya. Sesampainya Maria di kediamannya. "Aku pulang!" ucapannya. "Malam banget, dari mana?" tanya sang kakak. Dirga, memang terlihat tulus tak seperti ibunya. Tapi tetap saja pemuda itu anak dari lampir bin lampor yang Maria benci. Maria tak bisa percaya gitu aja sama dia. Tanpa menjawab, Maria melenggang pergi. "Tuh lihat! Di kacangin kan! Makanya sudah Mama bilang, jangan sok akrab dengan gadis gila itu." peringat sang ibu, pada putranya. Dirga hanya menggeleng, ia tak sependapat dengan pemikiran ibunya. Malam ini Maria sengaja mengajak seluruh keluarganya berkumpul. Untuk membicarakan perihal dirinya yang sudah menemukan jodoh. "Tumben kamu ngajak kita berkumpul. Ada apa, Sayang?" tanya wanita yang bernama Melia itu. Sok baik karena di depan suaminya. Maria menyunggingkan senyum evilnya. "Aku udah nemuin jodoh aku, Pa. Sesuai dengan perjanjian Papa. Jika aku bisa mendapatkan calon suami, sesuai dengan kriteria Papa. Maka, harta keluarga besar Adiguna. Jatuh ke tangan aku sentuhnya." Melia kelabakan, perjanjian macam apa ini? Kenapa ia tidak tahu? Kenapa suaminya tidak bercerita apa-apa padanya. Harusnya harta itu jatuh ke tangan putranya, karena dia anak laki-laki di rumah ini. Melia melupakan status dirinya dan juga putranya yang hanya sebagai pendatang di keluarga Adiguna. "Pa, apa yang Maria maksud? Semua nggak benar kan, Pa?" Maria berseringai, ia bahagia melihat sorot gelisah dari wanita lampor di hadapannya. Tak menghiraukan ucapan sang istri. Adiguna justru fokus pada putrinya. "Kenalkan dia pada Papa. Papa ingin tahu, dia masuk dalam kriteria calon menantuku atau tidak." Maria mengangguk, tak diragukan lagi. Pasti papanya setuju. Karena ia tahu, jika Benz memiliki segalanya. Keesokan harinya, seperti yang di minta sang ayah. Maria membawa Benz bertemu dengan ayahnya tersebut. Sedikit lama Benz layaknya melakukan interview dengan ayah Maria. Lelaki cerdas bin kaya raya itu lolos seleksi. Dia lulus dan siap menikah dengan Maria. Maria bersorak, ia tak memikirkan apa yang selanjutnya terjadi pada hidupnya. Yang terpenting sekarang dirinya bisa mendapatkan harta kekayaan keluarganya. Satu bulan berlalu, pernikahan rahasia terlaksana. Tanpa adanya tamu undangan yang mendatangi acara tersebut. Bersamaan dengan acara pernikahan Jagad dan Lovelya. Hanya selisih beberapa hari aja. Di saat itu pula Benz juga harus menggantikan Lovelya mengajar di salah satu kampus elit, yang sayangnya berisi murid-murid bodoh. Tanpa Benz duga, jika salah satu murid yang ia ajar adalah Maria. Istrinya sendiri. "Maria?!" "Elo?! Dosen pengganti, gue." Syok mereka berdua. "Gue nggak nyangka, kalau elo cewek yang harus gue ajar. Ckckck ... denger-denger ... ini kampus muridnya bodoh-bodoh semua." remeh Benz. "b******k!" "Ssstttt ... gue suami elo sekarang. Jangan ngumpat pada suami sendiri. Dosa besar tau!" "Gue nggak peduli." "Gue peduli. Ini coklat buat elo." menyodorkan sebatang coklat buat Maria. "Gue nggak suka makan coklat." Benz membuka bungkusan coklat di tangan kanannya. Mematahkan satu ruas dan memakannya sendiri. "Kalau gue jadi elo, gue juga akan mengatakan hal yang sama. Gue nggak suka makan coklat, karena gue sukanya .... makan elo." Benz menaik turunkan kedua alisnya. "Sialan! Belajar m***m dari mana lo!" "Dari kakek Tsugiono."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN