08: YANG SELALU TERBAYANG

1398 Kata
Nina terpaksa tak menggubris. Bukan tak ingin, namun ia takut menarik perhatian di hari pertama masa putih abu-abunya. Ia lalu melengos, kini titik pandangnya lekat ke papan tulis, ke tulisan tangan wali kelas mereka. Sementara Ara terdiam, agak bersedih hati karena mengira Nina melupakannya. Kedua orang tua mereka berkawan dekat. Para ibu yang memulainya. Mereka bekerja di kantor yang sama. Di usia Ara yang kelima, Anantari dan Jagat mengundang keluarga Abinawa untuk turut dalam perayaan sederhana itu. Sayangnya, mereka tak bisa datang tepat waktu berhubung ada urusan lain yang harus didahulukan. Saat tamu yang lain sudah kembali ke rencana masing-masing, keempatnya justru baru mendatangi kediaman Airlangga. Di saat itulah perkenalan Ara dan Nina terjadi. Setahun kemudian, pengajuan beasiswa Jagat dikabulkan pihak kampus. Adalah Czech Technical University, sebuah universitas ternama dan terbaik untuk ilmu komputer dan teknologi di Praha, Republik Ceko. Jagat memboyong keluarganya, menuntut ilmu dan mengadu nasib jauh dari tanah kelahiran. Saat usia Ara akan menginjak lima belas tahun, mereka baru kembali ke Kota Bandung. Kamu ngga ingat aku? Begitu tulisan yang terbaca dari oretan di atas selembar kertas yang Ara sodorkan ke meja Nina. Senyum simpul otomatis terpatri di wajah sang gadis. ‘Aku kerjain seru nih kayaknya.’ Emang kita kapan ketemunya? Demikian Nina membalas. Ara mendengus keras, bahkan Elida – sang wali kelas – sontak menoleh. “Ada apa Bisma?” ‘Langsung dikenal gara-gara telat!’ batin Ara. “Ngga apa-apa, Bu,” jawabnya kemudian. Bukannya lanjut menjawab pertanyaan Nina, Ara justru meremukkan kertas itu dengan raut kesal. Ia paham, dari umur enam ke lima belas memang terjeda sembilan tahun. Tapi Ara saja ingat dengan Nina. Masa Nina tidak mengingatnya? Hingga waktu sekolah usai, Nina tak sekali pun memulai pembicaraan dengan Ara. Ara yang keburu kesal pun enggan mengajak Nina berbincang lebih dulu. Yang ada, ia terus saja menatap Nina tanpa peduli jika jantung Nina jadi kebat-kebit karena hal itu. Sepulang sekolah pun Ara mengikuti Nina. Ia menjaga jarak, namun tak berarti sembunyi-sembunyi. Sementara Nina, bersikap biasa saja, seolah tak terganggu. Selepas magrib, barulah Nina meminta Rio mengantarnya ke kediaman Airlangga, hanya menurunkan Nina karena malam itu masih ada pekerjaan yang harus Rio rampungkan. Nina menekan bel utama, kemudian menunggu seseorang membukakan pagar untuknya. Anantari yang menyambutnya. Nina sontak meletakkan telunjuk di bibirnya, isyarat agar Ibu Ara itu tak mengatakan kedatangannya. Begitu seloyang sponge cake berpindah dari tangan Nina ke Anantari dan Nina sudah selesai menyapa Jagat juga kedua adik Ara dengan berbisik-bisik, barulah ratu rumah itu memanggil sang sulung untuk menemui tamu mereka yang tengah menunggu. “Tamu siapa Ma?” tanya Ara dengan ogah-ogahan. “Tamu kita. Tapi kepingin ketemu kamu.” “Mama aneh deh.” “Udah sana buruan, nanti orangnya keburu pulang baru kamu nyesal!” Ara mengangguk, turun dari ranjang, meninggalkan kegiatannya dan melangkah menuju teras rumah mereka. “Nina?” tegur Ara saat Nina tengah memerhatikan skuter klasik berwarna merah mentereng yang terparkir dua langkah dari kursi teras yang sebelumnya Nina duduki. “Punya Ara?” Ara mengerutkan kening. Tentu saja ia merasa aneh. Bukankah di sekolah tadi Nina seolah tak mengenalnya? “Kok ngga dibawa ke sekolah?” “Aku belum ada license.” “Oh iya. Betul.” “Nina?” “Hai Ara.” “Hai Ara?” Nina malah tergelak. “Seharian aku berusaha mancing kamu ngingat aku lho!” “Kan biar Ara ngga geer.” “Geer?” “Mmm … kinda pongah, sombong, bangga diri, you name it!” “Nice!” Nina tergelak lagi. “Jadi, kamu ingat aku ngga?” tanya Ara lagi. “Penting banget ya aku harus ingat atau ngga. Yang penting kan kita ketemu lagi.” “Jadi, cuma segitu artinya aku buat kamu?” “Gimana?” “Hmm. Cuma aku yang ingat kamu. Kamu mah ngga.” Nina tak menjawab. Dia kan perempuan, gengsi dong jika ia pun harus mengaku bahwa ia juga mengingat Ara. Jangankan itu, Nina bahkan diam-diam mengikuti akun sosial media Ara lho. Tak mungkin Nina lupa kan? “Ara ngga bawa oleh-oleh buat Nina?” Ara mendengus. Emosinya mulai terpancing. Kesal saja rasanya saat Nina tak menanggapi omongannya dan malah mengalihkan ke hal yang lain. “Bawa,” jawab Ara, ogah-ogahan. “Ara malas ya ngomong sama Nina? Kok gesture-nya gitu?” Ara mendengus lagi, kali kedua. “Mmm … ngga mau kasih ke Nina oleh-olehnya?” Ketiga kali, dan hempasan napas itu semakin keras terdengar. “Ya udah kalau ngga niat ngasih ke Nina. Nina pamit ya Ara, udah malam juga. Lagian pun, misalnya kita ternyata ngga satu sekolah, ngga satu kelas, ngga satu meja, belum tentu juga Ara bakal nyamperin Nina kayak Nina nyamperin Ara sekarang.” Nina memundurkan langkah, berputar hadap, siap melangkah mendekati alas kakinya. Namun derap belumlah sempat terwujud, kedua tangan Ara mendekap bahu Nina lebih dulu. “Nina?” Nina tak menjawab, detak jantungnya berpacu cepat. Ia bahkan khawatir Ara bisa mendengar degup itu. “Nina? Ara jangan didiamin terus kenapa ….” “Ara,” lirih Nina akhirnya. “Nina?” “Hmm?” “Kita belum cerai lho.” “Cerai?” “Iya, kita belum cerai.” Nina memiringkan kepalanya, sedikit menoleh ke belakang agar bisa menatap Ara. Keningnya mengerut, membuat Ara mengulurkan tangan mengusap lipatan-lipatan itu. “Nanti ngalamin penuaan dini baru mewek,” ujar Ara. “Maksudnya apa? Kok belum cerai?” “Nina ibunya, Ara ayahnya. Barbie anaknya. Dan kita belum cerai!” Nina sontak tergelak renyah dengan bahu Ara yang menyanggah kepalanya. Paras itu begitu ayu, lembut dan cantik. Ditambah tawa nan terdengar bak nyanyian merdu sang dewi … di saat itulah Ara sadar, jika ia begitu menginkan perempuan yang masih dalam rengkuhannya tersebut. Meski masa berlalu, jarak terbentang, lingkungan berganti … kala pemilik tatapan ini kembali hadir, Ara tak kuasa menghentikan cintanya. “I miss you, Nina.” *** ‘I miss you, Nina.’ “Woy! Bengong aja lo!” tegur Bimo, sang ketua kelas XII IPA 1 angkatan mereka. “Ngelamunin masa lalu lo ya?” Ara diam saja, ia bergeming di posisinya, di tempat duduknya dulu. Reuni tahun ketiga khusus kelas tersebut. Tahun itu sepakat diadakan di SMA tempat mereka menuntut ilmu. Berhubung bertepatan dengan hari Minggu, tentu saja sekolah sepi dari hilir mudik para akademisi. Ara memisahkan diri saat teman-temannya yang lain masih saling menunggu di halaman muka sekolah, ia naik ke lantai dua tempat kelasnya dulu berada. Kelas satu, bukan kelas tiga. “Bis?” tegur Bimo lagi. Ara hanya menaikturunkan alisnya. “Lo ngga pernah dengar kabar Nada?” “Reuni ini, Nina ngga confirm datang?” balas Ara, siapa tau Bimo mendengar kabar cintanya bukan? “Lo aja ngga tau dia di mana, apalagi gue, Bis.” “Hmm.” “Reina gue tanya juga ngga tau ya?” “Iya.” “Terus, gue dengar-dengar lo mau pindah ke Jakarta?” “Hmm. Mama Papa dan adik-adik sih. Kalau gue mah ngga ke mana-mana. Pindah tempat tinggal doang, nyari kosan.” “Berarti, udah dua tahun ya Nina ngilang?” tanya Bimo lagi. “Dan ngga ada yang pernah dengar kabar dia sama sekali?” “Hmm,” gumam Ara seraya mengangguk. “Kayaknya emang Nina ngga mau ditemuin.” “Kalau Mas Rio? Lo dengar kabarnya?” “Ngga. Bahkan omnya Reina – yang biasa pakai jasa drawing-nya Mas Rio – juga ngga tau. Katanya sih waktu itu pamit mau liburan dulu. Tapi liburannya jadi keterusan kayaknya.” “Lo dan Reina percaya?” Ara bungkam. Pertanyaan Bimo barusan seolah mengetuk hatinya. Sepertinya memang ada orang-orang yang mengetahui keberadaan keduanya, namun memilih tak bersuara. “Gue rasa, Nada dan Mas Rio punya masalah keluarga, Bis. Mereka memilih pergi karena mungkin ngga ada pilihan lain.” Tak lagi menantang tatapan Bimo, kini pandangan Ara nampak kosong. Jika memang demikian, apakah Ara tak berarti untuk Nina seperti Nina yang sungguh berarti untuknya? “Kamu tuh menyebabkan bahaya banget tau ngga sih, Nin?” “Aku?” “Iya.” “Kenapa?” “Kamu bikin aku selalu jujur sama kamu!” “Dan itu bahaya?” “Hmm.” “Karena?” “Aku bakalan oleng banget kalau jauh dari kamu.” Tepukan di bahu Ara membuatnya tersadar kembali dari bayangan masa lalu. Tatapan itu tak lagi kosong, balik terfokus pada Bimo. “Lo harus move on, bro. Let her go. Lo juga harus ngelanjutin hidup lo, Bis!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN