~♥~♥~♥~♥~
"I’m happy when i think of you
I’m happy when I look at you
When you pass by me, it feels like my heart will stop" -- Love At First Sigh (TINT)
~♥~
Azel mengernyit menatap punggung di depannya. Gadis itu berjalan perlahan, diam-diam memperhatikan Iqbal yang berjalan di depannya sambil memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana.
Di belakangnya, sang Mama masih melambaikan tangannya dengan antusias saat mengetahui Azel menyetujui perintahnya untuk berangkat bersama dengan Iqbal. Azel nggak habis pikir. Mamanya baik sekali terhadap Iqbal. Padahal dengan cowok lain yang pernah dekat dengan Azel saja Mamanya akan memasang tampang sangarnya.
Termasuk pada Ilham.
Meskipun Ilham ini teman kecilnya yang artinya sudah lama sering keluar-masuk rumahnya, tapi Mamanya nggak bisa akrab dengan cowok itu.
Apa mungkin pesona Iqbal membuat Mamanya jadi klepek-klepek ya?
Hal aneh yang hingga detik ini membuatnya heran.
"Heh!"
Iqbal menghentikan langkahnya. Iqbal mengernyit mendapati Azel memandangnya dengan pandangan jijik.
Eh? Jijik?
"Apa?" tanya Iqbal.
Azel memutar bola matanya jengah. Gadis itu melangkah lebih dekat ke arah Iqbal. Tangannya bersidekap di depan d**a sambil dagunya ia dongakan. Menantang Iqbal yang malah santai.
"Kenapa sih? Aneh banget deh lo!" Iqbal geram karena Azel tak kunjung bicara.
"Mau lo apa sih?!" tanya Azel.
Iqbal semakin geram saat Azel bertanya dengan muka nyolot dan nggak masuk di akalnya.
"Apanya, Azel?" Tapi Iqbal tidak bergegas menunjukkan kegeramannya. Pemuda itu malah bertanya dengan lembut dan nada yang dibuat-buat.
Azel memutar bola matanya kesekian kalinya. "Ngapain lo sok akrab gitu sama Mama?!"
Dahi Iqbal berkerut. Pemuda itu tertawa sedetik selanjutnya.
"Are you five, Fazlina? Lo kenapa nanya begitu sih ke gue? Lo cemburu Mama Rei jadi lebih sayang sama gue dibanding lo?" Lagi, Iqbal tertawa.
Azel mendengus dan semakin memajukan tubuhnya. Ia berjinjit ke arah Iqbal dan menarik kerah OSIS pemuda itu.
"Inget, ya! Lo itu cuma numpang di rumah gue. Dan lo nggak berhak bertingkah seenaknya di rumah gue, karena lo cuma tamu." Azel mendekatkan wajahnya ke arah Iqbal.
Bukannya takut, pemuda itu malah tersenyum manis. Manis sekali, yang sayangnya tidak ada efek apapun pada Azel.
"Lo mau apa?" Iqbal menyeringai. "Mau nyingkirin gue dari rumah itu?"
Azel tertawa sumbang. "Of course, ya! Gue udah gedeg banget sama kelakuan lo!"
"Tapi lo tunangan gue!" Iqbal melebarkan senyumannya.
Tarikan tangan Azel di kerah Iqbal mengendur. "Kenapa memangnya kalo gue tunangan lo?! Bukan berarti gue harus nurut kan sama lo!" Mata Azel mengerjap.
Iqbal tertawa. Ia menepis tangan Azel dari kerahnya dan menepuk-nepuk bekas tangan Azel, membuat Azel mendengus. "Lo harus nurut sama gue. Gue kan tunangan lo!"
"Ih, ogah! Pokoknya lo nggak boleh berkeliaran di dekat gue, entah di rumah maupun di sekolah!"
"Kalo gue nggak mau?" Iqbal menaikkan alisnya.
Azel mengepalkan tangannya, ia benar-benar ingin menonjok wajah menyebalkan pemuda di hadapannya. "Gue bakal nonjok muka lo!"
Lagi, Iqbal tertawa. Kali ini tawanya bahkan lebih kencang dari sebelumnya. "Gue nggak mau!"
Azel menjerit kecil dan hendak melayangkan tonjokan di wajah tampan Iqbal. Tapi lagi-lagi ia kalah telak. Jelas Iqbal akan dengan mudah menangkisnya.
"Lo harus mau! Gue nggak mau tau, lo nggak boleh sok kenal sama gue di sekolah. Dalam kesempatan apapun itu!" geram Azel.
Iqbal sebenarnya bisa saja mengeluarkan kartu mati Azel, tapi sepertinya pemuda itu sedang menikmati permainan yang dimainkan Azel.
"Liat aja nanti!" jawab Iqbal sambil lalu.
Eh? Jawaban macam apa, itu?
Azel mencak-mencak di tempatnya. "Bal, jangan berkeliaran di deket gue pokoknya! Lo nggak boleh sok kenal sama gue! Kalo kita ketemu, melengos aja! Ya-ya-ya?" Azel meloncat-loncat kecil saat Iqbal terus saja berjalan meninggalkannya.
Azel menghentakkan kakinya dengan kesal saat Iqbal tak mau repot-repot menyahuti teriakannya.
Azel tidak tahu saja, jika Iqbal tengah menyunggingkan senyumnya.
~♥~
"Murid baru itu namanya Iqbal Ramadi. Anak kelas X IPA 3. Demi apa? Gue semalem abis stalk instagramnya!"
“OMO-OMO-OMO! Fotonya ganteng-ganteng gila!”
Irma menjelaskan dengan sekali tarikan napas. Azel yang mendengarnya cuman mendengus dan mendengar tanpa minat.
Gadis itu mengaduk jus apelnya dan menyedotnya perlahan.
"Yah, brondong, kirain seangkatan sama kita. Atau nggak... kakak kelas gitu," kata Ica. Sahabat Azel yang lainnya itu ikut melihat apa yang terpampang dalam iPhone Irma.
"Iya sih, dia itu badannya bongsor gitu. Gue pikir dia juga kakak kelas, seangkatan Kak Ilham gitu."
"Iya, gue pengen nyapa dia pake panggilan "Kakak" padahal." Ica menimpali. Matanya menerawang, kemudian pipinya merona.
"Pindahan dari Jogja rupanya dia!" Irma bersorak kecil.
Azel mendengus sekali lagi. "Lebay lo pada!" gerutu Azel.
Kedua sahabatnya itu mengabaikan gerutuan Azel dan memilih sibuk mengamati berbagai macam pose foto Iqbal di i********: kepunyaan pemuda itu.
"Stalk orang itu dosa!" ketus Azel.
"Apaan sih, Azel! Nggak ada undang-undangnya juga," sergah Irma.
"Hooh. Nggak ada larangannya di ayat Al Quran." Ica menyoraki.
"Semerdeka lo pada deh! Seterah," kata Azel singkat. Ia menyendok siomay goreng ke mulutnya sambil mengamati keadaan sekitar kantin kelas XI.
Di sekolah mereka, kantin tiap angkatan berbeda letak. Kantin kelas X di sebelah utara, kelas XII di sebelah selatan, dan kelas XI di tengahnya. Jadi mereka tidak perlu berdesakan dengan angkatan lain yang pastinya akan menyebabkan keributan.
Pasalnya kakak kelas Azel ini kebanyakan adalah murid veteran yang seharusnya lulus, tapi masih betah disini. Dulu sih, pernah ada konflik antar angkatan yang menyebabkan kantin terpaksa dibagi.
Ada juga murid seangkatannya yang mungkin kadang berseliwaran di area kantin kelas XII jika memang punya pacar disana atau kenalan. Tapi jarang.
"Itu Iqbal!" seru Irma tiba-tiba.
Azel merasakan lengannya ditoel-toel Irma. Dan hal itu membuat Azel terpaksa ikut menatap apa yang sedang jadi tontonan hampir semua siswi. Iqbal tertawa riang dengan teman-teman barunya yang tampak familiar di mata Azel. Mereka memasuki area kantin kelas X.
Teman-teman baru Iqbal itu ... ah, ada baiknya Azel menyebutnya dengan sebutan geng, memang sangat populer di sekolahnya.
Geng yang isinya anak-anak populer pemilik yayasan. Orang kaya yang hanya maunya berteman dengan yang sederajat dengan mereka. Sekaya-kayanya orangtua Azel, ia juga tidak memilah-milih teman seperti mereka. Azel menatap sinis mereka.
"Iqbal keliatan bersinar sendiri di sana!" Irma menopang dagunya dengan tangannya. Matanya menelisik kantin kelas X yang ramai itu.
“Paling bersinar emang ada bohlamnya?” Azel mendengus.
"Dia paling mempesona!"
Azel menggelengkan kepalanya melihat kekaguman Irma pada Iqbal. "Udah ah, gerah gue disini. Cabut yuk!"
Azel beranjak dari duduknya. Ia menarik Irma dan Ica yang masih dalam mode cengo mereka. Mereka hanya pasrah dan mengikuti gandengan tangan Azel.
Satu-satunya jalan keluar dari kantin yaitu dengan melewati area tengah yang berarti mereka harus berpapasan dengan Iqbal cs. Azel mendengus. Sebenarnya bosan juga berpapasan dengan Iqbal.
Azel berharap Iqbal mengikuti perkataan Azel tadi pagi. Semoga Iqbal tidak sok kenal dengannya.
Eh! Apa gue barusan berpikir Iqbal bakal nyapa gue?
Azel mempercepat langkahnya saat ia hendak melewati Iqbal. Gadis itu mengalihkan tatapannya, menatap ke arah lain yang lebih menarik dibanding gerombolan Iqbal cs itu. Seperti pura-pura mengobrol dengan kedua temannya yang masih cengo itu misalnya.
Iqbal berhenti tertawa. Pemuda itu juga menghentikan langkahnya. Hal itu jelas membuat teman-teman di belakangnya ikut menghentikan langkahnya.
Bukan hanya teman-teman segerombolannya saja yang menghentikkan langkahnya, Irma dan Ica yang sedari tadi bagai orang linglung memandangi Iqbal, juga ikut menghentikan langkah mereka. Dan gerakan itu mau tidak mau ikut menghentikan langkah kaki Azel.
Sialnya, kejadian itu dijadikan tontonan oleh hampir penghuni kantin dari berbagai angkatan. Atau mungkin sejak pertama kali Iqbal memasuki kantin, pesona Iqbal langsung menjadi magnet tersendiri baginya.
Iqbal menyeringai saat Azel tengah menunduk dan mengalihkan tatapannya ke berbagai arah dengan kikuk. Pemuda itu semakin melebarkan seringaiannya.
Iqbal tersenyum ramah. "Hi, Kak Azel! Kita ketemu lagi." Bulan sabit terbentuk di mata Iqbal.
Azel yang mendengarnya dengan reflek mengangkat kepalanya, menatap Iqbal. Pemuda itu semakin melebarkan senyumnya saat Azel menatapnya dengan mata bulat lebarnya.
Azel melongo di tempatnya.
Tunggu! Senyumnya.... Apa-apaan!
~♥~