“Lo lagi ngasih tau gue … in case gue suka sama lo, supaya gue ngga nerusin perasaan itu dengan ngajak lo nge-date?” tanya Eri. Raut wajahnya sama sekali tak menampakkan keterkejutan akan pernyataan Nina barusan.
“Iya.”
Pesanan mereka pun tiba. Nina berdiri dari duduknya, mendekati Eri, mengambil Gala dari dekapan pria itu. Putranya pulas tertidur, mungkin lelah karena terlalu lama menangis tadi.
“Makan dulu aja, Nad. Kita bisa gantian gendong.”
“Ngga efektif, Bang. Tenang, gue udah ahli kok nyambi-nyambi. Gendong Gala sambil makan, belajar, bersihin rumah, kadang sambil masak.”
“Multitasking?”
“Iya. Kalau ngga gitu waktu 24 jam sehari bakalan kurang.”
Eri terkekeh. Ia mengangguk paham. Nina mulai mengaduk nasinya yang sudah dikucuri sayur lodeh. Sementara Eri mengambil sesendok sambal goreng daging lalu meletakkannya di piring Nina.
“Bang Eri, makan!”
“Hmm. Ini gue mau makan kok,” respon Eri. “Udah ada kabar dari Rio?”
“Iya. Tadi Mas Rio chat dari kereta. Otewe katanya.”
“Kereta terakhir?”
“Iya.”
Eri terus mencuri pandang pada Nina. Sedangkan Nina tetap saja fokus dengan makan malamnya yang keburu larut itu, juga sibuk menatap Gala seraya tersenyum. Melihat sikap Nina yang begitu lembut sebagai seorang Ibu, entah mengapa justru membuat Eri terenyuh.
Awalnya, hingga sebelum Eri tau jika Nina sudah memiliki seorang putra, perasaan Eri mungkin masih sebatas penasaran. Toh selama di kampus pun, jika mereka berpapasan, Nina cenderung menghindar atau pura-pura tidak mengenalnya. Tapi, sejak sore tadi saat Eri mendapati Nina menjemput Gala, ia merasakan hal yang berbeda. Ia sangat menyukai sikap dan pembawaan Nina.
Dan mendengar Nina enggan memasukkan bab romansa lagi dalam hidup, sejujurnya membuat hati Eri berdenyut nyeri. Namun, Nina tak boleh tau itu bukan?
“Oke. Gue rasa gue bisa mahamin lo,” gumam Eri setelah menimbang-nimbang bagaimana ia harus bersikap.
Tak terduga, Eri pun tak paham apa alasannya, Nina justru tersenyum hangat. ‘Cantik!’
“Mahamin gue?” tanya Nina kemudian.
“Nada, lo mau dengar cerita tentang gue?”
“Boleh.”
Eri gegas menghabiskan makan malamnya lebih dulu. Nina mencengo, rasanya hidangan itu belum lama tiba, dan Eri sudah selesai?
“Mau pesan lagi?” tanya Nina.
“Pesan apa?” balas Eri.
“Nasi?”
“Lo mau nasi lagi?”
“Ngga. Maksud gue, Bang Eri nasinya kurang?”
“Oh, ngga Nad. Cukup. Santai aja.”
“Udah mau tutup ya kafenya makanya lo makan buru-buru?”
“Ngga, Nad. Emang gue makan ngga pernah lama,” jelas Eri. “Sini, Gala sama gue lagi.”
“Ngga usah, Bang. Nanti keseringan dioper, Gala malah bangun.”
Eri tak bersikeras. Ia mengangguk paham.
“Jadi, lo mau cerita apa?” tanya Nina kemudian.
“Gue itu, anak orang kaya, Nad.”
Nina mengangguk. Tak merasa aneh karena memang pembawaan Eri sudah cukup menjelaskan status sosialnya.
“Gue anak kedua dari lima bersaudara. Abang gue sibuk di perusahaan Bokap. Adik gue yang persis di bawah gue juga sama. Yang nomor empat kuliah di Swiss. Yang bontot masih SMA. Dan gue adalah si yang paling ngga mau diatur.”
Nina mengangguk kembali.
“Lo ngga ada keinginan nyeramahin gue, Nad?” tanya Eri, usil.
“Emang lo minta diceramahin?” balas Nina.
“Ngga sih.”
“Ya udah. Lagian gue ngga pantes nyeramahin lo, Bang. Hidup gue aja ngga lurus.”
“Ngga ada orang yang hidupnya lurus dan mulus, Nad.”
“Hmm. Terus?”
“Gue SMA di Sydney. S1 di Columbia University. Abis itu jalan-jalan ngalor-ngidul. Terus … capek berpetualang, di sinilah gue sekarang.”
“Abis dari sini, lulus, lo mau ke mana?”
“Stay di sini,” jawab Eri. Teramat yakin.
“Hah?”
“I’m in love with this city,” jelas Eri kemudian.
“Kenapa?”
“Entahlah. Apa butuh alasan untuk jatuh cinta?”
Nina tergelak singkat. Ia pun menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Eri.
“Lulus S1, setahun setelahnya, gue sempat pulang, Nad. Tapi … gue ngga betah di rumah. So, kerjaan gue ngelayab terus. Kalau pulang, kena omelan, abis itu gue cabut lagi. Sampai satu ketika, gue iseng aja datengin pameran pendidikan dan budaya. Ketemulah sama seorang cewek.”
“Lo jatuh cinta sama dia?” potong Nina.
“Yep! Very!”
“Terus?”
“Gue bertahan di Jakarta karena dia. Tiap hari gue ngabisin waktu sama dia. Gue bahkan udah mikir tuh Nad untuk merelakan diri jadi budaknya Bokap.”
“Dan?”
“Cewek gue ngomongin pernikahan.”
“Hah?”
“Hmm. Pernikahan. Bersatunya dua insan yang sah secara agama dan hukum. Kind like that.”
Nina malah tertawa renyah. Gelaknya menular pada Eri, membuat pemuda itu ikut terkekeh.
“Gue paham, Bang. Hah yang gue maksud adalah kenapa kayaknya lo alergi dengan kata pernikahan?”
“Because … pernikahan yang gue kenal tuh cuma sandiwara doang, Nada.”
Nada paham. Yang Eri maksud pastilah kedua orang tuanya yang hanya harmonis di depan publik, namun tidak dalam kehidupan nyata bab rumah tangga.
“Terus? Lo insecure?”
Eri jujur, mengangguk sebagai jawaban dari tuduhan Nina.
“And then?” tanya Nina kemudian.
“Gue pergi,” jawab Eri.
“Pergi?”
“Hmm. Kabur. Flight ke Praha.”
“Nice!” sarkas Nina.
“Yep. And you know what?”
“Lo b******k, Bang! Sama kayak gue!”
Eri terbahak, bahkan air mata sampai merembes dari kedua netranya. Ya, ia memang b******k, tapi ia belum tiba di penghujung cerita.
“Kalau best part …” ujar Eri seraya memberi gesture tanda kutip di kata best part, “… lo adalah hamil, melahirkan dan membesarkan Gala seorang diri … maka best part gue adalah, tiga bulan setelah kaburnya gue, cewek gue meninggal.”
Sangkin terkejutnya dengan plot twist di kisah Eri, Nina sampai menutup mulutnya yang menganga. Eri masih mematri senyumnya. Namun, beberapa saat kemudian dia bernapas dalam beberapa kali, mungkin kisah pilu itu mulai menyerang asanya lagi.
"In that moment, I said to myself that I wouldn't be bringing any more romance into my life," gumam Eri.
“Dan lo bertahan sampai saat ini?” tanya Nina kemudian.
Eri menggeleng lemah. Nina tertegun. Lalu kedua titik pandang itu saling bersirobok.
“Sore tadi, benteng yang gue bangun … runtuh, Nada.”
***
Bandung di saat yang sama.
“Pa?”
“Eh, Ra. Udah shalat subuh?”
“Udah, Pa.”
“Sini duduk,” ujar Jagat seraya mendelik ke kursi kayu di sampingnya, mempersilahkan sang putra.
Hujan turun semalaman membasahi kota dan baru berhenti total sekitar setengah jam yang lalu. Tentu saja membuat subuh itu bersuhu lebih dingin dari biasanya.
Ara menyesap kopi panasnya lalu meraih singkong rebus yang masih mengepulkan asap, melahap perlahan.
“Gimana kabarmu, Nak?” tanya Jagat.
Ara menghempaskan napas, lalu memaksakan senyum dengan bibir yang terkatup. Tanpa melihat Jagat, justru menatap pola batik di lantai teras kediamannya.
“Ara?” tegur sang ayah lagi.
“Mmm … Ara cuma berusaha bertahan, Pa,” jawab Ara jujur.
Jagat mendengus, lalu mengulurkan tangannya, menepuk lembut punggung putranya.
“Siapa tau Nina pulang. Ara harus tetap hidup kan Pa?” lanjut Ara. Suaranya terdengar bergetar.
“Kamu sudah mencari ke mana saja?” tanya Jagat kemudian. Sudah satu tahun ia bungkam, namun sang putra tak nampak kian membaik. Semakin hari tatapan Ara semakin kosong, senyumnya kian palsu, dan sikapnya kian dingin juga kelam. Ara yang dulu hangat, konyol dan ceria, seolah menghilang bersama Nina. Dan yang menyedihkan adalah, satu keluarga itu tak ada yang mampu menghibur Ara. Mungkin karena cintanya pada seorang Nina sudah tumbuh sejak mereka masih kanak-kanak.
“Ke mana-mana, Pa. Kayaknya … Nina emang ngga kepingin ada yang tau di mana dia sekarang.”
“Dan menurut kamu, itu karena apa?”
“Mungkin karena Ara b******k, Pa.”
Sontak, Jagat terhenyak.
Ara meletakkan lagi singkong yang sudah menghangat di tangannya. Appetite-nya hilang sama sekali.
“Ara?” tegur Jagat.
“Ara ….” Ara mengdengus keras. Ia sungguh ingin menyimpan dukanya sendiri. Namun, mengapa semakin hari rasanya semakin sesak? “Hubungan Ara dan Nina udah jauh, Pa,” lirihnya kemudian.
“Nina hamil?” Wajar bukan jika Jagat mengira demikian?
Ara menoleh, menatap sang ayah yang nampak linglung.
“Kalau Nina hamil, apa mungkin Nina pergi Pa? Kayaknya, logika yang paling bisa diterima jika skenario berbadan dua itu yang terjadi, Nina harusnya minta pertanggungjawaban Ara kan Pa? Dan Ara udah habis dihajar Mas Rio. Tapi ini ngga … Nina dan Mas Rio justru menghilang tanpa jejak.
“Waktu sadar Nina menghilang, Ara justru berharap Nina hamil, Pa. Dia lalu datang, ngamuk ke Ara. Dan akhirnya ngga jadi pergi. Tapi … setahun Ara tunggu, Pa. Nina ngga juga pulang.”
Kedua mata Ara mulai dialiri air mata. Napasnya tersenggal. Erangan pilu pun menerobos tanpa bisa ditahannya.
“d**a Ara sakit terus, Pa … tapi kata Dokter, Ara ngga apa-apa. Ara harus cari Nina ke mana lagi, Pa? Ara harus gimana supaya Nina tau Ara sakit?”
Jagat sontak menarik sang putra, membiarkan Ara menumpahkan tangis di bahunya.