Bagian 5

2098 Kata
"Maafin aku Annara, gara-gara aku kamu jadi kena imbasnya juga," ucap Lucy bersungguh-sungguh. Saat ini hanya tinggal mereka berdua di Unit Kesehatan Sekolah. Setelah Reza pergi tak berselang lama diikuti oleh Firza. "Bukan itu masalahnya sekarang." "Terus?" "Aku kebelet kentut, hehe." Lucy terbahak di tempat. Tampang polos Annara seperti tidak ada jaim-jaimnya bicara tentang membuang aroma busuk dari dalam tubuh. "Keluarin aja Annara, malah bagus tau. Kepala kamu masih pusing?" Annara menggeleng. "Panggil Nara aja, Annara kepanjangan buat nama panggilan," seloroh Nara yang Lucy angguki. Keduanya akrab dengan cepat. Lucy memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Annara. Anak baru yang ramah dan bijak. Lucy suka dan mulai sekarang role modelnya adalah Annara. "Tapi, aku tau yang kamu jelasin ke Pak Cahyo tadi itu bohong. Kenapa Ra?" Annara menghembuskan nafas sejenak, "Aku gak mau masalah kecil kayak tadi menyebabkan masalah yang lebih besar." "Masalah kecil?" Lucy speecless. Masalah kecil katanya. "Hari ini adalah terakhir kalinya orang asing bisa nyentuh dan nyakitin aku. Besok, mereka gak akan sanggup untuk sekedar mencium aroma tubuhku," jelas Annara. "Nara kamu-" "Hahaha... bercanda kok aroma tubuh apaan emang aku punya darah suci." Terselip keyakinan dalam diri Annara dengan perkataannya barusan. Ya, akan ia tunjukkan pada dunia dirinya Annara, bukan gadis lemah. "Kamu ada-ada aja deh, kamu keren!" ungkap Lucy sembari mengacungkan kedua jari jempolnya. Nara tersenyum simpul "Nggak tuh, biasa aja." "Semakin keren." Dan keduanya tertawa bersama. "Senang deh aku bisa jagain kamu, aku kira tadi bakal Bu Dewi yang urus." Nara masih tersenyum. Bu Dewi yang masih syok dengan keadaan Annara, tadinya ngotot meminta tetap tinggal untuk menjaganya. Annara itu murid baru, baru dua hari dan sudah mendapatkan perlakuan tak menyenangkan. Bisa habis reputasi sekolah. Tapi, bagi Bu Dewi yang paling penting adalah attitude setiap siswa-siswinya. Dan kasusnya kali ini termasuk dalam kategori tak baik. Beliau seorang guru bimbingan konseling maka sebesar itu rasa empatinya terhadap sesama. Penjelasan palsu Annara dengan mudahnya Bu Dewi dan Pak Cahyo terima. Dan penjelasan singkat Pak Cahyo sebelum meninggalkan ruangan kesehatan membuat Annara dapat bernafas lega. "Kalau memang seperti itu peristiwa jelasnya baik, tidak ada acara pertemuan antar orang tua. Karena saya rasa ini hanya sebuah kesalahpahaman." Diam-diam Nara terkikik geli. Ternyata jago bohong juga dia. "Maaf ya Pak Cahyo, Bu Dewi," ucap Nara pelan yang masih dapat Lucy dengar. "Kamu paket komplit, cantik, baik lagi." Membuat Nara kembali tertawa. *** Hampir setengah enam sore dan kelas sudah dibubarkan sejak 10 menit lalu. Firza dan Reza sedang asik menyedot es kelapa muda di kantin. Beberapa siswa lainnya juga tampak masih memenuhi area tempat makan sekolahan. Mengisi ulang perut setelah lelah berpikir seharian. Ponsel Firza bergetar menandakan ada pesan masuk baru. Yang ternyata dari Naira. Dengan raut serius Firza membalas dan segera memasukkan kembali dalam tas. "Yuk, buruan!" "Kenapa k*****t? buru-buru amat lo?" "Iya buru ah, Nui minta jemput di toko buku jalan Kuningan," jelas Firza. "Biasanya ke toko buku Ko Acek." "Abis dari rumah temen katanya, udahlah lama lo." Firza ambil jaket denimnya yang ia sampirkan di kursi dan memakainya cepat. Sudah hampir petang, dan adiknya di tempat yang lumayan jauh dari rumah. Sebagai seorang kakak Firza siaga. Siapa lagi yang bisa diusilinya di rumah kalau tidak ada adik satu-satunya itu. "Yodah lah caw naw," sambar Reza. Yang dapat diartikan Firza cabut now atau sekarang. Ia maklumi saja, si hitam memang alay. *** "Kamu yakin gak mau aku anter pulang aja Ra?" "Nggak Lucy, rumah kita beda arahnya jauh banget. Udah mau gelap loh nanti kamu dicariin, udah gih sana pulang!" "Beneran udah gak pusing lagi kan?" Annara menggeleng. "Nanti kalo dijegat Sarah di tengah jalan gimana?" "Udah kamu tenang aja aku damprat sampe langit nanti dia." Annara terkekeh sejenak "-Lagian Sarah juga udah disuruh pulang lebih awal kan sama Pak Cahyo tadi." Lucy menangguk. "Yaudah kamu hati-hati ya Ra." Annara sahuti dengan seulas senyum dan lambaian tangan. Keduanya berdada ria sampai sosok Lucy hilang di dalam angkutan umum. "Eh iya mau cari buku-buku UN, hampir aja lupa." Setelah mengirim pesan pada mamanya bahwa ia akan sedikit terlambat pulang karena singgah ke toko buku. Nara segera memesan ojek online agar lebih menghemat waktu. Tapi, "Yah... kok tutup sih." Toko buku langganannya sudah di depan mata. Namun, sebuah plat kecil bertengger manis di dalam bertuliskan "closed'' membuat semangatnya hilang. Ia kecewa, wajahnya langsung bermuram durja. Membuat mood jelek saja, pikirnya. Lantas, karena matahari semakin redup dan perut terus berbunyi, Nara memutuskan membeli jajanan kaki lima sebelum pulang. Kebetulan ada tukang cilok, kesukaannya. "Pak, saya bungkusin dua porsi ya," pintanya. "Siap Neng, ditunggu sebentar ya." Annara angguki saja. Sambil menunggu pengganjal perutnya selesai ia membuka aplikasi game yang akhir-akhir ini digemari remaja zaman sekarang. Termasuk dirinya. "Ini Neng." "Eh iya berapa Pak?" "Dua puluh rebu Neng." Nara terima bungkusan kresek putih tersebut sembari menyerahkan selembar uang berwarna biru "Kembaliannya ambil aja Pak," tutupnya kemudian menyebrang ke trotoar sebelah kanan. "Sudah cantik baik lagi," kata pedagang cilok. Saat melewati sebuah toko pakaian, Nara melihat seorang pria bersama seorang wanita. Postur pria itu dirasanya tak asing. Sepertinya ia kenal tapi, karena jarak mereka yang cukup jauh, ia jadi tak yakin. "Mirip siapa gitu ya?" pikirnya. Jalannya jadi tak fokus, sehingga. "Aww," pekik Nara tertahan. Kakinya tersandung kardus bekas. Cukup kuat membuatnya jatuh terduduk. Lututnya mendarat lebih dulu. "Kardus doang kok keras banget sih?!" Karena penasaran Annara melongok ke dalamnya yang ternyata, Astagfirullahaladzim. Masih ada ya orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan enggan menjaga lingkungan. Isinya tumpukan sampah rumahan. Mulai dari kaleng-kaleng roti, s**u, botol minyak goreng, dan lain-lain. "Gimana gak sering terjadi banjir kalau kesadaran masyarakat aja masih rendah," omelnya sambil mengangkut kardus tersebut dan meletakkannya di tempat sampah. Nara melanjutkan perjalanannya dan ketika merasa perih di bagian kaki ia berhenti sejenak. Lututnya berdarah, sedikit tapi cukup membuat Nara meringis. "Untung aku bawa plester." Annara lirik waktu di handphone-nya dan terkejut. Sudah jam enam lebih tiga puluh menit rupanya. Dia membuka aplikasi ojek online bermaksud memesan. Namun, baru sampai menu utama ponselnya mati. Nara menepuk jidat "Ck, pasti gara-gara tadi main game nih," kesalnya. Untungnya masih ada alternatif lain, angkot. Mobil sejuta umat yang suka menjadi penyelamat di tengah keadaan genting. Sukurnya Annara tinggal di Indonesia. Kalau di negara lain belum tentu ada kan. Annara semakin bangga dengan negaranya. Dua puluh menit kemudian... "Angkot nih gak ada banget kerja samanya." Nara mencebik dramatis. Langit semakin gelap sementara kendaraannya belum lewat-lewat. Kalau dipikir-pikir hari ini ia sial sekali, Nara mencebik part dua saat membayangkan. Ribut dengan Sarah, kena mulut wasabi teman Firza yang kusam, toko langganannya tutup, kesandung sampai luka, dan sekarang menunggu angkot di pinggir jalan, sendirian lagi. Tiba-tiba Nara merasa ada setetes air mengenai dahinya. Ya ampun apalagi ini. Saat mendongak, ternyata gerimis. Tak disangka malah menjadi deras dalam sekejap. Gadis berseragam putih dengan rok kotak-kotak itu berlari mencari tempat teduh. Bagus, hari yang sempurna untuk segala kesialan. Nara menepi di bawah pohon pinggir jalan. Semakin gelap udaranya juga semakin dingin. Ponsel pun mati. "Annara?" Sebuah sepeda motor hitam berhenti tepat di depan Nara. Oh bukan satu tapi dua. "Kakak?" "Eh kamu?" Nara menoleh ternyata itu Nui di atas sepeda motor dengan Firza. Kemudian netranya menangkap satu orang lagi yang pertama memanggilnya. Si kusam. Nara melengos sebal. Auranya jadi beda tiap dekat temannya Firza yang dekil itu. "Biasa aja dong liatnya gausah nyolot gitu," sambar Reza sembari membuka helmnya. Ternyata ia peka dengan tatapan Nara. Tak menanggapi, Nara justru mengalihkan pembicaraan dengan Nui, "Baru pulang juga?" Malah Reza yang keki. "Udah dari siang sebenernya Kak, Nui tadi mampir ke rumah temen terus pulangnya ke toko buku deh." Annara mengangguk. "Lo napa baru pulang sekarang? Kelayapan gak jelas!" Tuh kan emang firasat Nara gak salah. Si kusam ini selain mulutnya pedas tampangnya juga tampongable. Nara jadi kepengen nabok. "Aku tuh gak kelayapan ya." "Terus kenapa jam segini lo masih di mari?" "Mau cari buku UN tapi tokonya tutup." Singkat, jelas, padat. Firza dan Nui yang sedari tadi menonton aksi tak akur keduanya hanya berdehem. "Yaudah naik yuk Kak udah gerimis loh takutnya ntar deras lagi. Lagian rumah kita kan searah." "Buset, iya searah sama kamu tapi ga sama si kusam kan," ilfil batin Nara. "Hmm tapi-" "Gak papa Ra, Reza fine-fine aja kok. Udah malem juga tar lo dicariin orang rumah," potong Firza. Oh jadi nama si kusam ini Reza toh. Iya si kusam fine Naranya yang failed. Tapi, yaudahlah ya itung-itung doanya didengar. Pas banget sitkonnya mendukung sekali. Nara pun mengangguk samar. "Gue gak makan orang!" Reza mulai lagi, disaat kaki Nara akan melangkah ia hentikan sejenak. Menatap si kusam ragu. Keduanya saling pandang. Pandangan keduanya berbeda, memancarkan hal yang Firza dan Nui tak ketahui maknanya. "Jadi naik gak nih?" lanjut Reza setelah memutus kontak mata dengan Nara dan memakai helmnya kembali. "Iya." Gadis berseragam SMA itu naik ke jok belakang motor Reza. Hal pertama yang didapatinya setelah duduk yaitu harum. Meskipun kusam tapi bau badannya gak sesuai ekspektasi Nara. "Siap?" "Iya." Nara pegang sejumput jaket boomber Reza dikedua pundak kanan dan kirinya. "Pegangan yang bener gue kalo naik motor gak nyantai," semprot Reza kemudian menggas tunggangan roda duanya. Spontan Nara terlonjat kaget, hampir saja ia terpelanting ke belakang. Untungnya ia sempat merangkap pinggang Reza cukup erat jadi selamat. "Nah gitu, jangan dilepas sebelum sampe. Lo gak pake helm kalo jatoh ntar nyusahin gue." Demi kulit si kusam yang semakin kusam Nara kesal maksimal, titik. "Modus bangke." "Ha? apa Kak?" Nui dekatkan telinganya pada sisi kepala Firza yang sedang mengemudi. "Kamu cantik," jawab Firza. "Iya dong, emang Kakak. Jelek!" Nui itu mau mengumpati Firza seburuk apa pun tetap tidak mempan. Di mata Firza adiknya itu sangat menggemaskan. Maka hanya kekehan yang Firza keluarkan. Mereka pulang dengan keadaan langit cukup gelap di bawah gerimis rintik-rintik. *** "Ya ampun Anna, kok baru pulang sekarang? Mama khawatir, Sayang." Baru turun dan masih di depan pagar bahkan belum bernafas dengan benar. Pintu rumahnya pun masih jauh tapi mamanya sudah stay di tempat strategis. Nara meringis sebentar. Firza-Reza-Nui mengucap salam seadanya karena rentetan kalimat ibu dari gadis yang menurut Reza aneh itu lebih panjang dari sinopsis novelnya Nui. Reza merinding jadinya. "Mampir ke toko buku dulu Ma." "Kenapa gak izin sama Mama?" "Hp Anna mati," jawabnya sembari nyengir. "Bandel sih, udah Mama bilang anter-jemput aja kamu ngeyel. Pak Halim kan nganggur sayang jadinya, kalo siang. Makan gaji buta dong dia." "Gak papa terusin aja Non biar saya santaian dikit, makasih ya Non Anna," sambar Pak Halim ngelunyur ke arah gazebo dengan sepiring pisang goreng dan segelas kopi di tangan kanan dan kirinya. "Dasar supir gemblung," ucap Mama Nara sambil geleng kepala. Nara tersenyum saja, sebelah jempolnya ia angkat untuk Pak Halim. Agaknya ia bangga dan sejujurnya juga berada di pihak sang supir. Pak Halim sendiri merupakan supir pribadi keluarga Nara sejak belasan tahun lalu. Sejak Nara baru masuk SD beliaulah yang menemani sampai Nara beranjak dewasa sekarang ini. Sifat kekeluargaan dan rendah hati keluarga Nara membuat Pak Halim yang amanah dan setia menjadi klop dengan keluarga Nara. Ditambah beliau juga seseorang yang jujur. "Halo tante apa kabar?" Itu Nui dengan keceriannya yang memenuhi suasana. Membuat perhatian mama Nara teralihkan pada gadis cantik di sebelah lelaki tampan berkulit cerah. Sebelumnya mama Nara lirik sekilas ada lagi lelaki tampan lainnya tapi, kulitnya agap gelap. Jadi teringat mantan masa muda. "Hai sayang, kamu Naira kan ya?" "Iya tante." "Maaf ya tante suka kelupaan sayang. Cantik banget sih kamu," ungkapnya dengan sebelah tangan mengusap lengan panjang Nui. Membuat gadis di tingkat akhir SMP itu tersipu malu. "Duh tante bisa aja. Panggil Nui aja tante, Mama Papa sama Kak Firza manggilnya juga itu, hehe." "Oke deh cantik, mana ini yang namanya Firza?" "Yang kulitnya putih Ma." Yang Nara ucapkan berkulit putih tapi, semua pandangan tertuju pada yang kulitnya hitam. Kok kesannya sadis banget ya. Reza mengkerut di tempat tiba-tiba jadi insinyur eh insecure. "Ga salah nih, kata Mbak Yuna anak lajangnya jelek maksimal lah ini kok handsome-nya nauzubillah." Firza mengucap syukur Alhamdulillah dalam hati. Suatu kebanggaan tersendiri baginya disebut tampan sama ibu-ibu. Firza memang pecinta wanita tapi, bukan pengejar tante-tante. Cuma, ia merasa derajatnya agak tinggian kalo yang muji itu orang tua. Kesannya kayak dia tuh awesome banget. Dasar Firza. Anak sulung berojolan Yuna itu tersenyum ragu dan mengucap terima kasih secara tulus. Tak lupa mama Nara mengucapkan terima kasih kembali pada Reza dan kawan-kawan karena sudah mengantar anaknya pulang dengan selamat. "Mereka manggil kamu Nara ya, Sayang?" "Iya Ma." "Kakaknya Nui ganteng ya, kamu sama dia aja deh atau sama temennya yang kecokelatan itu juga gak papa. Mama setuju ganteng-ganteng semua tuh," ucap mama Nara sembari menutup pintu pagar. Nara memutar bola mata malas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN