“Kalian sudah sampai,” ujar pria yang duduk di balik roda kemudi.
“Goed, dank je wel,” sambut Rio, sementara Nina hanya terpaku menatap bangunan yang sang pengemudi maksud.
Rideshare yang Rio dan Nina tumpangi berhenti tepat di depan sebuah grachtenpand yang fasadnya berwarna biru gelap. Mereka gegas turun dari kendaraan tersebut, menunggu sang supir melaju kembali, lalu sama-sama tertegun menatap rumah tinggal khas Belanda yang akan mereka tempati.
Rio mengulurkan tangan, merangkul Nina. Sang adik menoleh menatapnya, meneteskan air mata.
“We’ll be alright,” bisik Rio. Nina mengangguk, lalu menghapus kesedihannya, memaksakan kedua sudut bibirnya terangkat naik.
Tak berselang lama, seorang perempuan – yang usianya mungkin sekitar empat puluh tahunan – mendekati mereka. Perempuan itu tersenyum ramah, lalu mengangguk.
“Apakah kalian De heer dan Mevrouw Abinawa?”
“Ya, benar sekali.”
“Aku Paulien. Aku yang merawat rumah Dhr. Pranata. Tadi kita sudah bertukar kabar.”
Rio dan Nina mengangguk kompak.
“Mari Tuan, Nona,” ujar Paulien lagi. Ia melangkah lebih dulu, membukakan pintu untuk keduanya.
Begitu melangkah ke dalam, Rio dan Nina sama-sama tertegun. Rumah itu begitu rapih dan bersih. Tak banyak barang di dalamnya, namun setiap perabotan nampak match satu sama lain.
“Dhr. Pranata memintaku untuk mengisi kulkas dan menyiapkan kebutuhan kalian setidaknya untuk beberapa hari ke depan. Aku sudah melakukannya. Apa kalian mau memeriksa lebih dulu?”
Rio mengangguk. Ia melangkah ke area dapur, membuka kulkas, juga lemari dinding.
“Apakah cukup Tuan?” tanya Paulien lagi.
“Lebih dari cukup kurasa. Terima kasih banyak.”
Paulien mengangguk sopan. “Apa ada lagi yang kalian perlukan?”
“Kurasa sementara tidak. Tapi, jika nanti ada yang kubutuhkan dan aku tidak tau bagaimana atau di mana mendapatkannya, aku akan menghubungimu. Apakah boleh?”
“Tentu Tuan.”
Rio tersenyum hangat. Paulien pun segera undur diri setelah memberi sedikit penjelasan mengenai apa saja yang ada di rumah tersebut.
“Dek?” tegur Rio kala mendapati Nina tengah melamun seraya menatap kanal di bawah sana. Nina berdiri di balik jendela kamar di lantai dua.
Rumah yang mereka tempati berada di Jordaan, Amsterdam. Rio menyewanya dari Dirga – seorang teman yang lebih senior di bidang arsitektur. Tak hanya sekedar teman, jika perusahan Dirga tengah overload dengan banyak permintaan desain, Dirga dan team-nya kerap meminta bantuan Rio. Beruntung, saat Rio kebingungan mencari tempat tinggal di kota tujuannya ini, Dirga ternyata memiliki properti yang biasanya ia sewakan di beberapa kawasan tempat tinggal di Amsterdam. Dan Jordaan menjadi pilihan Rio karena jaraknya yang paling dekat dengan kantornya yang terletak di Zuidas.
“Ya Mas?” sahut Nina.
Rio mendekat, mendekap Nina di bahu, mengecup puncak kepala sang adik. “Suka rumahnya ngga?”
“Iya, Mas. Suka banget. Mahal ya Mas sewanya?”
“Ngga kok.”
“Masa sih?”
“Hmm. Tapi ada perjanjian.”
“Apa tuh?”
“Kalau 3D overload, gue harus stand by,” jawab Rio, merujuk ke nama perusahaan arsitektur dan desain milik Dirga.
“Ajarin Nina, Mas. Nanti Nina bantu,” ujar Nina.
“Fokus aja belajar, biar langsung lulus nanti.”
“Practice makes perfect tau, Mas. Malah bakalan lebih oke nalarnya kalau sambil praktek. Nina ngga minta digaji kok.”
Rio terkekeh renyah. Ia lalu meletakkan dagunya di atas kepala Nina. “Oke.”
“Mas Rio kamarnya mau yang mana?” tanya Nina kemudian.
Rumah itu terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama adalah living room dan dapur. Sementara lantai kedua dan ketiga adalah kamar tidur yang sepaket dengan kamar mandi.
“Lo mau yang mana?” Rio balas bertanya.
“Yang ini boleh Mas?”
“Emang udah lihat ke atas?”
“Udah, Mas. Sama aja kok. Cuma kayaknya ngga aman kalau nanti perut Nina makin besar.”
Rio mendengus. Ia kemudian meletakkan tangan kanannya di perut Nina. Berdoa sejenak dalam sunyi untuk kesehatan serta keselamatan Nina dan janin yang tengah dikandung sang adik. “Ya udah, Mas di atas. Kalau butuh apa pun, kapan pun, teriak aja. Oke?”
“Hmm,” gumam Nina. “Mas?” Panggilan itu terdengar ragu.
“Apa?”
“Reina tau?”
Reina adalah sahabat Nina. Mereka bertemu di bangku SMA dan langsung akrab begitu saja. Dan tentu saja Rio pun mengenal baik gadis ‘perusuh’ itu. Persahabatan Nina dan Reina begitu lekat, bahkan dua hari sebelum Nina berangkat ke kota ini, ia masih menghabiskan waktu bersama Reina. Dan Reina adalah keponakan dari Dirga, orang yang memberikan mereka tempat tinggal di Amsterdam.
“Bang Dirga menghormati keputusan lo. Dan dia paham kenapa lo ngga kepingin ada yang tau kita pindah ke mana. So, dia janji ngga akan ngomong ke Reina,” jelas Rio. “Lo baik-baik aja?”
Nina mengubah posisinya. Tak lagi membelakangi Rio, namun berhadapan dan memeluk sang abang. Erat. “Nina ngga tau kapan Nina bakalan baik-baik aja, Mas.”
Rio mendengus lagi. Satu tangannya merengkuh kuat, sementara tangan yang lain mengusap sayang kepala Nina. Jika Rio saja berat membayangkan beban sang adik, apalagi Nina yang merasakannya langsung.
“It’s ok. I’m here. Like always. Ngga usah maksain diri untuk buru-buru oke dengan keadaan lo sekarang.”
***
Bandung, di waktu yang sama.
“Lama banget sih Ma?” ujar Ara saat Anantari – sang Ibu, akhirnya muncul di hadapannya. Raut wajah Ara jelas gelisah.
“Kenapa emangnya, Mas?” Tari balas bertanya pada putra sulungnya itu.
“Nomornya Nina ngga aktif. Dari kemarin malam, Ma.”
“Masa?”
“Papa udah bilang pergi aja ke rumah Nina, anakmu ngga mau,” sahut Jagat – ayah Ara. “Tapi di sini grasak-grusuk. Duduk aja ngga bisa diam.”
Ara berdecak. Ia lalu mengetuk tombol panggil ke nomor Nina kembali. Nihil. Hasilnya sama. Tak tersambung.
Hanya berselang detik, ponsel yang Ara genggam menyuarakan nada panggil. Nama Reina yang muncul di sana.
“Rei!”
“Bis, Nina sama lo?” cecar Reina tanpa basa-basi.
“Hah?”
“Ini gue nelponin Nina, ngga bisa-bisa. Dia sama lo?”
“Jangan bercanda lo Rei!”
“Astaghfirullah. Bercanda apaan sih gue? Serius, Bisma!”
Memang hanya sedikit orang yang memanggil Ara padanya. Hanya keluarganya, Nina dan Rio. Sementara itu, teman-teman atau kenalannya yang lain menyapa Ara dengan sepenggal dari kata pertama nama lengkapnya – Bismantara Airlangga.
Ara terdiam. Pikirannya kalut. Ada apa dengan kesayangannya?
“Gue ke rumah Nina dulu, Rei.”
“Jadi, Nina ngga sama lo?”
“Ngga. Telpon Mas Rio juga ngga aktif.”
“Iya, gue juga nge-chat itu tua bangka tapi ngga kekirim.”
“Bye, Rei.”
“Bye!”
Panggilan itu pun usai. Tanpa berkata-kata lagi Ara melangkah keluar dari kamar perawatan Jagat. Ia berlari di sepanjang koridor, meliuk-liuk menembus kepadatan pengunjung di fasilitas kesehatan tersebut, menuju pelataran parkir tempat motornya berada.
Jantung Ara berdetak cepat, tak karuan. Ada rasa sesak yang muncul setiap kali pikiran buruk terbersit. Ia tak paham apa alasannya, namun mengapa perasaannya begitu buruk?
Ara melajukan motornya. Hempasan rintik hujan yang bak cambuk di tubuhnya tak ia hiraukan. Ia harus bertemu Nina. Sepanjang hubungan kasihnya, tak pernah sekali pun Nina sulit dihubungi. Meski mereka tengah bertengkar sekalipun, Nina pantang mematikan ponselnya.
Setengah jam melaju, Ara tiba di depan sebuah rumah sederhana yang dihuni Nina dan Rio. Ia turun dari motornya, mengulurkan tangan melewati celah pagar, hendak membuka kunci selot. Namun, yang ia dapati justru pagar itu terkunci.
Dan sebuah spanduk bertuliskan DIJUAL terbentang di pagar rumah itu.
Ara membentur-benturkan kepala gembok ke pagar, membuat suara beradu antara dua logam terdengar amat bising.
“NINA! MAS RIO! KARENINA NADA PUSPITA! ASSALAMMU’ALAIKUM! NINA! MAS RIO!”
Pekikan yang kurang lebih sama, ditambah suara gaduh yang Ara ciptakan, tentu saja membuat tetangga sekitar terganggu. Ada yang menyibak tirai, mengintip siapa yang melakukan keributan. Ada juga yang membuka pintu atau jendela rumahnya namun hanya berdiam diri. Hingga seorang perempuan yang tinggal tepat di samping kanan rumah Nina akhirnya menanyainya. “Kamu?”
“Saya Bisma, Tante,” ujar Ara.
“Iya. Pacarnya Nada kan?”
“Iya, Tante. Nada dan Mas Rio ngga ada di rumah ya Tan?”
“Lho, emangnya ngga tau?”
“Soal apa Tante?”
“Nada dan Rio cuma bilang mau liburan ke saya. Tapi, tadi pagi ada orang yang masang spanduk itu. Saya tanya, katanya rumah ini sudah dijual.”
Ara sontak membeku. Jantungnya seolah terlepas dari raganya. Apa pun yang dikatakan perempuan di hadapannya tak lagi terdengar. Mungkin karena derasnya hujan, atau mungkin … karena hati kecilnya mengatakan jika ciuman terakhir yang Nina berikan pagi kemarin, adalah tanda perpisahan yang tak Ara sadari sama sekali.
Ara terduduk lesu, rasa sesak menyerangnya tanpa permisi. ‘Nina … kenapa?’