Bab 96

1071 Kata
Mobil Stevan tiba lebih cepat dari perkiraan. Novan langsung masuk ke dalam begitu mobil itu berhenti di depan gerbang. “Nggak telat kan?” Tanya Stevan. Novan menggeleng. “Lebih cepat, malah,” “Jadi, gimana hasil rapatnya?” Tanya Stevan. “Nanti aku ceritain. Sekarang pulang dulu,” pinta Novan. “Oh, oke. Pakai sabuk pengamannya.” Novan memakai sabuk pengaman. Stevan memutar kunci mobil dan mobil pun perlahan meninggalkan lingkungan sekolah. **** Hening. Sepanjang perjalanan, mereka saling diam. Tidak ada yang membuka pembicaraan. Hanya iringan lagu dari radio mobil yang memecahkan keheningan itu. Stevan bersenandung kecil, menikmati lantunan lagu yang menemaninya di tengah kemacetan. Novan menatap kosong keluar jendela. “Wei, jangan bengong. Nanti kesurupan.” Stevan menyikutnya. Novan berdecak. “Nggak, nggak bengong,” jawab Novan. “Jadi tadi gimana?” Tanya Stevan. “Tadi …” Novan terdiam. Ia masih malas untuk membahas tentang hasil rapat tadi. Hasilnya tidak mengecewakan banyak pihak. Valdi sedikit bijak dalam hal ini. Sepertinya hanya Novan saja yang kurang setuju dengan hasil rapat tadi. Devisi dana usaha tidak jadi di bubarkan, karena mereka masih sangat membutuhkan devisi ini. Tidak ada anggota yang di keluarkan. Ini yang sedikit membuat Novan kaget, karena ia mengira dia dan Karyo akan di keluarkan dari jajaran panitia. Tapi kali ini mereka akan kerjasama dengan bendahara untuk aksi pemungutan dana dan tidak ada yang boleh menjajakan jualan yang aneh. Setiap yang mau mereka jual harus meminta persetujuan dari guru- guru dahulu. Sedikit repot, tapi itu jalan tengah paling bagus menurut Valdi dan mereka menerimanya. Valdi akan membahas lebih lanjut hasil rapat ini dengan Pembina OSIS dan ia berharap semoga keputusan ini bisa di terima. Novan tidak masalah jika dia tidak andil dalam panitia, toh dia juga anak baru. Lebih baik mereka ambil anak lain kan? Apalagi kalau harus satu devisi lagi dengan Karyo. Memang dah, semakin di hindari malah semakin di dekatin. “Masam banget mukanya,” celetuk Stevan. Novan meliriknya sekilas. “Ada apa?” “Devisi kami nggak jadi di bubarin,” cerita Novan. “Bagus dong,” komentar Stevan. “Yah, memang. Kalau sekarang kami kerjasama dengan bendahara, jadi nanti di bantui dan di pantau juga oleh guru apa yang kami lakuin buat cari dana tambahan itu, lewat usaha apa.” Stevan mangut- mangut. “Palingan juga di suruh jualan risol mayo, paling umumnya. Atau apalah yang lain kan, biasanya makanan gitu,” timpal Stevan. Novan mengangguk. “Ya, nggak jauh- jauh dari situ jugalah ya, memang. Tapi yang buat aku malas itu, harus ketemu dengan Karyo lagi. Padahal aku lagi hindarin tuh orang, malah ketemu terus,” gerutu Novan. Stevan mendengus geli. “Ya memang begitu biasanya. Makin kita coba hindari seseorang, malah makin mendekat dianya. Ya udahlah, sabar aja. Nanti kalau udah selesai acara, ya nggak usah di dekatin lagi.” “Iya. Bakal kayak gitu. Semoga aja nggak ada yang bikin jadi deket sama dia.” Stevan cekikian kecil. Novan mengernyitkan alisnya. “Kenapa?” “Nggak, nggak apa. Cuma aku bayanginnya kok, kayak kamu lagi menjauh dari gebetan ya? Lucu aja rasanya tiba tiba kamu minta menjauh kayak gitu.” Stevan kembali cekikian. “Heh! Maaf ya, gini- gini aku masih normal! Masih lurus!” Ujar Novan tak terima. “Iya, masih lurus. Tapi kalau di suruh deketin cewek, mau nggak?” Tanya Stevan. “Nggak, makasih,” tolak Novan. “Anak sekolah nggak boleh pacaran dulu, belajar dulu yang benar.” “Halah, biasaan aja kamu ya.” ***** Setelah terjebak macet selama setengah jam, akhirnya jalanan kembali lancar. Mereka sampai di lorong rumah Stevan saat senja. Novan segera keluar dari mobil tanpa berpamitan. Ia terkejut saat mengecek smartphone. Ada 3 panggilan tak terjawab dari papa. Haduh, udah dah kena omel ini, gerutu Novan dalam hati. Ia berlari menyusuri lorong rumahnya. Ia baru hendak membuka pintu kabar dan tersentak kaget saat melihat papanya sudah menunggunya di pintu gerbang. “Anu .. Novan pulang …” Ujar Novan pelan. Ia membuka pagar dan masuk ke dalam. “Kenapa baru pulang jam segini?” Bentak papa. “Ada rapat panitia tadi pa,” jawab Novan. “Panitia apa hah? Kamu masih anak baru, memangnya udah ikutan kepanitiaan gitu?” Novan berdecak. “Ada pa, buat event sekolah. Jadi tadi rapat bahas soal event itu. Temanku yang ngajak ikutan jadi panitia.” Papa mendengus. “Halah, sok sokan segala kamu jadi panitia. Tuh teman kamu juga sok dekat, nyari muka aja dia tuh.” Papa melipat tangannya di d**a dan mendengus. “Udah masuk sana. Lain kali kalau kamu pulang telat, nggak usah pulang aja sekalian!” “Ya memang itu mauku,” gumam Novan pelan. “Apa kamu bilang?” Tanya papa dengan nada tinggi. Novan menggeleng. “Nggak, nggak apa. Novan masuk dulu, capek.” Novan membuka sepatunya dan buru- buru naik ke atas. Sebelumnya ia sempat menyapa Mikel dengan mengelus pelan rambut adiknya itu. Ia masuk ke kamar dan mengunci pintu. Ia melempar tasnya sembarangan dan mengganti seragamnya. “Hem, agak bau juga.” Ia mencium bau badannya. Ia mengambil handuk yang di gantung dan pergi mandi. Tak perlu lama karena hari sudah menjelang malam. Selesai mandi, terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. “Ya, siapa?” Tanya Novan. “Ayo makan malam,” jawab seseorang di balik pintu. Ah, itu suara ibu. “Aku nggak makan,” tolak Novan. “Papa suruh kamu makan.” Ah, aneh sekali. Tumben papa yang ajak Novan makan duluan. Novan membuka pintu kamarnya dan tampak ibunya berdiri di depan pintu. “Makan malam dulu, papa yang ajak,” pinta ibu. Novan mengernyitkan alis, kemudian mengangguk. “Ya, bentar.” Novan mengembalikan handuk ke gantungan dan pergi turun ke bawah bersama ibu. Mereka pergi ke ruang makan. Papa sudah ada di sana bersama Mikel yang asyik mengacak- acak makannya. “Eh, Mikel! Makanannya jangan di mainin nak …” Ibu menghampiri Mikel dan mengelap meja yang kotor karena Mikel. “Makan bang,” ajak papa. Novan duduk di sebelah Mikel. Ia menuangkan setangkup nasi ke piringnya dan menaruh beberapa lauk di sana. Setelah itu, dia makan dengan khusyuk. “Kamu kok bisa gabung di kepanitiaan gitu?” Tanya papa. “Di ajak teman,” jawab Novan. “Baik ya temanmu.” Novan mengangguk. “Sekolahnya enak? Nyaman? Bagus?” Novan kembali mengangguk. “Kamu, bang, apa ada masalah di sekolah?” Novan berhenti mengunyah dan melirik papa. Papa menyinggungkan senyum tipis yang misterius. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN