Hallo Nona Cantik

1487 Kata
Terik mentari seakan bisa melelehkan seisi bumi. Terangnya membuat siapa pun menunduk. Tak berani menatap langsung sang surya di atas sana. Sedikit pun dedaunan tak menunjukkan gerak. Angin pembawa kesejukan benar-benar hilang. Meninggalkan dataran ini di masa musim panas. “Ugh, biasanya aku minum es cendol depan gang. Habis itu pulangnya mampir beli sayur tempak Cik Nani.” “Hmm, kangen makan nasi. Tiap hari kalau nggak roti ya daging. Kalau nggak olahan kentang. Hais! Masalahnya lidah ku Indonesia banget. Belum kenyang kalau belum makan nasi.” Bunyi ketukan pintu terdengar. Tanpa menoleh Ziya mempersilahkan siapa pun itu masuk. “Nyonya, saya membawa lemon tea dan beberapa biskuit. Terik begini biasanya Nyonya minum lemon tea,” ucap sumringah Rahel, pelayannya. “Hah, Mau judulnya lemon tea atau jengkol tea. Kalau tidak ada esnya sama aja. Badan ku tetep gerah.” “Jengkol?” gumam Rahel. Terpantau ia memikirkan secara mendalam kata asing itu. “Di sini tidak ada yang jualan es cendol ya? Ah tidak! Menemukan es balok saja sudah untung.” Rasanya pesimis, di dunia yang serba ‘zaman dulu’ ini mungkin Ziya tidak akan menemukan kecanggihan teknologi. Seperti kulkas yang bisa menghasilkan es. “Apa yang dimaksud Nyonya es balok untuk mengawetkan ikan?” Spontan Ziya menoleh. “Hm? Memang ada yang begitu?” “Ada Nyonya. Pabrik pembuatan es balok terletak di semenanjung Karapan. Itu adalah satu-satunya pabrik es balok di Negara kita.” Mata Ziya berbinar-binar. Ia menggenggam tangan Rahel erat seraya berkata, “Sumpah? Kau tidak bohong kan?” Akhirnya Ziya punya harapan. Setidaknya masalah dahaga ini terselesaikan. Kalau ada pabriknya pasti ada distribusi. Ziya hanya perlu ke pasar dan membelinya. “Aku tidak bohong Nyonya. Di sana memang ada pabrik es balok.” “Kalau begitu tunggu apa lagi! Ayo ke pasar!” sahut Ziya semangat. Yah, setidaknya harapan itu masih ada sebelum kandas oleh pernyataan begini, “Di pasar tidak ada es balok, Nyonya. Hanya ada di semenanjung Karapan. Emh… perjalanan dari sini ke sana dua hari pakai kereta. Itu pun kalau tidak ada badai di jalan.” “Du-dua hari?” “Hum! Memang untuk apa Nyonya membutuhkan es balok?” “Tentu untuk diminum!” pekik Ziya jengah. Bisa-bisanya hal seperti itu saja ditanyakan. “Eh? I-itu kan tidak layak. Es balok hanya digunakan untuk mengawetkan ikan. Itu sebabnya letaknya di dekat pesisir pantai. Sebab banyak nelayan yang membutuhkan agar ikan segar dapat terdistribusi dengan aman.” Lagi-lagi Rahel memperlihatkan pose berpikir mendalam. “Aku tidak pernah mendengar es balok jadi sajian di kalangan bangsawan. Nyonya mendengar itu dari mana?” Detik itu juga semangat Ziya menguap bersamaan dengan panasnya mentari. Hah, ternyata susah juga hidup di sini. Butuh waktu dua hari untuk Ziya membulatkan tekad. Ia harus ke pabrik es balok itu. Jika tidak, hawa panas ini akan membunuh mental dan fisiknya secara perlahan. Ayolah, tubuh ini memang milik Lilyana. Tapi jiwanya milik Ziya yang hidup hanya di dua iklim saja. Itu pun Ziya akan cosplay menjadi vampire jika musim kemarau tiba. Tidak melakukan banyak aktivitas di luar. Kecuali disuruh bimbingan oleh dosennya. Gini-gini juga Ziya masih pingin lulus tau! Yah, tapi sekarang tidak perlu repot-repot mengurusi skripsi. Ziya bebas. Tanpa melakukan apapun dirinya sudah mendapat gelar. Gelar bangsawan malah! Tapi kok agak nyesel juga ya? Ziya tidak dapat menikmati kecanggihan teknologi di era modern. Ziya yakin, kalau ada pesawat. Semenanjung Karapan apalah itu bisa diakses dalam hitungan menit. Dan Ziya tidak perlu repot-repot naik kereta kuda lelet sampai dua hari seperti ini. “Hei, Rahel. Sudah berapa lama perjalanan kita?” tanya Ziya bosan. “Emh….” Rahel membuka benda berbentuk kompas yang ternyata jam. “Belum ada dua jam perjalanan Nyonya.” “Haaah, rasa bosan ini bisa membunuh ku Rahel. Lakukan sesuatu dong. Melawak atau apapun. Ah, atau tunjukkan wajah bodoh mu.” “Wa-wajah bodoh?” Tawa Rahel canggung. Kalau bisa dikata, hubungan mereka kini sudah sangat dekat. Bagai bestie yang se-frekuensi. Tak jarang Rahel mengutarakan ketidaksukaannya. Tidak seperti dulu yang harus terus ditahan demi menjalankan etiket sebagai pelayan. “Aahaahaa… dari pada itu. Bagaimana kalau kita main poker?” Senyum canggung itu berubah jadi jahat. Menunjukkan tujuan yang sebenarnya. Ya! selama ini Rahel punya cita-cita memiliki rumah megah di ibu kota. Setelah itu ia akan berhenti jadi pelayan dan menikmati hidup melalui pesangon. Ia ingin memeras majikannya sampai kering. “Hei aura jahat mu kelihatan tuh!” ucap Ziya datar. “lagi pula aku tidak bisa poker.” Merasa pegal duduk ala bangsawan lemah lembut. Tangan Ziya diletakkan pada kepala kursi. “Uh, panas!” gumam Ziya. Gaunnya ia angkat sampai paha. Disusul kakinya mengangkang seenak jidat. Apa itu tata karma bangsawan. Ziya kan orang modern. Itu tidak berlaku untuknya. Pun juga Rahel. Awalnya ia syok dengan tingkah random majikannya sesudah sadar dari koma. Tapi semakin kesini, Rahel kalap dan tidak peduli. Mau majikannya salto di acara pesta bangsawan pun Rahel tidak terkejut. “Kalau misal di depan Nyonya Tuan Lukas. Apa Nyonya akan tetap duduk seperti itu?” tanya Rahel datar. “Oh jelas tidak….” Sudah ku duga! Batin Rahel. Bagaimana pun majikannya ini tetap bangsawan. Ia hanya akan memperlihatkan keburukan di depan pelayan saja. “Syukurlah Nyonya masih punya kewaras—“ “Akan ku buka semakin lebar! Seperti ini!” SRAK! Mata Rahel membelalak. Sumpah! Majikannya benar-benar sesuatu! Lihatlah wajah itu. Dia cengengesan menikmati keterkejutan Rahel dengan aksi membuka kaki lebar-lebar. “Uh, mata ku ternoda,” dengus Rahel. “Hihi, kata mu ingin hubungan ku dengan Lukas membaik. Kau harus tahu laki-laki itu suka dengan wanita yang membuka lebar kakinya.” “Ya, ya, ya… terserah Nyonya saja.” “Ah, ngomong-ngomong kau bisa poker?” “Hum….” “Hee, apa aku bisa percaya dengan kemampuan mu?” Rahel menghentikan aktivitas mencari perbekalan biscuit kesukaan majikannya. Tadinya ia ingin menyumpal mulut majikannya dengan biscuit. Karena hanya begitu majikannya ini bisa diam dari rengekan. “Tenang saja. Aku adalah pro,” ucap Rahel yakin seraya mengacungkan jempol. “Good! Aku butuh kemampuan mu itu nanti.” Ada satu rencana. Lebih tepatnya rencana C untuk keberlangsungan hidup Ziya. Kalau ditanya, kenapa banyak sekali? Jelaslah banyak. Ini menyangkut nyawa tau! Udah mati di dunia nyata, Ziya bertekad tidak akan mati di dunia ini. Agar lebih jelas, Ziya akan menjabarkan rencananya. Rencana A, emh…. rencana ini gampang-gampang susah. Intinya Ziya hanya perlu sp*rma Lukas untuk membuahi sel telurnya. Ziya akan menjauhi perselingkuhan dan hidup bahagia bersama buah hati mereka, Ethan. Happy end! Rencana B, jalan ini agak susah sebenarnya. Ziya akan kabur bersama Zayan. Mengkhianati Lukas dan keluarganya. Mereka akan hidup di perdesaan sebagai orang biasa. Tentang Ethan? Oh ayolah, kalau Ziya bisa merubah takdir dengan menjauhkan Ethan pada konflik. Kenapa tidak? Lagi pula, mau bapaknya Lukas atau Zayan. Ziya akan tetap menamai anaknya Ethan. Dan akan menjadi second lead yang bahagia. Rencana C. Jika Ziya putus asa dengan rencana A dan ragu menjalani rencana B. Dari situlah rencana C terwujud. Ziya akan merauk kekayaan sebanyak mungkin setelah itu menghilang dari dua pejantan yang bisanya hanya menimbulkan masalah. Kemampuan berjudi Rahel sangat dibutuhkan. Ia akan menawari modal berjudi untuk nantinya dibagi dua hasilnya. Ziya akan mengandalkan segala cara untuk mengumpulkan kekayaan. Cara apapun! Lama waktu berlalu. Ziya tak kuat menahan bosan dan akhirnya tertidur. Roda-roda kereta berjalan sesuai perintah kusir. Walau bagi mereka jalan ini terbilang halus. Bagi Ziya ini seperti track motor trail. Rahel sempat kewalahan meladeni rengekan Ziya karena mengeluh punggungnya sakit. Sampai akhirnya majikan cerewet itu tidur dan Rahel bisa tenang. “Hah, semoga dia tidak bangun selamanya,” celetuk Rahel sangking kesalnya. Baru saja Rahel menyandarkan punggungnya. Laju kereta tiba-tiba berhenti mendadak sampai membuat Rahel terpelanting ke depan. “Umh… ada apa?” kata Ziya. Pandangannya menangkap Rahel yang tersungkur dengan kepala di bawah dan kaki di atas. “Apa kau ingin menghibur ku engan aksi acrobat?” ucap Ziya enteng sambil menguap. “Wah, aku tersanjung. Tapi… aku masih ngantuk.” Sabar Rahel! Sabar! “Gawat Nyonya!” pekik suara laki-laki. “Kenapa?” sahut Rahel. Kalau ditanya kenapa yang menyahut Rahel dan bukan Ziya. Jawabannya sudah pasti. Ziya melanjutkan tidurnya seperti tidak punya dosa. “Bandit! Kita di todong bandit!” “Para pengawal sedang menghadapi mereka. Tapi sepertinya berat sebelah. Kita hanya membawa dua pengawal sedangkan banditnya ada sekitar sepuluh orang. Bagaimana ini?” ucap kusir itu ketakutan. “Tenangkan diri mu! Prioritas utama kita adalah….” “Melindungi diri sendiri!” “Ayo kabur!” ucap Rahel yakin. “Eh! Itu Nyonya tidak dibangunkan?” tunjuk kusir itu. “Biarkan saja! Keberuntungannya sangat besar. Hidup kita lebih penting!” kata Rahel menggebu-gebu sambil menarik si kusir ke arah semak-semak. Di depan sana pengawal sudah dilumpuhkan. Dua laki-laki bertubuh bongsor membuka paksa pintu kereta kuda. Bunyi kasarnya menarik kesadaran Ziya. “Umh… Rahel. Apa kita sudah sampai?” gumam Ziya yang masih di ambang sadar. “Hallo Nona cantik,” cengir bandit itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN