Pengawal Dadakan

1168 Kata
"Ethan...." gumam Ziya. Tidak ada yang bisa mendeskripsikan kesedihan Ethan. Dalam narasi The Destiny ada part di mana sudut pandang mengarah ke Ethan. Dia mengatakan tidak membutuhkan apapun selain keluarga utuh. Jikalau Ziya adalah Lilyana. Ia berjanji akan mewujudkan keinginan Ethan. Apapun yang terjadi! "Sedang apa kau?" DEG! Ziya langsung menoleh. Laki-laki dengan pakaian putih tengah berdiri membelakangi matahari. Ziya harus mengerutkan kening untuk melihat jelas sosok yang hanya terlihat siluetnya. "Ah, emh.... aku sedang bersantai," ujar Ziya seraya berdiri. Satu bulir air mata jatuh tanpa disadari. "Eh?" gumam Ziya. Ia meraba pipi. Entah sejak kapan matanya berair dan tumpah. Membahas Ethan memang tidak pernah gagal membuat Ziya sedih. "Pakai ini...." ujar laki-laki itu seraya menyerahkan sapu tangan. "Te-terimakasih." SROOOT! "Ugh! Ini melegakan. Saat menangis hidung ku selalu dipenuhi ingus. Terimakasih ya," ucap Ziya enteng seraya mengembalikan sapu tangan. Tak tahu si pemilik sapu tangan sudah memandang sungkan. Dengan berat hati ia pun menerimanya. "Oh ya Tuan, apa tempat ini tidak boleh dimasuki? Aku tidak melihat banyak orang di sini." "Tuan?" ulang laki-laki itu. "Eh! A-apa aku salah ucap? Maaf ya, ingatan ku agak kabur. Hehe. Emh...aku harus memanggil mu apa?" Baru saja akan mengucap. Laki-laki yang seharusnya dihormati ini justru dibuat bungkam. Ya, dia adalah Duke Lukas. "Ah! Pasti kau pengawal ya?" celetuk Ziya. Jangan salahkan Ziya ya. Karena dia tidak tahu apa-apa tentang cara berpakaian bangsawan. Sehingga menganggap pakaian Lukas adalah pakaian biasa. Yang dipakai Lukas saat ini adalah baju berlatih. Modelnya simple karena mengedepankan kenyamanan. Baru saja ia selesai berlatih pedang dengan prajuritnya. Design-nya memang sengaja dimiripkan dengan pengawal. Hanya bagian kerahnya saja yang diberi warna emas untuk membedakan. "Y-ya. Aku pengawal," ucap Lukas sambil memijat kening. Masalah lupa ingatan ini agak menyebalkan juga ternyata. Lukas jadi bingung menghadapinya. "Nyonyaaa! Apa kau di sini. Keluarlah Nyonya. Kau harus minum obat." Dua insan itu saling tatap sebelum Lukas bertanya, "Kau belum minum obat?" "Tck! Itu tidak penting! Dia berniat membunuh ku!" Kerut di antara alis Lukas tampak dalam. Serius menatap istrinya. "Maksud mu?" "Hah! Aku bisa mati kalau minum ramuan pahit itu setiap hari." Badan Ziya begidik. "Hiii! Kau tidak tahu betapa pahitnya itu. Bahkan Kotoran kuda lebih baik!" Buang-buang waktu saja kekhawatiran Lukas tadi. "Memang kau pernah makan kotoran kuda?" ucapnya datar. "Mana mung---" "Nyonyaaa. Oh Nyonyaa!" teriak Rahel. Kali ini suaranya cukup dekat. "Hais! Aku harus kemana ini. Hei pengawal! Bawa aku pergi!" "Umh...." Lukas tampak berpikir. "Ku mohon!" ujar Ziya. Samar garis bibirnya tertarik. Sepertinya sekali-kali menjahili Lilyana tidak buruk. Mumpung dia masih lupa ingatan. "Baiklah. Ikut aku." *** BUK! Satu tepukan keras mendarat di pundak Lukas. Ia mengaduh tertahan merasakan nyeri. "Wah, kau penyelamat ku. Terimakasih ya pengawal." "H-hum...." gumam Lukas. Menahan nyeri. Siapa yang menyangka pukulannya akan semenyakitkan ini. Padahal dia tidak pernah kerja kasar. Apa sebenarnya dia pura-pura lupa ingatan dan ingin balas dendam? Semilir angin membawa rambut Ziya ke arah mata angin menuju. Memandang danau luas di depannya. Suara yang ditimbulkan dari gesekan dedaunan ikut membuat suasana semakin syahdu. Tadi, ia sempat melewati pintu kecil tak terawat. Terus mengekor sampai akhirnya tiba di danau indah ini. Ziya melirik ke samping lalu tersenyum ramah. Yah, pengawal ini cukup berguna juga ternyata. Ia akan memberikan banyak uang saat kembali nanti. "Tempat yang bagus. Aku tidak tahu di belakang mansion ada danau sebagus ini. Apa ini termasuk wilayah Duke juga?" Lukas melirik. Apa benar yang disampingnya ini adalah Lilyana? Sifatnya benar-benar berbeda. "Ah, maaf. Hehe. A-aku tidak bermaksud sok dekat. Kau tidak perlu menjawabnya. " Hah! Satu dari banyaknya hal pahit yang Ziya terima. Lilyana itu tidak disukai! Siapa di sini yang tidak kenal dengan kesombongannya? Ziya yakin pengawal ini juga menaruh benci. "Namanya Danau Athalas. Danau ini termasuk wilayah kekuasaan Duke Lukas." Ziya mematung untuk beberapa detik. Ah, rupanya ada orang polos yang masih menanggapi basa-basi Ziya ya? Diam-diam Ziya menyeringai. Wah! Harus dimanfaatkan nih. Mumpung ada kesempatan. Ziya ingin pergi ke pasar dan menikmati kuliner ala dunia n****+. Sejak terlempar ke dunia ini. Ziya tidak pernah meninggalkan mansion. Kerjaannya hanya makan, tidur, dan ngiseng. Hiburannya hanya saat mengerjai Rahel saja. Jujur Ziya ingin melihat dunia luar. Dan inilah kesempatannya. Meminta Rahel menemani? Oh ayolah! Anak itu tidak akan beranjak satu centi walau Ziya mengancam akan gantung diri sekali pun. "Hei...." panggil Ziya. "Bisakah kau mengantar ku ke pasar?" "Kenapa kau tiba-tiba ingin ke sana?" "Yaa, ingin saja. Memang tidak boleh?" Oh ya! Ziya baru sadar. Kenapa pengawal ini bicara tidak sopan sejak tadi? Belum pernah Ziya dengar dia memanggil Nyonya. "Ngomong-ngomong. Bicara mu tidak sopan ya dari tadi? Aku akan melaporkan kelancangan mu pada Duke Lukas lho. Yah, jika kau mau mengantar. Aku akan melupakannya," ancam Ziya. Tangannya bersedekap. Biar kelihatan menakutkan. Mungkin. Tidak tahu saja dia yang dihadapannya adalah Duke Lukas. Lukas melirik sinis sebelum menarik nafas panjang kemudian berujar, "Baiklah, saya akan mengantar mu... Nyonya." BUK! "Ugh!" "Nah, begitu dong!" pekik Ziya kegirangan. Tak lupa pundak Lukas lagi-lagi menjadi objek penganiayaan tangan Ziya. Mereka menjelajahi pasar ibu kota yang terletak tidak jauh dari mansion. Acap kali Ziya bertingkah seperti orang ndeso saat melihat benda-benda antik yang diperkirakan bernilai jual tinggi jika dilelang di dunia nyata. Beberapa makanan ringan pun tak kalah membuat Ziya ngiler. Karena tidak bawa uang. Ziya meminta pengawalnya membelikan. Tibalah mereka di sebuah restoran. Ziya tertarik kemari karena perutnya mulai keroncongan. Begitu pun Lukas, menemani istrinya berkeliling pasar lebih berat dibanding latihan pedang. Ia bersyukur bisa duduk sejenak di resto ini. "Permisi. Aku pesan menu spesial dua porsi. Pancake apel. Dessert coklat. Dan.... emh--" "Tunggu! Tunggu! Nyonya yakin akan menghabiskan semuanya?" "Hum!" jawab Ziya yakin. Lukas hanya bisa melongo. Wah, tidak menyangka porsi makan istrinya sebanyak ini. Tak berhenti sampai di situ. Ziya masih melanjutkan satu persatu makanan yang ada di menu. "Ah, kenyangnya," cicit Ziya seraya menepuk perut. Lukas hampir tersedak untuk kedua kali. Yang pertama saat melihat Ziya makan dengan bar-bar tanpa etiket yang selalu dijunjungnya itu. Lalu yang ini... hah! Dia benar-benar menghabiskan semuanya dalam sekejap. "Kenapa?" sahut Ziya yang menyadari pengawalnya menatap. "Tidak. Aku hanya berpikir bagaimana cara Nyonya mencerna semua makanan itu di dalam perut Nyonya yang kecil." "Oh itu. Emh... aku juga tidak tahu. Kan manusia tidak bisa melihat kinerja lambungnya sendiri," jawab Ziya ngawur. "Oh ya! Semua ini...." Tangan Ziya bergerak dari sudut ke sudut meja. "Aku akan membayarnya saat sampai di mansion. Jadi kau tenang saja. Gaji bulanan mu aman." Kenapa Lukas jadi kesal ya?! Rasanya dia sangat miskin sampai tidak bisa mentraktir satu wanita. "Tidak per--" "Oh ya! Aku lupa menanyakan ini. Nama mu siapa?" "Luk...." ucapan Lukas terhenti. Bodoh! Hampir saja ia menyebutkan jati dirinya. "Luk?" ulang Ziya. "Lu...Luk." "Luluk?" Ziya menahan tawa. "Mph...hahaha. Nama mu unik." Rona merah pada pipi Lukas tampak samar terlihat. Ia memalingkan wajah agar wanita di depannya tidak menyadari. Tanpa diduga istrinya itu melakukan tindakan yang membuat Lukas semakin blushing. "Terimakasih ya," ucap Ziya setelah netral kembali. Ia menepuk pelan pundak Lukas. "Setelah ini tolong antarkan aku pulang dengan selamat ya, Luuuuluk," goda Ziya. "H-hum...." jawab Lukas lirih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN