Bab 127

1305 Kata
“Eh? Kok gitu? Jangan gitu dong Van …” Mohon Valdi. Novan mendengus dan pergi meninggalkan Valdi. Andi mengikuti Novan dari belakang. “Beneran kamu mau keluar dari kepanitiaan?” Tanya Andi. Novan tidak menjawab. Ia mempercepat langkahnya. “Van …” Panggil Andi lirih. Novan duduk di tempatnya dan melirik Andi dengan tatapan tajam. “Kenapa sih? Kamu nggak seriusan kan bakal keluar dari kepanitiaan?” “Bakal aku pikirin, kalo si Valdi mau jelasin yang sebenarnya dan minta maaf,” jawab Novan ketus. “Memangnya kenapa sih? Kenapa kamu tiba- tiba marah sama si Valdi?” Tanya Andi. Novan menghela napas. “Kamu nggak ada buka heksagram yang baru buat event ya?” Tanya Novan. Andi mengeleng. “Berhubungan sama itu?” Novan mengangguk. Ia menceritakan semuanya dengan singkat. Andi mangut- mangut mendengarnya. “Oalah, kalau begitu mah .. hem, itu masalah pribadi kalian. Tapi tolonglah, jangan sampai bawa- bawa soal kepanitiaan gini. Ini kan beda masalahnya …” “Nggak akan ada masalah ini kalau dari awal Valdi gak genit dan blokir itu orang dari awal. Ini malah kasih nomor handphone segala .. Ck! s****n!” Novan merutuk kesal. “Kamu blokir aja si cewek itu kan beres. Terus suruh si Valdi juga buat blokir itu cewek di heksagram. Beres kan?” Andi memberikan saran penengah. “Udah aku blokir sih itu cewek.” “Ya bagus dong. Tinggal suruh si Valdi yang blokir. Atau kamu aja yang buka sosmed kamu, terus kamu blokir sendiri. Bisa juga kan begitu?” “Iya, bisa, tapi aku tetap nggak akan mau hadir acara kepanitiaan apapun sampai Valdi minta maaf.” “Yaelah. Udahlah, jangan di perpanjang. Ini demi kepentingan bersama loh ..” “Nggak, ini bukan demi kepentingan bersama. Ini demi kepentingan OSIS doang, bukan kepentinganku.” **** “Oh ya nek, makanannya kan banyak gini, aku bagiin ke Sheila boleh gak nek?”Tanyaku pada nenek. “Oh, boleh boleh. Bentar ya nenek bungkusin dulu,”jawab nenek. Nenek bangkit dari duduk dan pergi ke dapur, mieninggalkanku berdua dengan mama di meja makan. Kami makan dalam diam. Ah, dari dulu aku memang tidak terlalu dekat dengan orangtua. “Si Shei ada masak juga di rumah?”Tanya mama memecah keheningan sesaat itu. Aku mengangguk. “Katanya sih masak kue ma. Dia masak kue yang sempet viral dulu waktu pandemi. Dia buat bareng bundanya,”jawabku. “Kue apaan tuh?”Tanya mama penasaran. Aku mencoba mengingatnya. Hem, kua apaan ya tadi? “Hem, Teh lupa sih ma nama kuenya apa. Tapi tadi di video call Shei tunjukin isi dalam kuenya itu warna warni, kek pelangi gitu,”jawabku. Mama mengernyitkan alisnya. “Kayaknya mama tahu deh, tapi juga lupa namanya apa. Mama mau dong, bilang ama Shei,”pinta mama. “Iya, nanti aku bilang deh,”jawabku. Aku teringat kalau Sheila ingin bubur kacang ijo buatan nenek. Aku bangkit dari duduk dan pergi ke dapur menemui nenek. “Nek, katanya Sheila mau bubur kacang ijo nenek,”ujarku memberitahu. Nenek sedang menutup kotakbekal. Sudah ada 3 kotak bekal di atas meja. Entah apa isinya, aku tidak tahu. “Oh iya. Bubur kacang ijo ya,”gumam nenek. Aku mengambil kotak bekal di lemari dan memberikannya pada nenek. Nenek mengambilnya dan mengisi kotak bekal itu dengan bubur kacang ijo hingga penuh. “Yang banyak, kan Sheila suka,”gumam nenek. Nenek menutup kotak bekal itu dan menaruhnya di atas meja. Nenek mengambil tas untuk kotak bekal dan memasukkan semua kotak bekal ke dalam sana. “Nah, udah siap nih. Nih buat Shei!” Nenek menyodorkan tas itu padaku. Aku mencoba mengangkat ta situ. Lumayan berat juga ternyata. “Taruh sini dulu deh. Teh siap- siap dulu, mau mandi dulu baru ke sana,”ujarku. Aku menaruh kembali tas itu ke meja, lalu pergi ke kamar. Aku sudah selesai mandi dan berpakaian. Aku hanya menggenakan kaos dan celana kain hitam. Tidak usah terlalu dandan, kan cuma ke rumah Sheila. Aku memakai sunscreen untuk melindungi diri dari bahaya sinar matahari dan keluar dari kamar. Aku turun ke dapur, mengambil tas bekal itu dan pergi keluar. “Teh pergi dulu ya,” *** Rumah Sheila tak jauh dari rumahnya. Masih satu blok, tapi rumah Sheila berada di ujung blok. Hanya memerlukan waktu 5 menit menggunakan sepeda. Aku tiba di rumah Sheila. Karena malas mengetuk pintu, aku memutuskan untuk menelpon Sheila saja. “Halo Shei,”salamku begitu terdengar telpon di angkat. “.. Ya, Teh? Ada apa?”Tanyanya dengan suara agak parau. Kayaknya Sheila baru bangun tidur. “Hei, aku di depan rumahmu nih. Bukain pintu dong,”jawabku. Tak terdengar suara di ujung sana. Hening sesaat. “Hah? Kenapa?”Tanya Sheila lagi dengan suara yang parau. “Buka pintu, aku di depan,”jawabku lagi. “Oh, mm..”gumam Sheila. Terdengar suara langkah kaki di ujung sana. Tak lama, pintu terbuka dan muncullah Sheila dengan matanya yang masih mengantuk dan rambutnya yang acak- acakan. “Kamu kemari kenapa gak bilang dulu … aku lagi tidur …”gumam Sheila. Aku melepaskan sepatuku dan masuk ke dalam. “Sori gatau. Nih, aku bagiin makanan buat nyepian. Itu juga ada bubur kacang ijo, banyak tuh nenek bagiin,”ujarku. Aku menyodorkan tas bekal kepada Sheila. Sheila yang masih setengah sadar menerimanya dan tersentak kaget hingga tasnya sedikit terjatuh. “Ya ampun berat banget wei,”ujar Sheila. “Iya, nenek banyak banget bagiin ke kamu. Dah, makan tuh ya,”ujarku. Sheila mengangguk dan membawa tas bekal itu ke dapur. Aku mengikuti Sheila. Sudah lama aku tidak main ke rumah Sheila. Rumah Sheila masih seperti ini, hanya sofanya saja yang tampak seperti baru. Mungkin sudah di ganti. “Ganti sofa ya Shei?”Tanyaku sambil menyentuh sofa di ruang tamunya. Wow, sofa ini masih sangat keset dan bau barunya terasa banget. “He’eh. Karena yang lama udah rusak banget, jadinya bunda beli baru,”jawab Sheila. Aku menatap sekeliling ruangan. Ada satu area yang di berikan pagar pendek di sudut ruangan. Area itu penuh berantakan dengan mainan anak- anak. Itu arena bermain adik- adik Sheila yang masih kecil. Katanya, sengaja bunda Sheila membuat arena itu agar tidak susah saat membereskannya nanti. “Sepi kok Shei,”gumamku. Biasanya rumah Sheila tampak ramai dengan suara riang anak- anak. “Pada tidur adik- adikku. Kecapekan main,”jawab Sheila. “Aku kecapekan masak,”lanjutnya. Sheila menaruh tas bekal itu di meja dapur. Ia membuka tas itu dan mengeluarkan setiap kotak bekal yang ada. Ada 4 kotak bekal di sana. “Nenekmu ya Teh. Banyak banget ini mah,”gumam Sheila. “Ya gak apa sih Shei. Toh rumahmu juga rame kan,”jawabku. Sheila membuka setiap kotak bekal. Ada ayam geprek, sei sapi, gado- gado, dan bubur kacang ijo. Sheila kegirangan saat membuka kotak bekal berisikan bubur kacang ijo. Saking banyaknya, hampir saja bubur kacang ijo itu meleber kemana- mana. “Ya ampun! Ini banyak banget bubur kacang ijonya! Bisa nih di jadiin es!”Ujar Sheila. “Es? Es kacang ijo?”Tanyaku heran. Sheila mengangguk. Ia mengambil plastik edible dan memasukkan bubur kacang ijo, lalu mengikatnya. Setelah itu dia memasukkannya ke dalam freezer. “Udah deh. Nanti kalo udah beku tinggal di makan. Enak banget tau di makan lagi cuaca panas,”jawab Sheila. Aku mangut- mangut. “Kenapa kemarin aku gak coba buat begitu ya ..”Gumamku. “Coba deh nanti di rumah. Enak tau. Adik- adikku suka banget es kacang ijo ini,”ujar Sheila. “Oh ya Shei, mama pengen roti pelangi yang kamu tunjukin tadi,”ujarku. “Oh. Cloud bread itu ya? Iya bunda juga suruh aku bagiin itu ke mama kamu. Katanya mamamu suka. Bentar deh.” Sheila membuka lemari dan mengambil keranjang berisikan roti berwarna coklat. “Ini rotinya?”Tanyaku. Sheila mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN