Angel & Evil. Dua karakter yang sangat lumrah ada dalam diri manusia. Tergantung mana yang dominan dan mana yang dipilih oleh manusia itu sendiri. Lalu, bagaimana dengan menyembunyikan karakter yang terpilih itu di balik satu karakter yang ditunjukkan karena paksaan? Mungkin itu taktik. Lantas, bagaimana bila seseorang masih berdiri dalam persimpangan tanpa tahu apa yang akan ia pilih, atau malah menyelam dalam dua perairan sekaligus dan mencicipi pahit manisnya dua karakter itu? Apakah bisa disebut plin-plan? Bukan! Statusnya masih sebagai Pencari.
“He is still a seeker. Looking for himself on himself” Begitulah aku menoba memahaminya, sekuat tenaga, semampu yang kubisa. Dan aku tidak pernah mengandalkan yang lain selain Sang Waktu –untuk mengubahnya, menjadi seorang penemu. Bukan pencari lagi.
*****
Dering alarm membangunkan salah satu dari keempat bocah laki-laki yang tengah tertidur dalam mobil sedan putih yang terparkir dekat bangunan SMA ternama di bilangan Jakarta Selatan.
“Whoy! Whoy! Bangun! Buruan bangun! Udah jam tujuh!” seru Aksa, bocah yang bangun terlebih dulu sambil mengguncang-guncang tubuh temannya yang lain. Sial! Mereka kesiangan. Lagi.
Keempat anak laki-laki itu bergegas mencari perlengkapan masing-masing di bagasi maupun di dekat jok. Mulai dari seragam sekolah, sepatu, sampai parfum dan sikat gigi. Sebagian sibuk memasang celana, sebagian menggosok gigi dan berkumur dari air mineral yang tinggal setengah botol, sebagian lagi masih sibuk mencari pasangan dari kaos kakinya.
“Nji, udah belum lo?” seru Aksa, si pemilik mobil yang sudah akan menutup pintu.
Si Benji, cowok dengan badan paling bongsor di tongkrongan mereka akhirnya menyusul keluar sembari menenteng ikat pinggang yang belum terpasang. Atau mungkin tidak akan pernah terpasang karena yang dibawanya adalah ikat pinggang adiknya dengan ukuran jauh lebih kecil.
Keempat bocah yang semalam mengkhatamkan lusinan lagu di suatu konser band rock itu adalah Aksa, Rangga, Benji, dan Yusuf. Mereka segera berlari menuju gerbang sekolah yang nyaris tertutup.
Dalam perjalanan memburu waktu itu, Rangga terus mengumpat karena baru ingat ponselnya tertinggal di dalam mobil Aksa. Bagaimana ia akan menghubungi pacarnya yang beda sekolah, seharian ini? Bagaimana pula ia akan menyontek saat ada kuis nanti? Bagaimana ia janjian cabut dengan teman-temannya kalau suntuk pelajaran? Sial! Sial! Sial!
Dan betapa kesialan mereka bertambah berkali-kali lipat ketika akhirnya melewati Pak Sigit, guru seksi kedisiplinan yang senantiasa menyambut para siswa di balik gerbang, salah satu berhasil menarik perhatian sang guru.
“Yusuf! Kamu apakan rambut kamu!” Seketika rombongan itu behenti.
Mereka sama-sama merutuki keteledoran karena lupa mencuci rambut Yusuf yang diwarnai. Atau, sekalian mengecat rambut Yusuf dengan warna hitam sekalian. Mereka benar-benar lupa!
Belum tuntas menghela napas karena masalah rambut, ketiga orang di antaranya dibuat menepuk jidat karena celana Aksa yang abu-abu tadi rupanya bukan celana seragam. Melainkan celana jins dengan warna mirip.
“Kamu …!” Pak Sigit melotot sambil menunjuk celana Aksa. “Ambil baju di koperasi! Cepetan!” geram Pak Sigit sambil menjewer telinga Aksa. “Yang lain! Bersih dan rapikan diri di kamar mandi! Cepat!”
****
Tidak biasanya April bangun pagi seperti ini. Biasanya dia tidak pernah bangun sepagi ini waktu “libur”. Ya, libur dalam tanda kutip tentunya. Karena libur yang dimaksud adalah skors. Bukan. Kali ini bukan kasus merokok seperti dulu, tapi kasus tawuran. Ya, tawuran.
Dua orang tersabet di tangan dan satu orang hampir mati karena pukulan benda tumpul dalam tawuran itu. Ya gara-gara si April ini. Mati. Mudah sekali bilang kata itu. Sementara nyawa seseorang yang jelas merupakan salah satu anggota keluarga, teman, kerabat, dan tentunya seseorang yang disayangi orang lain, bisa saja melayang hari itu.
Hampir ngebunuh orang. Memang. Kenyataannya April memang bukan siswa ideal. Catatan merahnya penuuuhhhh bangeeettt. Bu Kasih sampai harus berkali-kali membeli tinta merah dan buku agenda baru untuk cewek satu ini.
Dari kasus yang dahulu… mulai dari merokok, merembet ke minum, lalu tawuran. Dan parahnya, April nggak pernah absen dari yang namanya “tawuran”. Ya, ada memang yang seperti April ini. Rajinnya bukan rajin belajar, tapi rajin tawuran. Tapi, tawuran kan belajar juga—belajar menghadapi dunia yang keras. Begitu kata April dan teman-temannya tiap kali disentak guru.
Kini rambutnya yang saat masih kelas sepuluh dulu panjang bergelombang, berubah jadi super pendek dengan warna putih di sisi kirinya. Berbagai peringatan dari sekolah tak digubrisnya. Ya! April sangat santai menjalani ini semua tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Namun seolah belum cukup, kali ini dia akan menambah lagi daftar Bad Habbit-nya itu. Pukul satu siang nanti ia akan menemui Geng Leito untuk sebuah hasrat yang ingin dia penuhi. “Geng Leito” siapa yang tidak tahu mereka, semua kalangan Junkies Indonesia mengenal Geng Leito, di mana Leito lah yang menjadi ketua geng itu. Geng Leito adalah bandar n*****a terbesar di Indonesia. Dan sudah lama ketua geng itu menjadi buronan.
Tidak ada yang tahu pasti bagaimana April bisa mengenal Leito, mendapat kontak anak buahnya, hingga akhirnya bertansaksi dengan cowok itu. Hanya April yang tahu. Gadis itu begitu ahli menyimpan semuanya rapat-rapat.
Setelah mandi, April pun keluar dari kamarnya. Seorang wanita tua menghampirinya.
“ Neng, tumben udah bangun?” tanya wanita tua itu lembut. Well, sebenarnya juga tidak benar-benar tua. Paling seusia ibundanya, lebih tua beberapa tahun. Hanya saja gurat yang tercipta dari kehidupannya membuatnya terlihat lebih tua dibanding usia aslinya.
April menoleh ke suara itu, dilihatnya Bi Sari tengah tersenyum ke arahnya, April pun ikut tersenyum. Senyum itu terasa hangat sekali. Bagaimana pun, Bi Sari adalah orang yang paling dekat dengannya, setelah ibunya. “ Lagi mau keluar, Bi,” jawab April.
Bi Sari menghampiri gadis manis itu. Manis? Ya, di mata Bi Sari April jelas gadis manis. Terlepas dari semua aksi bar-barnya. Di elusnya rambutnya dengan lembut oleh Bi Sari. “ Mau kemana?” tanyanya.
April tersenyum tipis, “ Biasa.” Alisnya ikut naik.
Bi Sari tidak perlu bertanya lagi, ke mana neneng-nya akan pergi hari ini. Pikirnya kalau tidak ke klub, ya ke base camp tempat geng-nya biasa menghabiskan waktu. Geng-nya ya, bukan geng Leito. “ Ya udah, hati-hati. Jangan ngebut!” wanti-wanti Bi Sari, sudah seperti kepada anak sendiri.
April lalu mencium tangan Bi Sari dan berlalu meninggalkan Bi Sari untuk mengambil motor kesayanyannya. Tapi, bukan April namanya kalau menggubris nasihat. Dibukanya pintu garasi dan pintu gerbangnya lebar-lebar. Setelah motor hitam itu ia naiki dan mengenakan helm, dipacunya gas dengan kecepatan tinggi, menimbulkan suara berdengung yang nyaring dan memekikkan telinga. Bi Sari yang mendengar suara motor April hanya mendesah pasrah sambil sedikit meringis karena kurang nyaman dengan gemuruh suara itu.
Ia tidak habis pikir dengan neneng satu ini. Sudah satu tahun sejak ibundanya meninggal, namun April masih tetap frustrasi. Mungkin, memang bukan sepenuhnya salah April. Semenjak kecelakaan yang menimpa ibundanya, ayahnya juga ikut frustrasi, patah hati, dan terluka. Dukanya belum hilang sampai saat ini. Dan akibatnya, April tidak mendapatkan perhatian yang cukup lagi dari orang tuanya. Demi mengalihkan duka akan kematian bundanya, ayah April yang sebelumnya sudah sibuk, kini semakin menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Tak ada sarapan dan makan malam hangat seperti dulu. Tidak ada saling berbagi cerita ceria di akhir minggu. Semuanya sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri. Rumah hanyalah persinggahan, bukan tempat pulang.
Sejak kecil, April begitu dekat dengan ibundanya. Saat ibunda April meninggal, April bagai dihantam palu kenyataan. Gadis itu mulai frustrasi juga kesepian. Sejak saat itu, April menjadi anak yang susah diatur. Rokok, minuman, dan tawuran sudah menjadi kegiatan rutin April, yang dinikmatinya sebagai pelampiasan dan hiburan. Dan sialnya, atau malah untungnya, papa-nya sepertinya juga tidak perduli dengan apa pun yang diperbuat April. Entah karena sudah menyerah atau memang sudah tidak peduli.
Bi Sari menghela napas. Meratapi keluarga ini. Mungkin, sebuah cerita yang telah lama disimpannya selama bertahun-tahun, harus ia bocorkan sebentar lagi.