PROLOG

1082 Kata
“Kamu hamil?” Geram! Kedua tangan Rio mengepal erat. Buku-buku jemarinya sampai nampak memutih. Kedua matanya tajam dan lekat menatap Nina. Sungguh, Rio tengah menahan diri agar tak sampai melayangkan tamparan. “I-iya … Mas.” “ANAK SIAPA?” Nina sampai tersentak. Namun ia tetap tak berani menantang tatapan iris yang tengah berapi itu. “Ara,” tangis Nina. “Gila kamu, Nina! Ya Allah ….” Nina bersimpuh di hadapan Rio. Kedua telapak tangannya menyatu. Netranya bak sungai yang tak berhenti mengaliri air mata. “Maafin Nina, Mas,” isaknya. “Maafin Nina.” Rio menutup kedua netra. Kepalanya ia sandarkan ke sandaran sofa. Air matanya pun turut menetes. ‘Maafin Mas, Ma … Pa …. Mas gagal jagain Nina.’ Mendapati abang satu-satunya menangis sunyi membuat Nina naik ke pangkuan Rio. Sekalipun Rio akan melemparnya, tak apa. Nina pantas mendapatkan perlakuan itu. Nina mencengkeram bahu Rio, menangis di ceruk lehernya. Rio begitu menyayangi Nina. Sejak kedua orang tua mereka meninggal dalam satu kecelakaan tragis, mereka hanya hidup berdua. Rio tak pernah meninggalkan Nina. Dan Nina selalu mampu menjadi seorang adik yang Rio andalkan. Meski kini … Nina tengah tersandung. Kedua tangan Rio melingkari tubuh Nina, membuat sang adik tangisnya makin menjadi. Tak henti ia memohon maaf. Menyesali kekhilafan yang sudah diperbuatnya. “Dek … Mas ngga mungkin nikahin kalian dalam keadaan kamu hamil. Ngga begini caranya, Dek,” tangis Rio. “Kasian Mama Papa, Dek.” Nina menarik tubuhnya, memberi jarak dengan Rio tanpa turun dari pangkuan. “Iya, Mas,” ujarnya sendu. “Mas harus gimana sama kamu, Dek?” “Ayo kita pergi, Mas.” “Pergi?” “Mas … Papa Jagat juga stroke. Nina bahkan ngga bisa ngasih tau Ara kalau Nina hamil.” Rio terdiam. Ya, ayah Ara – kekasih Nina – memang baru beberapa hari yang lalu mendapat serangan stroke. Meski ringan, dokter tetap menyarankan ia beristirahat dan jauh dari berbagai hal yang memicu stress. Belum lagi, perusahan yang dibangun Jagat tengah dalam kondisi sulit dan terancam bangkrut. Betul yang Nina katakan, rasanya mustahil meminta pertanggung jawaban dalam bentuk apa pun dari keluarga itu. Terlebih, sejak kedua orang tua mereka meninggal, orang tua Ara yang paling memerhatikan Rio dan Nina. “Dek ….” “Bukannya Mas dapat tawaran kerja di Amsterdam?” “Nina ….” “Atau sudah diterima, Mas? Seingat Nina, interview-nya online kan Mas?” “Nina … hamil tanpa ayah dari anakmu bakalan berat banget, Dek. Biar bagaimana pun Ara harus tau.” “Ngga apa-apa, Mas. Daripada di sini, Nina cuma akan malu dan ngga bisa melakukan apa pun. Di Amsterdam nanti, setelah lahiran, Nina mau kuliah kalau Mas ngijinin. Gimana pun caranya Nina harus bisa berdiri di atas kaki Nina sendiri. Nina mau bantu Mas Rio, Nina mau ngasih hidup yang layak buat anak Nina. Dan Ara, ngga perlu tau. Kalaupun dia tau, ngga ada yang bisa dia lakukan. Nina ngga mau bikin Ara dan keluarganya makin hancur. Ini semua salah Nina, Mas.” Rio kelu. Ia tak tega pada sang adik. Namun, solusi yang Nina tuturkan terdengar yang terbaik untuk diambil. Terlebih, Rio pun tak lagi punya alasan untuk tetap tinggal di Bandung. *** Siang tadi. “Kamu sadar ngga sih Yo umur aku udah berapa? Umur kita!” ujar Puri, perempuan yang sudah lima tahun terakhir menjadi kekasihnya. “Umur aku tahun ini udah 25, Yo. Umur kamu 27! Kamu mau nyuruh aku nunggu berapa lama lagi?” “Puri … aku paham.” “Apa yang kamu paham?” “Puri ….” “Kamu tuh cuma mikirin Nina! Aku nomor kesekian buat kamu. Apa-apa Nina, selalu Nina. Sekarang aku tanya sama kamu, apa kamu udah mulai nabung untuk menikahi aku?” “Udah, Puri ….” “Berapa? Udah berapa Yo?” Rio tak sanggup menjawab. “Lima puluh juta ada?” Rio menunduk, dalam. “Ngga ada kan? Padahal tahun lalu kamu janji bakalan nabung dan nikahin aku.” “Kita bisa nikah secara sederhana kan Sayang?” Puri mendengus keras. Sungguh ia tak tau lagi bagaimana cara memperjuangkan hubungan mereka. Puri sangat mencintai Rio. Masalahnya, keluarganya yang tak bisa melepas Puri dengan cara ‘sederhana’. Menjalin cinta selama lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Ada banyak suka dan duka yang sudah dilalui. Harapan untuk hidup bersama sungguh sudah tertanam di hati mereka. “Rio ….” “Hmm?” “Aku … ngga bisa.” Rio terdiam. Keningnya mengerut dalam. “Ngga bisa apa? Puri?” Puri gelisah. Tangannya dingin. Bernapas pun terasa sulit. “Puri? Sayang?” panggil Rio lagi, suaranya terdengar bergetar dan … parau. “Rio ….” “Ngga, Sayang!” tegas Rio. Ia meraih kedua tangan gadisnya, menggenggam erat. “Aku … aku pinjam ke Bank. Oke? Kita nikah. Ayo kita kita nikah, Puri.” “Kamu mau ngutang berapa banyak lagi, Yo?” “Semua hutangku selesai tahun depan, Sayang. Aku baru nabung beberapa bulan terakhir karena baru mulai lowong.” “Tapi kamu nabung buat nguliahin Nina! Bukan buat aku!” “Aku pinjam, aku pinjam ke Bank. Oke?” “Ngga. Aku udah ngga sanggup, Yo. Aku capek.” “Puri ….” Air mata pun menetes dari sudut mata Rio. Tak lagi mampu ia tahan. Puri menarik tangannya dari genggaman Rio, meraih tasnya, mengambil sebuah amplop berwarna emas dari dalam sana. Lalu … ia sodorkan ke hadapan Rio. “Puri?” “Maafin aku, Yo. Tapi, seperti apa pun kita berjuang, kita ngga mungkin akan berhasil. Aku … memutuskan untuk menerima perjodohan itu.” “Puri ….” “Tadinya, aku harap masih ada celah untuk kita bersama. Kamu bisa meyakinkanku untuk lari dari pernikahan yang diatur itu nanti. Tapi, dari jawaban kamu barusan, kita ngga punya harapan sama sekali.” Meski sakit, Rio tetap membaca rangkaian huruf yang tertulis di amplop tersebut. Adalah nama Puri, calon suaminya, juga tanggal pernikahan yang akan diselenggarakan dua minggu lagi. “Hubungan kita, berakhir di sini,” lirih Puri. *** Sepuluh hari kemudian. “Ladies and gentlemen, this is your captain speaking. On behalf of the entire flight crew, I would like to welcome you aboard Garuda Indonesia Flight XYZ789 bound for Amsterdam. Our estimated flight time to Amsterdam Schiphol Airport is approximately 14 hours and 20 minutes.” Nina menyandarkan kepalanya di bahu Rio. Kedua matanya menatap kosong. Rio mengulurkan tangannya, menggenggam satu tangan Nina sementara tangannya yang lain mengelus lembut pipi dan kepala sang adik. Keduanya … sama-sama meneteskan air mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN