Bab 100

1492 Kata
“Nih dik, udah selesai,” ujar bung Kribo sambil memberikan tugas mereka yang sudah di jilid. “Makasih bang. Jadi berapa totalnya?” Tanya Novan sambil mengeluarkan dompetnya. “Santai. Udah di bayarin sama Stevan tadi,” jawab bung Kribo sambil menunjuk Stevan. “Udah nih?” Tanya Stevan menghampiri. “Oh, bagus juga di jilidnya. Emang selalu rapi si bung ini.” Stevan mengacungkan jempol. “Jadi berapa totalnya Van?” Tanya Toro datang menghampiri. “Nggak tau, di bayarin dia soalnya.” Novan menunjuk Stevan di sampingnya. “Ah … jadi berapa totalnya .. em …” Toro gelagapan. “Panggil Stevan aja. Udah, nggak usah kalian ganti. Ayo, kita ke sekolah. Nanti kalian telat.” Stevan menarik Novan. “Kamu juga ikut, ayo.” **** Novan menghela napas lega saat mereka tiba di sekolah. Sepanjang perjalanan yang singkat tadi, Stevan tidak henti bertanya pada Toro tentang tingkah lakunya di sekolah dan menceritakan tingkahnya sewaktu kecil. Stevan ini memang buat malu aja. “Makasih ya Stevan udah antarin kami,” ujar Toro. “Sama- sama,” balas Stevan. Novan melepas seatbelt dan membuka pintu mobil. “Hei, nggak salim dulu?” Cegat Stevan. “Nggak!” Jawab Novan ketus. Ia menutup pintu mobil dengan kencang. Stevan geleng- geleng kepala. Ia membuka sedikit jendela mobil. “Nanti aku jemput ya,” ujar Stevan. “Ya, terserah,” jawab Novan ketus. “Udah sana balik!” “Hidih, malah ngusir. Dasar!” Stevan berdecak kesal. “Dahlah, aku duluan.” Stevan menyalakan kembali mesin mobil. Ia menghidupkan klakson sebelum mobilnya menjauh dari sekolah. “Itu beneran om kamu? Aku kirain abangmu tadi, soalnya masih muda,” tanya Toro. “Iya, om aku. Memang masih muda, cuma beda 10 tahun kok, kayaknya,” jawab Novan. “Hoi kalian! Toro! Novan!” Panggil seseorang dari belakang. Mereka menoleh. Tampak Yudi datang menghampiri. “Gimana tugasnya?” Tanya Yudi. “Aman.” Novan menunjuk tugas yang sudah di jilid. “Ah, syukurlah.” Yudi menghela napas lega. “Jadi berapa totalnya? Nanti biar patungan aja bayarnya.” “Nggak usah, udah di bayarin sama om aku,” timpal Novan. “Hah? Lah kok gitu. Biar kami bayarin aja dah. Berapa totalnya?” Yudi mengeluarkan dompetnya. “Nggak usah, dia juga nggak bilang kok habisnya berapa tadi. Udah nggak usah,” tolak Novan. “Sori ya, bilang makasih ke om kamu ya Van,” ujar Yudi. Novan mengangguk. Yudi mengambil tugas yang udah di jilid itu dan membukanya. “Untung jadinya bagus. Kalau nggak si Efi bakalan ngomel.” “Halah anak itu, perfeksionis banget,” gerutu Toro. “Udahlah. Kalau di mata dia ada kurangnya nih, kita suruh Novan aja yang bujuk,” ujar Yudi sambil merangkul Novan. Ia berdecak kesal. “Lah, kok aku sih jadinya?” “Ya, kan tuh cewek- cewek bakal luluh kalo kamu yang ngomong.” “Nggak, aku nggak mau!” Novan menepis tangan Yudi. “Udah bagus ini, nggak bakal protes kok dia. Tenang.” Toro dan Yudi saling lirik, lalu melirik Novan. “Kamu yakin?” Tanya Yudi. Novan mengangguk. “Yakin,” jawab Novan tegas. Yudi dan Toro meringis. “Belum tahu dia Yud,” celetuk Toro. Yudi mengangguk. “Ya udah, kita lihat aja nanti dah. Kamu jangan kaget ya,” ujar Yudi. Novan mengernyitkan alisnya. “Nggak bakal protes kok, yakin.” **** Pelajaran pertama adalah Bahasa Inggris. Beberapa menit sebelum bel berbunyi, mereka sudah mengatur posisi untuk duduk sesuai kelompok. Kelompok Novan memilih berkumpul di tengah kelas. “Mana tugasnya? Udah di print kan? Udah di jilid?” Tanya Efi. “Udah, nih.” Yudi mengeluarkan tugas yang sudah di jilid dari tas, lalu memberikannya kepada Efi. Ia membolak- balikkan halaman demi halaman secara perlahan. Yudi dan Toro saling bertukar pandang. Mereka menelan ludah. “Eh, ini kan nggak kayak gini!” Efi menaruh tugas di tengah meja dan menunjuk salah satu halaman. “Ini salah nih, nggak kayak gini harusnya!” Novan, Yudi, dan Toro melirik halaman yang di tunjuk. Mereka membaca halaman itu dengan teliti, lalu mengernyitkan alis. “Apanya yang salah? Kan bener ini …” Tanya Novan pelan. “Ini salah! Salah ukuran font tau! Harusnya ukurannya tuh 12, ini pasti di buat 13 kan?” Novan melongo. Yudi dan Toro hanya bisa geleng- geleng kepala mendengarnya. “Nggak nampak Fi, nggak bakal ada yang ngeh juga ..” Jawab Yudi. Toro mangut- mangut. “Tapi aku sadar kok kalau ini salah! Nampak loh ini!” Tukas Efi. “Kayaknya sih kamu doang yang sadar sih …” Gumam Toro pelan. “Apa kamu bilang hah?!” Efi menatap Toro dengan tatapan tajam. Toro meringis. “Nggak kok, nggak apa.” “Ini nggak kelihatan loh Fi … kan bedanya satu ukuran doang,” ujar Yudi. “Kelihatan jelas gitu juga!” Keukeh Efi. “Lihat nih, bandingin dengan halaman lain. Beda kan? Terus ini juga, warnanya kok kurang hitam?” “Oh, itu karena tintanya udah hampir habis,” jawab Toro. “Maunya kamu print lagi Tor, nih jadi buram gini.” Efi berdecak kesal. Ia memeriksa halaman lain. “Nah, ini juga salah lagi nih!” Mereka menghela napas panjang. “Apa lagi yang salah sih Fi?” Tanya Yudi. “Ini salah nih! Harusnya kan gambarnya bukan yang ini. Kan aku udah bilang, gambar yang ini tuh untuk materi yang satu lagi, bukan yang ini. Nah kan, malah ketukar ini. Haduh …” Gerutu Efi. “Kalian ini gimana sih, udah di bagiin juga. Masih ada aja yang salah.” Efi berdecak kesal. Ia melempar tugas ke atas meja. Toro mengambil tugas itu dan membolak- balikkan halamannya. “Aku nggak nengok ada salah di sini …” Gumam Toro. “Yang ini loh! Ini salah nih, terus yang ini juga salah. Ini juga!” Efi menunjukkan setiap halaman yang menurutnya salah. Mereka memeriksa bagian yang salah itu, lalu geleng- geleng. “Kami nggak lihat ada salah …” Gumam Yudi. Efi berdecak kesal. “Ih, yang ini loh! Ini nih yang paling kelihatan gambarnya, ini salah gambarnya!” Efi menunjuk salah satu halaman yang berisi karakter kartun yang saling mengobrol. “Lah, kan tetap nyambung juga Fi …” Ujar Yudi. “Tapi nggak sesuai! Ini lebih sesuai dengan halaman selanjutnya! Lihat nih! Nggak cocok kan?” Efi membuka halaman selanjutnya. Mereka mengernyitkan alis. “Aku nggak merasa ada yang salah sih …” Gumam Novan. Efi berdecak kesal. “Ini salah! Ck, kalian ini! Entah gimana tugasnya kalian buat! Udahlah!” Efi mendengus kesal. Wajahnya cemberut. Ia melipat kedua tangannya di d**a. Yudi, Novan, dan Toro saling bertukar pandang. Benar ternyata yang Yudi dan Toro katakan, Efi sangat perfeksionis. Lebih perfeksionis dari yang ia sangka. Sepertinya ia kewalahan dengan hidupnya sendiri. “Maaf deh Fi. Tapi ini kan udah di print, udahlah …” Ujar Yudi. “Udahlah?! Makanya tuh kalian periksa lagi sebelum di print! Jangan langsung di print gitu aja! Mana langsung di jilid lagi! Kan kalau udah banyak yang salah kayak gini, harus di perbaiki lagi dari awal. Mana sempat lagi, udah mau di kumpulin!” Omel Efi. “Nah, karena udah nggak sempat, mending kita kumpulin aja,” timpal Toro. Efi berdecak kesal. “Udahlah, terserah kalian aja!” Ujar Efi kesal. “Fi, Efi!” Panggil seseorang. Efi menoleh. “Ada Kirana nih!” Tampak Kirana melongok dari pintu kelas. “Kir! Sini!” Efi melambaikan tangan. Kirana masuk ke dalam kelas dan menghampiri Efi. Efi langsung memeluk Kirana. Kirana mengernyitkan alis dan membalas pelukan Efi. “Kenapa nih?” Tanya Kirana. “Kir! Lihat nih mereka Kir!” Efi menunjuk Yudi, Toro, dan Novan. “Mereka bikin tugasnya asal- asalan! Banyak salahnya!” “Hah? Asal- asalan? Mana tugasnya?” Efi menunjuk tugas yang sudah di jilid di atas meja. Kirana melongo melihatnya. “Ini tugas apaan, kok bisa setebal ini? Mau buat kamus kalian?” Tanya Kirana sambil membolak- balikkan halaman demi halaman. “Dimana salahnya memang?” “Ini loh! Ini!” Efi membuka halaman yang sudah ia lipat ujungnya untuk menandakan halaman yang salah. Kirana memperhatikan halaman itu lamat- lamat, lalu mengernyitkan alis. “Hah? Apanya yang salah sih?” Tanya Kirana bingung. Efi berdecak kesal. “Ini loh Kir, nih. Ini salah font, ini hampir pudar kan, terus ini gambarnya salah! Ketukar gambarnya!” Efi menunjukkan halaman yang salah. Kirana mangut- mangut. “Tapi … ini nggak terlalu kelihatan salahnya kok.” Kirana menatap lamat- lamat halaman itu. “Nggak, nggak ada yang salah tuh. Nggak kelihatan.” “Tapi Kir …” “Jangan terlalu perfeksionis deh Fi, nanti susah sendiri,” potong Kirana. “Ini juga ketebalan, percaya deh nanti bakalan di komentarin sama Mrs. Efri.” “Bukannya lebih banyak, lebih bagus ya? Bakalan lebih bagus nilainya ya?” Kirana meringis. “Nggak gitu konsepnya. Udahlah, lihat aja nanti. Pasti ini di suruh revisi sama mrs. Efri, percaya dah.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN