Matanya terbuka perlahan, samar-samar Nara melihat sekelompok orang berdiri di sekeliling tempat tidur tunggalnya. Semua tatapan itu menyakitkan, mereka memandangnya seolah dirinya adalah penyakit. Penuh cemooh dan menjijikan.
Satu tangan di sana terangkat menutup paksa mulutnya membiarkan ia dalam kebisuan. Kemudian menggunting rambut panjangnya, di bawah sana Nara merasakan kakinya dipegang kuat agar tidak bisa melawan. Pengap, karena kemudian seluruh wajahnya ditimpa bantal. Nara mencoba mendorong bantal tersebut kenyataannya ia tak mampu.
Air mata mengalir deras ketika ia merasa kakinya dililit sesuatu. Sejenis tali, mungkin. Dalam hati Nara berdoa selamatkan lah dirinya, mungkin ada dosa di masa lalu yang pernah ia lakukan di kehidupan sebelumnya. Meski, Nara tidak percaya dengan hal-hal seperti itu.
"Tolong... sakit, to-tolong aku," racau Nara dengan mata terpejam.
"ANNARA! sadar Nak." Pria berkumis tipis dan bertubuh tinggi itu mengguncang raganya.
Annara menegang lantas membuka matanya dan melihat orang-orang di sekelilingnya. Tidak ada tatapan kebencian, tidak ada sorot yang menjelaskan seolah dirinya ini menjijikan sehingga membuatnya takut. Tidak ada.
Annara melirik sekilas ruangan tempatnya berbaring, unit kesehatan sekolah, di sinilah ia berada. Netranya menangkap eksistensi guru BK-nya, Pak Cahyo dan Bu Dewi serta Lucy, Firza, dan si kusam. Nara tidak tahu nama lelaki yang tempo hari dilemparnya dengan kaleng. Seingatnya lelaki itu teman Firza, hitam, dan menyebalkan.
"Lo gak apa-apa?"
Nara mengangguk sebagai jawaban lelaki kusam tersebut. Pandangan mereka bertemu, sorot mata lelaki yang Annara sebut kusam itu menenangkan dan ia agak tidak yakin dengan pendapatnya kali ini tapi, ia melihat gurat khawatir. Apa lelaki kusam itu mengkhawatirkannya?
"Annara, kenapa kamu gak langsung lapor sama saya kalau kamu diganggu oleh Sarah dan teman-temannya?" Kali ini Bu Dewi yang angkat bicara. Annara bingung kenapa ada dua orang guru di sana. Jangan-jangan berita dirinya dengan Sarah yang main rusuh di toilet sudah menyebar?
"Saya gak papa kok Bu, tadi gak sengaja kepeleset juga," kilahnya. Sementara Reza, Firza, dan Lucy yang mendengarnya di belakang sana melotot dramatis.
"Ann-"
"Iya Firza, gak sepenuhnya salah Sarah kok."
"Lo tuh begok atau pura-pura baik sih. Gak usah menutupi sesuatu yang udah kita ketahui," sambar Reza ketus.
Firza sendiri sampai cengo, biasanya yang suka berucap kejam itu dirinya.
"Apa karena kelamaan gaul ama gue ya."
"Reza! Annara lagi sakit jangan gitu dong," geram Bu Dewi.
"Ya sudah, saya harap ini terakhir kalinya kejadian seperti ini terjadi. Dan untuk kamu Annara, saya bermaksud untuk menghubungi orang tua kali-"
"Pak, saya jatuh disaat Sarah dan teman-temannya datang jadi, gak sengaja buat Sarah nabrak tembok akhirnya kita jatuh sama-sama. Zaza niatnya mau nolongin kita tapi, kaki Nara gak sengaja juga ngeinjek roknya. Kalo orang liat kesannya emang kita kayak lagi bertengkar. Tapi kita gak gitu Pak, kenapa harus panggil orang tua?" Penjelasan palsu itu Annara koarkan.
"Terus kenapa baju lo bisa robek?" Ternyata Reza masih ngegas.
"Ya namanya Sarah gak sengaja narik baju aku biar gak jatuh, ternyata jatuh juga."
"Lo tuh sakit jiwa ya," balas Reza dengan mata melototnya.
"Nggak, aku sehat walafiat."
"Kenapa sih lo nutup-nutupin Ra, lo harus jujur elo dibully Sarah dan temen-temennya." Dalam hati Reza ingin nyinyir sampai bulan. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Annara.
"Yang ada di sana waktu kejadian aku atau kamu?" Tak mau kalah, Annara ikutan ngegas.
Keduanya saling pandang memancarkan aura dingin tak terbantah. Reza berdecih singkat kemudian undur diri dari keramaian. Saat keluar, pintu UKS dibantingnya hingga menimbulkan suara debaman yang cukup keras. Sementara Annara menatap ragu kepergian si kusam.
Sudah hampir dua puluh menit setelah kepergian Annara ke toilet untuk membasuh muka. Dan sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehadirannya. Lucy gelisah.
Sejak awal pertemuan mereka di mana Annara yang sedang menolongnya sudah membuat ia gusar. Lucy percaya murid baru itu baik dan tulus. Lucy dapat melihat dari sorotnya. Maka, ia mengajukan diri izin ke toilet juga oleh Pak Lucas yang saat itu sedang berlangsung jam pelajarannya.
Sesampainya di depan toilet, ia mendengar suara seperti teriakan. Dan suara itu mirip dengan suara Annara. Lucy menggelengkan kepala mencoba tetap berpikir positif namun saat seseorang di dalam sana menyebutkan nama Sarah. Ia semakin yakin bahwa Annara memang sedang kenapa-kenapa.
Ia menarik handle pintu bermaksud membukanya namun, sayang pintu terkunci. Dan satu hal yang melintas di kepalanya. Reza-Firza, ntah bagaimana ceritanya Lucy sudah memboyong Reza dan Firza sampai di depan toilet yang sama dengan suara teriakan tadi.
"Lo yakin Annara dipermainkan Sarah?"
"Aku denger suara teriakan Annara dan seseorang nyebut nama Sarah dari dalem Reza. Aku gak mungkin salah denger."
"Heh Thomas, main kabur-kaburan aja lo kayak anak gadis," cerca Firza. Keduanya berada di lapangan basket indoor. Saat jam-jam segini biasanya cukup ramai oleh adik-adik kelas. Beruntungnya sedang sepi dan Reza sudah tak berselera menyambung belajarnya maka tempat pelarian yang cocok adalah gedung ini.
Mereka duduk di tengah lapangan, namun, hanya Firza yang duduk sementara Reza rebahan berbantalkan lengannya. Kaki Firza yang tadinya menekuk ditarik cepat oleh Reza sehingga menjadi selonjoran. Firza yang terkejut nyaris terjungkal, menyuarakan keluhan, "Rusuh amat lo anak ikan pare."
"Thomas Alva Edison panutan gue emang, kenapa lo mau nikung?" Maksud hati ingin bercanda namun, yang Firza lihat Reza sedang frustasi. Intonasinya tegas lugas jauh dari kesan bercandaan, tampangnya juga datar-datar saja.
Tapi, hal apa yang menyebabkan Reza frustasi. Firza tak habis pikir dengan tingkah absurd sahabat gelapnya ini. Segelap kulitnya.
"Ada masalah idup apa sih lo sama Jerry Za?" Lama-lama Reza miring beneran mendengar nama tokoh yang diucapkan lelaki di sebelahnya ini.
"Thomas-Jerry lo pikir gue kartun kesayangan Nui Tom&Jerry?"
Firza menghela nafas sesaat "Emang, lo Thomas dan Annara Jerry. Udah pertemuan kedua dan kalian masih gak akur juga Sat!" Ketahuilah Firza sungguh geram melihat aksi Firza tadi di UKS jadi biarkan kali ini saja ia sematkan nickname itu pada Reza. "Pake acara ngebentak segala lagi malah omelan lo jinjja pedas," sambung Firza kalem.
Reza kontan mendudukkan bokongnya menghadap arah yang sama dengan Firza. Kumpulan kursi penonton di sana yang berjejer rapi berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang kacau.
"Gue jadi gak enak hati udah sekasar itu sama dia. Yang tadi itu spontan Za, gue juga heran kenapa bisa gitu ya?"
Firza mengangguk saja. Ada fase di mana mereka harus serius dan meniadakan sementara selera humor satu sama lain. Apa yang dirasakan Reza saat ini sebenarnya turut Firza rasakan. Ia marah, kesal pada semua orang terlebih Sarah, ia marah tapi tak tahu jelas karena apa.
Begitu mendapat kabar dari Lucy mengenai insiden Annara. Tetangga barunya yang pagi tadi ia anggap kuat ternyata tak sekokoh kelihatannya. Igauan gadis itu saat di UKS terngiang-ngiang di telinganya. Dan perdebatan Annara-Reza membuatnya menahan sekuat mungkin egonya untuk tidak menghakimi Annara melalui perkataan.
Firza juga sama yakinnya dengan Reza mengenai penjelasan gadis itu pada Pak Cahyo. Mereka sama-sama berpikir Annara sedang berbohong tapi, apa motifnya.
"Cemilin noh e*k kucing," ejek Firza. Ia menutupi rasa kecewanya dengan rapi. Yang tanpa disangka, Reza menempeleng kepalanya.
"Tetangga lo kan?" Firza kembali mengangguk.
"Gue gak bermaksud ngebentak lo tadi sore cuma agak sensi doang. PR banyak tambah ngedengerin kefake-an elo demi orang yang gue yakini ngebully lo. Maaf, gue minta maaf."
"Apa sih tem, gak ngonek amat lo." Kali ini "item" suka-sukanya yang berparas tampan dan berkulit putih sajalah. Reza pasrah.
"Sampein gitu ke dia, bilang dari gue. Lo kan tetangganya sesekali berbuat baek sebelum died Brother."
"Item-item!" Kejujuran Firza yang paling tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam untuk Reza.