23- Aku Senang Sekali

945 Kata
    "Don’t forget, I’ll remember this summer night in my heart I’ll be honest, I love you." –Sunny Summer (GFRIEND)     ~♥~     "Aaaaaaaaaaaaaaa!!!"   Aku berteriak kencang-kencang begitu pengumuman itu dikumandangkan. Spontan aku memeluk Iqbal yang ada di sampingku. Semua pandangan teman-temanku sudah tak kutanggapi. Mereka pasti sekarang melongo begitu melihat kami berpelukan. Apalagi Cindy and the geng. Hihihi. Iqbal awalnya tersentak ketika kupeluk. Namun setelah menguasai diri, ia akhirnya memelukku juga. Ditambah elusan di punggungku. Ah aku senang sekali.   "Ekhem!!"   Tapi kesenanganku harus berakhir. Siapa lagi kalau bukan Danang si adik terunyu-ku yang membuat suasana buyar.   "Ayo Zel, kita ke panggung!"   Mengangguk, aku bergegas menyusul teman-teman menuju panggung. Begitu di panggung, seluruh tepukan menyambut kami. Dan satu hal yang membuatku terharu lagi hingga meneteskan airmata adalah kenyataan bahwa kami juara satu.   "Selamat, ya!"   Hari itu hari di mana semua kerja kerasku selama ini terbayar. Dan aku senang sekali.     ~♥~♥~♥~     "Noona senang?"   Iqbal tiba-tiba sudah duduk di sampingku ketika aku tengah terhanyut menggeser-geser slide foto galeri ponselku. Ditanya seperti itu aku tersenyum. Senyuman Iqbal ikut terkembang melihatku tersenyum. "Congrats ya, Noona. Makin sayang, deh."   Blush. Tanpa tedeng alih-alih pipiku langsung merona. Iqbal kini mengambil alih remote tv dan memencet-mencetnya. Aku masih memandangnya dari samping, mengamati. Dalam hati aku tersenyum. Iqbal ini makin hari makin membuatku nyaman berada di dekatnya. Ia juga tau cara bagaimana memperhatikan tunangannya yang cantik ini, hihi. Bunda, terima kasih sudah melahirkan pemuda ini ke dunia!   Omong-omong aku jadi kangen Bunda.   "Mas nonton bola dong, Indonesia lawan Filipina nih!"   Moodku hancur seketika. Danang datang menyerobot tempatku duduk. Ia dengan mudahnya mengambil posisi di tengah aku dan Iqbal. Disangka bokongnya nggak lebar apa?!   "Kak, geser ih sempit!" katanya melirikku. Kini remote sudah beralih ke tangannya.   "Kan lo telat datangnya. Bikin sesak aja," ujarku membela diri. Danang emang suka semena-mena!   "Ma, ini Danang nih, Ma!" aduku. Aku berlari meninggalkan para cowok itu tenggelam pada tayangan bola sekarang.   "Dasar aduan!" serunya.   Aku memeletkan lidah pada Danang. Sedang Iqbal bukannya membelaku malah terkekeh diam-diam di tempatnya. Aku mencebikkan bibir. Dengan langkah lebar aku melangkahkan kaki ke arah kamar Mama. Ketika di dalam kamar, Mama tengah selonjoran sambil memainkan ponselnya. Pasti sedang chatingan sama Papa.   "Ma ..." panggilku. Mama menatapku yang berdiri di tengah pintu. Ia tersenyum. "Masuk, sayang," suruhnya.   "Mama lagi chat sama Papa?" tanyaku seraya mengintip ponselnya. Ia pura-pura menyembunyikannya, namun selanjutnya ia memperlihatkan padaku.   "Iya atuh, sapa lagi?"   Aku meringis. Mama menyuruhku duduk di sebelahnya.   "Danang sama Iqbal lagi nonton tv?" tanyanya.   Aku mengangguk. "Iya."   Mama kembali fokus pada ponselnya.   "Ma, kangen Papa." Aku memasang wajah melas. Ia terkekeh kecil.   "Mau videocall?" tawarnya yang langsung kuiyakan. Aku antusias mengangguk.   Begitu sambungan video muncul, aku merapikan rambut. Wajah Papa muncul setelah 3 kali dering.   "Sayang."   "PAPA! KANGEN!"     ~♥~♥~♥~   Sambungan videocall dengan Papa rasanya tak cukup membayar rasa rinduku. Baru sejam kami bercakap, dan aku keburu ngantuk. Tapi aku masih harus maraton drama. Malam ini episode terakhirnya. Dan aku sudah tidak sabar jika harus menunggu hingga besok. Begitu masuk kamar, aku nyalakan laptopku. Screensaver monitorku menampilkan fotoku dan Iqbal besar-besar. Aku tersenyum. Foto ini iseng diambil saat aku dan Iqbal tengah jalan pagi. Iqbal menggendongku yang kecapekan, dan aku mengambil kesempatan untuk berfoto dengan jarak sedekat itu. Hatiku menghangat. Kadang aku mempertanyakan, kenapa Iqbal yang katanya ganteng banget itu mau dengan remahan malkist sepertiku? Hahaha...   Tok tok   "Noona?"   Aku terkejut seketika. Duh, kagetan banget. Cepat-cepat aku menuju pintu. "Iya, Bal, bentar."   Pintuku terbuka dan memunculkan Iqbal disana. Pemuda itu nyengir. Aku mengangkat sebelah alisku. Gaje.   "Noona lagi apa?" tanyanya melongok ke arah kasurku.   "Oh, aku mau nonton drama." jawabku.  "Kenapa?" tanyaku begitu kulihat ia seperti ingin menyampaikan sesuatu.   "Oh belum tidur?" tanyanya lagi.   Aku menggeleng.   "Aku boleh ikut nonton drama?" tanyanya diakhiri cengiran.   Aku tercengang tapi buru-buru tertawa. "Kamu mau ikut nonton drama?"   Iqbal sewot. Matanya mendelik sedikit. Ia menyilangkan tangannya di depan dadanya. "Emang enggak boleh?" Dagunya terangkat.   Ingin membuatku terimidasi, huh?   "Enggak! Kamu paling baru nonton se-episode udah tidur." Tak mau kalah, aku ikut menyilangkan tangan. Meniru dagunya yang terangkat, tapi berakhir dengan aku yang terhina karena tinggi badanku.   "Kata siapa? Mau taruhan?" tantangnya.   Aku mengangkat alis kiriku. "Taruhan?"   Iqbal mengangguk mantap di tempatnya.   ~♥~♥~♥~     Kami berakhir di kamar Iqbal untuk menonton drama baru yang berbeda dari yang ingin kutonton sebelumnya. Iya, akal sehatku pasti sedang tidak berfungsi sekarang. Berada satu kamar dengan Iqbal bukannya berbahaya, ya? Itulah pikiranku setengah jam yang lalu. Kini aku tidak harus ketakutan ataupun, karena Iqbal pada akhirnya tidur. Hahaha, dia mungkin kecapekan atau apa, tapi aku senang melihatnya yang tidur seperti ini. Iqbal tidur dengan menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang. Matanya memejam lucu. Baru pertama kali ini aku melihatnya tidur dari jarak sedekat ini. Kini aku tidak fokus lagi menonton drama. Aku malah memandangi Iqbal hingga sisa episode berakhir. "Iqbal ganteng banget sih." "Kok aku baru sadar ya?" "Atau dari kemarin udah sadar, tapi pura-pura enggak sadar?" Begitulah aku yang akhirnya bermonolog di kamar Iqbal. Sudah kayak orang gila aja!   Karena sudah tidak fokus menonton lagi, dan daripada mubazir baterai, laptopku kumatikan. Aku memandang Iqbal sekali lagi. Entah sihir apa yang membuatku betah lama-lama memandangnya. Wajahku spontan mendekati wajah Iqbal. Gimana Iqbal punya wajah putih mulus seperti ini? Tanganku refleks menyentuh pipinya. "Halusnya..." aku terkekeh.   Kemudian jariku menelusuri lagi, kali ini ke alis hitam tebalnya, lalu turun menyentuh bulu mata lentiknya. Dan langsung berdecak kagum. Aku yang wanita saja tidak punya bulu mata selentik itu. Jari nakalku menyentuh hidung mancungnya. Dan yang terakhir, membuatku berdebar. Bibir pink alami Iqbal.   Cium, Zel!   Anjir! Siapa yang barusan bicara?! Apa batinku sendiri yang barusan berkata? Atau otakku yang menyuruhku merealisasikannya?   Tapi aku menggelengkan kepalaku. Kuat-kuat aku menyadarkan diri. "Lo gila, Zel?! Sampe punya pikiran mau nyium Iqbal?!" Aku beranjak dan berniat kembali ke kamarku sebelum aku ngapa-apain Iqbal. Aih, pikiran gue yang masih polos sudah ternoda! Tapi sebuah tangan menarik lenganku untuk kembali terduduk. Iqbal dengan mata terbuka menatapku tajam. Dan detik berikutnya, aku baru sadar saat ia merengkuh wajahku, lantas memagutkan bibirnya padaku. Mataku terbelalak.   ~♥~♥~♥~                    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN