24- Tamu Tak Diundang

1411 Kata
    "For me, our memories It looks like a memorable gift." –Bye (GFRIEND)     ~~     Aku masih melongo melihat mata Iqbal yang seketika tertutup. Iqbal kini menggerakkan bibirnya dan mulai memagut lembut bibirku. Aku terkesiap. Kemudian aku mulai menutup mataku. Yang kutau saat ini jantung dibalik dadaku bertalu-talu sangat kencang. Kupikir jantungku sampai ingin mencuat keluar dari rongganya.   Eh tunggu, tadi bukannya Iqbal sedang tidur ya?   Begitu aku membuka mataku lagi, Iqbal menyudahi ciumannya. Pemuda itu dengan santainya kembali tidur, dan malah menarikku mendekat ke arahnya. Sudut bibirku tertarik. Aku kini berada di dekapannya, berbaring bersama di atas tempat tidur. Seharusnya aku mendorongnya menjauh atau menendangnya, kan? Namun badanku malah diam. Bisa gawat jika besok ada yang memergoki kami.   Sebuah kalimat terlontar dari bibir Iqbal sebelum aku akhirnya ikut memejamkan mata bersamanya, samar-samar aku mendengarnya. "Aku sayang Noona."   ~♥~   Mataku mengerjap-ngerjap. Aku menggerakkan badanku yang kaku, kemudian menguap dan mengecap-ngecap. Sekian detik terdiam untuk mengumpulkan nyawa, barulah kesadaranku kembali. Aku memelotot menyadari masih berada di kamar Iqbal. Badanku sudah ditutupi selimut Iqbal. Menoleh ke kiri, aku melihat Iqbal yang mengamatiku sambil menopang dagunya.   "Selamat pagi," sapanya enteng.   Aku berjengit kaget dan langsung duduk dari tidurku. Kutatap Iqbal yang kini malah cekikikan sendiri.   "Noona tidur seperti bayi," katanya lagi.   Mau tak mau aku ikut tersenyum canggung padanya. Aku melirik sekitar. Rupanya masih subuh. Sebelum kami kepergok, aku harus bergegas kembali ke kamarku.   "Aku balik ke kamar, Bal."   Selepas mengatakan kalimat itu, aku buru-buru melompat. Tak sadar selimut Iqbal kulempar ke wajahnya. Biarin aja deh, lagian dia juga salah semalam karena membiarkanku tidur di sana.   "Hati-hati nanti kesandung." Iqbal memperingatkan.   Aku menutup pintuku dengan cepat. Masih berdiri di balik pintu, aku meraba dadaku. Lagi-lagi jantungku berdegup dengan kerasnya. Ini semua gara-gara Iqbal! Aku nggak tau apa aku sanggup berbicara santai dengannya lagi?   "Canggung banget," eluhku. Aku mengacak-acak rambutku, dan langsung melompat ke tempat tidur. Berguling-guling di sana dan membungkus diri di balik selimut. Kemudian aku menendang-nendang udara dengan kaki masih terbungkus selimut. Wajahku memanas.   "Awas kamu, Bal!" teriakku di pagi buta.     ~♥~     "Loh, Noona udah berangkat?"   Iqbal menghampiri meja makan dengan sudah berpakaian rapi. Matanya menelisik meja makan, ada sayur sop hangat di sana. Asapnya masih mengepul, dan harumnya membuat perut Iqbal bergejolak minta diisi. Danang yang tengah menyantap ayam gorengnya mendongak. "Iya udah. Baru aja."   Iqbal memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu karena hari ini ada mata pelajaran olahraga. Ia menatap Danang. "Makan jangan buru-buru gitu dong."   Danang hanya nyengir. "Makan, Mas."   "Dimakan, Bal." Kali ini Reina yang menawarinya.   "Iya, Ma," balasnya langsung mengangkat piring untuk mengambil nasi.   "Wah, sekarang Mama punya dua anak lelaki! Tanpa harus melahirkan dulu," canda Danang. Cowok itu terkekeh di akhir kalimatnya.   Reina sontak menggetok kepala cowok itu dengan sendok. Ia mencibir. Lalu mengabaikan Danang dan memandang Iqbal lagi. "Yang banyak ya makannya."   "Sekarang aku bingung siapa yang anak kandung Mama," celetuknya lagi. Danang menyeringai dipelototi Reina. Jarinya membentuk tanda damai. Lalu melanjutkan makannya dengan khitmad. Iqbal yang memperhatikan tingkah keduanya hanya tersenyum. Ia tahu kalau Danang bercanda saja. Jadi ia tidak ambil pusing dengan omongan Danang yang jika dipikir itu lebih mirip sindiran untuknya.   "Omong-omong, Mas Iqbal sama Kak Azel kan udah tunangan, berarti sampai ke pernikahan dong?" tanya Danang dengan polosnya. Cowok itu meminum air sebelum melanjutkan. "Lulus SMA mau langsung nikah, Mas?"   Spontan Iqbal tersedak, dan menyembur Danang.     ~♥~     Jam istirahat, tepatnya setelah pelajaran Olahraga, Iqbal mendatangi kelas Azel. Masih mengenakan baju olahraganya, Iqbal berdiri celingukan di depan pintu. Beberapa pasang mata berulang kali mengarah padanya. Tidak heran, siapa yang tidak tahu Iqbal di sekolah ini? Jadi pastilah semuanya menatapnya dengan raut penasaran karena ini baru pertama kalinya ia berkeliaran di koridor kelas sebelas.   Cindy yang baru datang dari kantin dengan teman segengnya akhirnya melihat pemuda itu. Mendapati Iqbal ada di depan kelasnya, cewek itu ikut penasaran. "Cari siapa?" tanyanya ramah. Ia tersenyum dengan genitnya.   Vera menepuk bahu Cindy. "Mau nyariin lo kali?"   Mendengar itu mata Cindy berbinar. "Kamu nyari aku, Bal?"   Iqbal melirik sekilas pada segerombolan cewek itu. Mengabaikan para cewek yang kecentilan itu. Matanya mengamati kelas Azel lagi. Ia melongok ke sela pintu.   "Gue dicuekin?"   Cindy yang merasa diabaikan akhirnya kesal. Ia menghalangi pandangan Iqbal. "Mau nyari siapa?" Kali ini suaranya terdengar marah.   "Apaan sih?" Iqbal gerah sendiri melihat tingkah Cindy. Mencoba sekali lagi mengabaikan cewek itu. Senyum Iqbal merekah tatkala melihat Ica dan Irma keluar dari dalam kelas, begitupun dengan kedua cewek itu. Iqbal menahan langkah keduanya.   "Loh Iqbal?" tanya Ica memastikan. Cewek itu tersenyum kecil. "Nyari Azel?"   Iqbal mengangguk antusias. "Iya, Kak. Noona di mana?"   Ica dan Irma saling berpandangan. Mereka menyeringai. Mendengar kata 'Noona' dari bibir Iqbal sendiri memiliki efek geli bagi mereka. "Lagi di kantin. Tadi duluan ke sana sama Cindy.. eh.. ini Cindy."   Cindy merasa terpanggil. Ditatapnya ketiganya dengan tangan terlipat di d**a. "Mau tanya di mana Azel?" tanyanya cepat ketika melihat Iqbal ingin bertanya padanya. "Tadi gue dicuekin," sergahnya.  "Masuk, yuk." Cindy kesal dan menyuruh semua temannya masuk kelas. Menyisakan Iqbal yang kebingungan. Ica dan Irma sudah meninggalkannya ke toilet. Dan sekarang Iqbal bingung kemana harus mencari Azel.   Baru beberapa langkah ia ingin kembali menuju kelasnya, sebuah suara menghentikannya. Iqbal tersenyum begitu tau siapa pemilik suara itu.   "Iqbal? Kamu ngapain disini?"   Iqbal berbalik dan mendapati Azel tengah menunjuknya. Mata Azel mengerjap kecil. Kebingungan melihat Iqbal yang pertama kalinya di depan kelasnya.   "Noona," sapanya.   Kaki Iqbal melangkah mendekat ke arah Azel. Sambil tersenyum ia menatap Azel. "Noona dari kantin?" tanyanya menunjuk botol minuman jeruk di tangan Azel.   Azel mengangguk. "Iya. Kamu ngapain disini? Habis olahraga?" Ia mengulangi pertanyaannya.   "Iya. Aku nyari Noona," jawabnya seraya mengangguk.   Azel tersenyum kecil. Sebenarnya saat Azel melihat Iqbal berdiri di koridor kelasnya tadi, Azel ingin kembali berlari menuju kantin. Atau kalau tidak ke toilet menyusul Ica dan Irma yang barusan berpapasan dengannya. Namun melihat Iqbal yang sampai bela-belain ke kelasnya, Azel nggak tega.   "Ini buat kamu," kata Azel. Tangannya menyerahkan botol minuman itu pada Iqbal. Ia tersenyum lagi. "Diminum. Kamu kayaknya lebih membutuhkan ini daripada aku," sambungnya.   Iqbal memandang botol minuman itu yang mengambang di depan wajahnya. Ia mengambilnya, kemudian meminumnya sekali teguk. Iqbal kembali menyerahkan botol itu pada Azel. "Makasih, tapi ini buat Noona aja."   "Bekas kamu gitu?" Azel pura-pura bergidik geli. Tawanya pecah. "Buat kamu aja sana," katanya. Ia menarik tangan Iqbal dan meletakkan botol itu di genggaman pemuda itu.   Iqbal menyeringai. "Padahal udah tau rasa bibirku semalem."   Mendengar Iqbal mengucapkan kalimat itu, pipi Azel merona. Ia buru-buru membekap mulut Iqbal. Lalu melirik kanan dan kirinya, siapa tahu ada yang mencuri dengar. Iqbal meronta kecil.   Azel menghembuskan napas lega kala tidak ada yang mendengar percakapan mereka. Ia menurunkan tangannya, dan langsung menggeplak lengan Iqbal. "Mulutnya dijaga ya, Mas. Kalau ada yang denger gimana? Jangan ketawa! Ah kamu nyebelin, Bal."   Iqbal meredakan tawanya. "Okay. Makasih untuk ini. Dan yang semalem haha.." Pemuda itu mengerling dan berbalik melanjutkan langkahnya yang tadi sempat terhenti. Ia melambaikan tangannya dengan pede, meskipun tatapannya tidak mengarah pada Azel. Ia tahu Azel masih menatap punggungnya yang semakin menjauh. Dan masih menatapnya saat ia menghilang di belokan koridor kelas sepuluh.   Tapi tiba-tiba Iqbal menyembulkan kepalanya dari balik tembok belokan. Dan itu hampir membuat Azel terlonjak. "Nanti pulangnya bareng. Noona nggak bisa tinggalin aku dengan balik duluan."     ~♥~     Azel dan Iqbal kembali pulang bersama sore ini. Hal itu yang membuat Azel sejak tadi nggak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia senang. Iqbal sedari tadi tak kehabisan bahan obrolan. Ia menceritakan tentang gengnya, tentang guru Olahraganya yang tadi pagi membuatnya kesal, hingga guru Matematikanya yang tadi tidak masuk. Sesekali Azel menanggapi. Namun kali ini Iqbal-lah yang paling banyak bicara. Eh tunggu, memang biasanya Iqbal yang paling dominan dalam obrolan mereka. Mungkin karena sifat ekstrovertnya, berbanding dengan sifat introvert dalam diri Azel. Sekali lagi Azel tersenyum.   "Iya, si Adit bilang dia punya gebetan baru. Gebetannya itu kakaknya temen SD-nya. Dan parahnya lagi ... gebetannya ini anak kuliahan."   "Oh ya? Beda berapa tahun tuh?"   "Tiga eh apa empat ya?"   "Hahaha.. kok Adit ternyata gitu ya."   "Tapi bukannya temennya Noona suka sama Adit ya, siapa namanya? Kak Ica?"   Azel terkekeh. "Iya, Ica. Dia sih cuma ngefans doang kalik."   Iqbal mengangguk-angguk. "Bisa patah hati tau."   Azel menyetujui. "Iya sih. Biarin aja deh, hehe.."   Mereka terus mengobrol hingga tidak sadar sudah sampai di depan rumah. Begitu mereka memasuki pelataran, sebuah motor membuat Azel mengernyitkan dahi. Motor ninja warna merah terparkir apik di sana. Sepertinya tidak asing baginya. Dan entah mengapa, Azel merasakan hawa tidak mengenakkan.   Atau hanya perasaannya saja?   "Kalian sudah pulang?" Reina mendatangi keduanya. Dengan kebingungan, ia ingin menyampaikan sesuatu, tapi ditahannya.   "Ada tamu, Ma? Siapa?" tanya Azel.   Reina menjawab gelagapan. "I-Iya, a-ada. .."   Seseorang keluar dari dalam rumah dan berdiri di tengah pintu masuk. Ia tersenyum dengan ramah pada Azel dan kemudian melirik bingung pada Iqbal. Begitu melihat orang itu, Azel rasanya ingin pingsan saja.   "Kak Ilham?!"     ~♥~      

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN