28

2164 Kata
' Saat melihat aku mengurung kupu - kupuku, adikku bertanya,' Kenapa kakak melakukan ini?' Jawabanku mudah, 'Karena aku ingin memiliki segala yang aku sukai dan tak ingin membiarkannya jau dariku' - Ares Pratama . . . Copley Place Mall, 100 Huntington Ave , Boston, MA 02116, USA Mikaela memasuki tempat ini dengan beberapa bawahan Ares yang memang ditugaskan untuk menjaganya. Seperginya Ares, dia berpikir untuk berbelanja ke Mall dan membeli beberapa barang yang dia inginkan. Pria itu juga melengkapinya dengan fasilitas dan penjagaan dari bawahannya. Dan yang benar saja, Mikaela sangat menikmati waktu belanjanya karena tidak perlu diatur oleh siapapun. Dia hanya akan belanja sesuka hatinya dan mereka yang akan membawa barang- barang ke mobil. Mikaela memang suka berbelanja dan pada dasarnya boros. Biasalah, dia adalah putri kesayangan dan selalu dimanja oleh papa dan kakaknya. Dia akan mendapatkan apapun yang dia mau dari mereka. Jadi, saat Ares memberikannya uang untuk belanja dengan nilai yang sama sekali tak di batasi, jelas saja dia senang. Sialnya, dia masih mengira pria itu sebagai Willy. “Cassie?” panggil seorang wanita dan langsung menyamperin Mikaela. “Kamu… Kyle?” tanyanya kepada wanita yang ternyata adalah teman sekampusnya di Harvard dulu. “Senang bisa lihat kamu lagi! Udah berapa lama ya? Lima tahun lebih loh! Gimana sekarang? Kamu jadi menikah dengan Senior William?” tanya Kyle pada Mikaela soal kabarnya. “Aku baik Kyle dan sekarang aku sudah menikah dengan Willy. Kamu bagaimana?” jawab Mikaela sambil menanyakan balik kabarnya Kyle. “Enaknya kita ngomong di sambil duduk. Kita sambil minum di café yuk!” ajak Kyle hanya diangguki oleh hanya dibalas anggukan oleh Mikaela. Mereka pergi ke sebuah café di mall itu dan salah satu bawahan Ares menelpon Helios untuk memberikan terbaru soal Mikaela. “Tuan, saat ini nona bertemu dengan salah seorang temannya yang kemungkinan teman kuliahnya. Itu yang saya dengar dari percakapan mereka.” Dia melaporkannya tanpa sepengetahuan Mikaela. “Awasi saja dan pastikan percakapan mereka aman. Kalau sampai mereka membicarakan soal masa lalu Mikaela, langsung saja hentikan!” perintah Ares dari sana yang sedang berada di kantor pusat Perusahaannya. “Siap, Tuan!” Dia mengangguk mengerti dengan perintah tuannya. Sedari tadi, dia juga sudah memasang alat penyadap suara di dompet yang dibawa Mikaela. Apapun yang mereka bicarakan, maka akan langsung di dengar oleh Ares. Tentu saja, pria itu takkan melepaskan pengawasannya dari Mikaela begitu saja. Mikaela terlihat sedang bersenda gurau dengan temannya yang bernama Kyle itu. Mereka kelihatan seperti bernostalgia membahas beberapa masa lalu. “Jadi serius dia memberikan black card kepada kamu untuk belanja? Aku tak tahu Senior William sekaya itu?” kagum Kyle saat Mikaela menceritakan kalau Willy (palsu) memberikan uang yang banyak untuknya belanja. Biasalah, kalau sudah namanya perempuan pasti kerjanya adalah memamerkan suaminya, apalagi kalau kaya! “Ya, begitulah! Kamu baru saja bercerai ya? Aku turut bersedih mendengarnya.” Mikaela mengungkapkan rasa simpatinya karena hubungan rumah tangga pernikahan temannya yang sudah kandas itu. “Santai saja! Itu sudah biasa! Aku juga sudah tinggal dengan pacar baruku. Dia lebih menyenangkan,” ujar Kyle santai merasa perceraian adalah hal yang sangat biasa dan tak perlu dipusingkan. Memang, kebiasaan di sini kalau perceraian hanyalah hal yang biasa. “Aku kalau sampai bercerai, mungkin saja aku bisa gila.” Mikaela berpendapat sebaliknya dari Kyle. Dia masih memegang teguh standar Asia yang masih mengagungkan pernikahan dan tak menganggap remeh hubungan seperti itu. “Kamu beruntung sih, Senior William itu sangat baik. Dia pasti sangat menyayangi dan memanjakan kamu dengan sepenuh hati. Ini buktinya!” Kyle memberi pendapat soal pernikahan Mikaela yang pastinya sangat bahagia dengan suaminya yang sangat baik seperti Willy. “Begitulah. Rasanya… aku seperti sedang bermimpi. Tapi, entah kenapa belakangan ini aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Walau Willy selalu berada di sampingku dan selalu memanjakanku, rasanya seperti agak asing. Lalu, kala aku mengingat nama Willy, rasanya seperti sesak yang tak tertahankan di dadaku. Aku bodoh sekali ya?” Mikaela mengungkapkan sedikit kejujurannya soal perasaannya kepada Kyle. “Kamu mungkin yang mulai merasa tak nyaman! Jangan seperti itu, Cassie! Pernikahanmu bisa berada di ambang maut kalau kamu merasa tak nyaman dengan suamimu!” Kyle memperingatkan Mikaela. “Itu yang aku takutkan. Haissh! Aku juga bodoh merasa seperti ini!” Mikaela merutuki dirinya sendiri. ~ARES~ Indianapolis, AS Simon Property Group, Inc “…Rasanya… aku seperti sedang bermimpi. Tapi, entah kenapa belakangan ini aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Walau Willy selalu berada di sampingku dan selalu memanjakanku, rasanya seperti agak asing. Lalu, kala aku mengingat nama Willy, rasanya seperti sesak yang tak tertahankan di dadaku. Aku bodoh sekali ya?” Ares yang mendengar pengakuan langsung dari Mikaela hanya terdiam. Dia kini sedang berada jauh di Indianapolis untuk mengurusi bisnisnya. Tapi, dia tak bisa memungkiri kalau dia merasa sesak mendengar hal itu dari Mikaela. Apapun yang sudah dia lakukan seakan tak cukup untuk meyakinkan Mikaela bahwa dia adalah Willy yang dulu dia cintai. Ares tak tahu, kalau ikatan antara Mikaela dan Willy sedemikian dekatnya sehingga wanita itu tahu dan bisa merasakan siapa Willy yang dia cintai. Ares sudah berusaha meredam semua kecurigaan Mikaela kepadanya. Tapi, sepertinya semuanya masih belum cukup. “Akan sangat berbahaya jika dia terus mengulik soal Simon,” gumam Ares lalu mengirimkan pesan kepada bawahannya untuk terus mengawasi Mikaela dan tidak membahas soal pernikahannya lebih lanjut. ‘Ting-Tong!’ Suara bel pintu ruangan kerjanya langsung membuatnya mengalihkan atensinya. Dia melihat ke laptopnya yang tersambung dengan CCTV yang mengawasi langsung di depan pintu ruangannya. Ada seorang pria tua yang sudah membuat janji dengan berhari- hari yang lalu. Bisa dibilang, keamanan di kantor Ares sangat terjaga, karena Ares selalu melengkapi dirinya dengan sistem pengawasan terbaik. Ares langsung menekan tombol di remotenya untuk membukakan pintu kepada orang itu. Dia adalah Howard Blendy, seorang pengusaha terkemuka yang juga adalah partner bisnis pamannya dulu. Sekarang jadi partner bisnisnya karena terpaksa dan memang membutuhkan bantuan dari Perusahaan Property sebesar Simon Property Group. “Silakan duduk, Mr. Blendy.” Ares memberi sambutan kepada Mr. Blendy sambil duduk di kursi kebesarannya seperti biasa. “Ke mana saja kau selama ini, Ares?” tanyanya dengan nada menyelidik kepada Ares yang selama ini sangat sulit ditemui oleh rekan bisnisnya di Amerika. “Ada banyak urusan yang harus saya selesaikan, Mr. Blendy! Kau bahkan membuatku sampai meninggalkan hal penting. Untung saja, aku berbaik hati setuju untuk bertemu denganmu di sini!” balas Ares dengan nada tak suka dengan pertanyaan Mr. Blendy yang terkesan mengaturnya. Memangnya dia siapa, sampai mengurusi soal apa dan kemana saja dia selama ini. “Oh, ternyata kegilaanmu lebih penting daripada pekerjaanmu, ya? Apa yang kau urus lagi? Kau melakukan penggelapan lagi? Cih! Pantas saja, pria sepertimu tak memiliki keluarga. Kau itu egois dan semaunya sendiri. Kau bahkan tak mengerti apa arti keluarga, bahkan sampai tega melenyapkan pamanmu sendiri.” Mr. Blendy sengaja menyudutkan Ares karena tak suka pada perkataan Ares yang selalu memandang remeh orang lain. Ares tak suka mendengar soal ini! Mr. Blendy bersikap seperti petugas investigasi kepolisian yang sedang mengungkapkan semua kejahatan bisnisnya. Apalagi, dia membahas soal keluarga dan pamannya. Pria tua bangka di depannya sama sekali tak tahu apapun, tetapi menyalahkan dirinya. “Wah! Semakin tua, ucapanmu semakin tak terkontrol ya? Kau masih hidup sekarang karena kebaikan hatiku, lho! Jangan memancingku, Howard Blendy!” Ares sudah di batas kesabarannya. Dia bukan orang yang sabar walau terlihat tenang. Mr. Blendy tahu soal ini dan memang sengaja memancing kemarahan Ares. “Kau juga, Ares! Semakin tua, kau semakin tak sabaran. Kau tak pantas memiliki keluarga dengan sikapmu yang seperti itu. Mungkin saja, kalau kau punya istri, maka dia akan lari darimu. Dan anakmu takkan pernah menganggap orang gila sepertimu sebagai ayahnya.” Perkataan Mr . Blendy semakin berani untuk memojokkan Ares. Mereka memang rekanan bisnis karena agak terpaksa sebenarnya. Mr. Blendy ingin mencari celah supaya Ares bisa lengser dari posisinya di Perusahaan ini. Dia tak sudi terus bekerja sama dengan orang yang sudah membunuh temannya, Harold Simon. Dia memang tak punya bukti, tetapi dia yakin tersangkanya hanyalah Ares Pratama. “CUKUP! Pembicaraanmu sama sekali tak ada hubungannya dengan bisnisku, sialan!” Ares sudah benar- benar marah dan kilatan emosi tergambar jelas di matanya. “Santailah, Ares! Aku hanya memberi pencerahan sedikit untukmu. Lihat semua ini! Kau punya kekayaan, tetapi kemana semua ini? Sia- sia saja kau mengumpulkan semuanya,” ejeknya lagi. Dia tahu, kalau Ares tak pernah terpikir untuk memiliki pasangan apalagi keturunan. Dia memang suka melihat pebisnis muda dan handal itu emosi di depan matanya. Dia seakan sedikit membalas dendam kematian Harold. “Siapa bilang? Aku akan memiliki keluargaku, sialan! Semua yang aku punya ini akan menjadi milik anakku nanti! Jangan khawatir soal itu, tapi… terima kasih atas perhatianmu padaku, Howard Blendy!” Ares membalas ucapan Mr. Blendy dengan lebih tenang. Dia kini menyeringai ke arah Mr. Blendy seakan memastikan kata- katanya bahwa dia tak seperti yang dipikirkan oleh pria tua itu. “Kurasa, perempuan yang mau denganmu adalah seorang masochist. Dia mungkin gila sepertimu,” remeh Mr. Blendy masih tak mau kalah. “Mau siapa yang bersamaku, kurasa hal itu sama sekali tak penting buatmu. Lebih baik, kau jelaskan bagaimana bisnis kita. Cukup basa- basi yang tak penting ini.” Ares memilih mengakhiri percakapan yang sama sekali membuatnya tak senang. Mr Blendy akhirnya berhenti juga sambil memberikan sebuah map yang menjelaskan soal bisnis mereka di Manhattan. Ares memeriksa dokumen itu dan tersenyum miring dengan hasil yang lagi- lagi sangat memuaskan buatnya. Walau dia tak mengurusnya langsung, semuanya tetap beres karena Ares mempunyai bawahan yang bisa diandakan dan dipercaya sepenuhnya. Keuntungan terus mengalir kepadanya tanpa henti. “Aku sudah tanda tangani dan ambillah bagianmu, Mr, Blendy. Kalau kau ingin bekerja sama denganku lagi, kuharap kau bisa menjahit dulu mulutmu itu!” Ares menyerahkan map dengan dokumen yang sudah dia tanda tangani. Mr. Blendy hanya tersenyum remeh kepada Ares lalu berlalu begitu saja dari ruangan Ares tanpa mengucapkan pamit sedikit pun. “Dasar pria tua tak tahu sopan santun!” gumam Ares melihat Howard Blendy pergi begitu saja. Tapi, dia sama sekali tak ambil pusing dan tak peduli juga sebenarnya. Yang dia pedulikan hanyalah keuntungan jika pria tua itu bekerja sama dengannya. Lain dari itu, biarkan saja. “Aku jadi ingin langsung pulang!” Ares melihat keluar dari jendelanya. Dia ingin segera pulang dan menemui wanita yang dia cintai di mansionnya di Boston. Ares dengan cepat berangkat dan menyuruh Helios untuk mempersiapkan penerbangannya ke Boston. ~ARES~ Ares’s Mansion, Boston Mikaela baru saja pulang berbelanja dan berjalan memasuki mansion Ares. Saat masuk ke dalam, beberapa pelayan langsung menyambutnya dengan hangat. Tapi, saat masuk ke dalam, seorang pelayan menghampirinya. “Nyonya, ada seorang wanita yang datang dan mengaku adalah kekasihnya Tuan! Saya suah melarangnya, tapi dia mengancam kami semua. Tuan juga tak memberi perintah apapun soal dia,” ucap pelayan itu membuat Mikaela terbelalak. Dia langsung masuk ke ruang tamu dan melihat siapa yang datang. Wanita itu langsung berdiri dan menatap tak percaya melihat Mikaela berada di sini. Dia berjalan menghampiri Mikaela dan langsung menampar wanita itu. ‘PLAK!’ Tamparannya cukup keras hingga membuat Mikaela tersungkur ke lantai. Langsung saja, para bodyguard menghalangi wanita yang ingin menyakiti Mikaela dan para pelayan langsung membantu Mikaela untuk berdiri. Mikaela masih heran dengan wanita itu. Dia merasa tak mengenali wanita itu tetapi, dengan seenak hatinya wanita itu menamparnya di kediamannya sendiri. “Wanita mura.han! Apalagi maumu, hah?! Kau di sini dengan kekasihku? Sebagai istrinya?” marah wanita itu sambil menghina Mikaela dengan sebutan murahan. Tidak! Mikaela tak suka dihina sebagain w************n. Dia menghampiri wanita itu dan menampar balik wanita itu tak kalah keras. ‘PLAK!’ “Siapa kau? Berani sekali kau mengatakan kalau suamiku adalah kekasihmu? Kau yang murahan dasar perempuan sial!” Mikaela bukan orang yang suka dihina. Apalagi, perempuan ini menyebut suami (palsu)nya sebagai kekasihnya. Hal itu benar- benar membuat Mikaela muak setengah mati. “Kau tak tahu siapa aku? Aku adalah Siska Arumi! Wanita yang suaminya kau bunuh, perempuan jalang! Kau memang pela*cur rendah, Mikaela! Katanya kau seorang istri, tapi apa ini? Kau meninggalkan keluargamu dan lari bersama pria yang lebih kaya? Cih!” Siska mendecih meremehkan pada Mikaela. Mikaela tak mengerti apa yang dimaksud oleh Siska. Apalagi, dia berkata soal pembunuhan. Mikaela sama sekali tak ingat soal itu karena terapi pencucian otak yang dilakukan Ares yang membuatnya tak mengingat apapun. “Jangan hina aku lagi! Pergi dari rumahku karena aku masih mengampuni perempuan aneh sepertimu! Aku tak ingin ribut denganmu!” Mikaela merasa tak penting bicara lebih lanjut dengan Siska. Rasanya, pembicaraan mereka sama sekali tak nyambung karena Mikaela lupa ingatan. “Apa maksudmu, huh! Di mana Ares? Aku harus bertemu dengannya!” teriak siska ingin mencari Ares tetapi masih di tahan oleh kedua bodyguardnya. “Siapa Ares yang kau cari? Ini rumah keluarga Simon! Dan aku adalah istri pemiliknya yang bernama William Simon!” tegas Mikaela merasa perempuan di hadapannya ini salah rumah atau mungkin sudah kehilangan akalnya. “Apa? William Simon, dia sudah-” “Siapa yang membuat kehebohan seperti ini di rumahku?” tanya Ares yang kebetulan datang tepat waktu ke mansionnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN