Part 7

1673 Kata
Bel sudah berbunyi pertanda para murid sudah boleh pulang ke rumah masing masing. "Jalan apa kuy. Udah lama bet ini gue ngga jalan." ujar Dika seraya membereskan bukunya. "Lah elu dari parkiran ke kelas ngesot Dik?" tanya Rara merasa ambigu dengan apa yang Dika katakan. "Ck, si bego. Ayo apa weh." paksa Dika. Mereka sudah lama tidak menghabiskan waktu bertiga. Sibuk dengan aktifitas masing masing. "Gue mah ayok bae. Lu gimana Ra?" tanya Chika. "Yok lah. Free gue." ketiganya berjalan beriringan menuju parkiran mobil. "Elu ora bawa mobil Ra?" tanya Dika tidak melihat mobil Rara di parkiran. "Lagi males. Naek ojol gue." tadi pagi Rara memang telat bangun. Jadi dari pada dia berdiri di tengah lapangan karena telat, lebih baik dia naik ojol saja. Cari aman. Sudah muak dia menghadapi Pak Bagus, guru BK di sekolahnya. "Jiahhh seorang Rara naek ojol." cibir Dika. Tidak biasanya dia mendengar Rara naik ojol. "Gue manusia kali. Nah ojolkan juga manusia, emang salah." sewot Rara tidak terima dengan cibiran Dika. "Udah apa. Nih Dik bawa." ujar Chika seraya melemparkan kunci mobil ke Dika. Pusing dia mendengar percekcokan kedua sahabatnya, "Gue bawa mobil kan Chik." "Lah tumben lu mau ngeluarin tuh si roki." Rara heran, tidak biasanya Dika mau mengeluarkan mobil kesayangannya. Jika ditanya, pasti dia akan bilang "sayang bini gue dikeluarin dari sarang, entar dia kena kuman kalo keluar dari rumah" Roki nama panggilan Dika ke mobil kesayangannya. Apa lagi jika bukan mobil ferrari 458 Italia. Mobil yang memang idaman para pria. "Pake mobil gue aja ya." pinta Dika. "Ayo lah naek mobil sport kali kali. Naek ayla mulu bosen gue." Rara melangkahkan kakinya duluan ke arah mobil dika. Dia sangat mengagumi mobilnya Dika. Bisa saja Rara membelinya, tapi dia masih sayang uang jika harus merogoh kantong terlalu dalam. Baginya cukup mobil ayla kesayangannya. "Mobil lu gimana Chik?" tanya Rara ketika melihat kedua sahabatnya mengikuti langkahnya. "Biar entar orang rumah yang ngambil." jawab Chika santai. "Oke." Rara sudah masang posisi di samping Dika. Chika hanya menggelengkan kepalanya saja. "Beli mangkannya Ra mobil kek gini." ucap Chika seraya masuk ke dalam mobil. "Tau lu. Sok miskin lu." tambah Dika yang sudah duduk didepan kemudi. "Eh gini ya, yang kaya kam orang tua gue. Gue masih numpang ama mereka, ya sayang lah kalo gue ngerogoh kocek banyak cuman buat beli mobil. Mending buat diriin yayasan deh." "Widihhh cakep dah sobat gue." puji Dika. "Gue doain moga lu bisa diriin yayasan sendiri ya Ra." ujar Chika menambahkan. "Amin allahumma amin." itu memang sudah menjadi cita citanya dari dulu. Dia ingin mendirikan yayasan panti asuhan dengan uangnya sendiri. Bisa saja sekarang dia mendirikan, tapi bukan hasil kerja kerasnya. Melainkan kerja keras kedua orang tuanya bahkan sampai melupakan dirinya. Selama perjalanan, suasana di mobil tidak sunyi. Pasti ada saja canda tawa di antara mereka. Sunyi sedikit, pasti Rara akan memulai obrolan yang tidak penting. Entah itu menghibahkan seseorang atau jika melihat sesuatu di tengah jalan pasti akan mereka perbincangkan. Begitulah persahabatan mereka, tidak pernah di landasi dengan emosional. Jikalau mereka mempunyai masalah di antara salah satunya, maka akan di bicarakan secara langsung dan di selesaikan detik secepatnya. Paling lama mereka tidak saling tegur sapa hanya tiga hari. Ya mereka memang sudah sangat membutuhkan satu sama lain. Jadi jika bertengkar maka akan hampa kehidupan mereka. Tidak ada yang namanya saling bully atau perbincangan yang garing. "Dik, berhenti bentar kek. Gue mau cendol itu." tunjuk Rara ke tukang cendol yang berada tepat di depan lampu merah. Tanpa menjawab dengan ucapan, Dika menepikan mobilnya di tepi jalan. "Lu pada mau kagak?" tanya Rara. "Ya mau lah kalo di beliin." jawab Dika dengan semangat. "Duain Dik." imbuh Chika. Rara hanya memutar bola matanya malas. Kedua sahabatnya memang semangat jika mendengar kata gratisan. Rara keluar dari mobil membeli cendol tiga bungkus. Dan membawanya ke dalam mobil. "Nih." Rara mengulurkan plastik cendol satu persatu ke sahabatnya. Dika mulai menjalankan mobilnya, "Bukain dong beb." ujar Dika dengan tatapan mata fokus ke jalan di hadapannya. Dengan rasa malasnya, Rara membukakan bagian Dika. "Udah di beliin, minta di bukain juga lagi lu." dumel Rara tak urung juga membukakan cendolnya Dika. "Ngedumel ngga jadi pahala loh Ra." peringat Chika dari kursi belakang. "Astaghfirullah. Rara mau pahala Ya Allah." ujar Rara seraya mengadahkan tangannya, tapi jangan lupakan kedua tanganya yang menggenggam masing masing plastik cendol. "Nih Dika zheyenk minuman lu." Rara menyerahkan ke arah Dika plastik cendol yang sudah terbuka. "Makasih zuyung." Tak lama kemudian, mobil Dika sudah berbelok ke pusat perbelanjaan. "Lu ada yang mau di beli tah Dik? Ngebet amat pengen ke sini." "Ya ngga ada sih Ra. Pengen aja gue ke sini. Nonton kuy sekalian." "Lah nambah bocah." ujar Rara. Ponsel di saku nya bergetar, tanda ada pesan masuk di ponselnya. Angel Tempat biasa kuy Ra malem ini. Rara berfikir sejenak, mengingat apakah malam ini dia mempunyai acara. Me Kuy aja. Jemput tapi di rumah. Angel Okays. Beli baju yuk Ra. Me Ini gue lagi di mall. Samaan ngga ini bajunya? Angel Jangan samaan lah. Entar gue kalah saing sama lu. Me Si bangke ya. Ukuran sama kan? Angel Yoyoi setipe kita mah. (Read) Kebetulan sekali dirinya sedang di pusat perbelanjaan. Dia juga sudah rindu dengan tempat pelariannya yang satu itu. Ada mungkin 3 bulan dia tidak ke sana. Kerja samanya dengan Frenklin's Corp sedang ruwetnya. Jadi dia pun jarang bermain dengan kedua sahabatnya. "Asik banget Ra. Wa an ama siapo seh." tanya Dika yang dari tadi memang memperhatikan Rara yang asik dengan layar ponselnya. "Biasa. Si Angel ngajak jalan." "Awas aja lu sampe macem macem." ancam Chika. "Hooh. Liatin bae lu." tambah Dika. Kedua sahabatnya memang sudah mengetahui kelakuan Rara yang satu itu. Sudah berkali kali baik Dika maupun Chika sudah memeringatinya. Tapi namanya juga Rara, tidak akan perduli dengan peringatan sahabatnya. Tapi dia sering mengatakan, dia ke sana hanya menikmati musiknya saja. Tidak sampai ikut ONS seperti Angel. "Siipp tenang. Gue ngasih mahkota gue buat laki gue lah." "Baguslah." Mereka berjalan beriringan menaiki eskalator. Rara berhenti sejenak di toko pakaian ternama. "Cuy, belok bentar apa." ujar Rara seraya menarik kedua tangan sahabatnya. Chika dan Dika hanya pasrah tangan mereka di geret oleh Rara. Tidak mungkin juga mereka protes, urusannya bakalan panjang jika mereka memprotes. "Beli baju lagi Ra?" tanya Chika mengingat koleksi baju ternama Rara di wardrobe nya. "Hooh. Udah bosen gue." Dika hanya menggelengkan kepalanya mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Rara. Lama Rara memilih tipe baju, akhirnya Chika ikut terhasur dan berujung dirinya juga membeli satu stel dress. "Tadi keknya ada yang nyibirin gue deh. Eh ternyata dia juga beli." sindir Rara melihat Chika yang membawa tentengan paperbag merk baju yang tadi juga dia pilih. "Hehe, banyak setannya Ra di sono." jawab Rara dengan menampilkan deretan giginya. Dika diam seribu bahasa. Heran dia dengan wanita. Masalahnya bukan sekali dua kali dia seperti ini. Entah itu Rara atau Chika yang pasti akan terhasut jika masuk ke sebuah stand di mall tersebut. Padahal niat awalnya tidak membeli. Apakah semua wanita seperti itu? "Lu ngapain bengong Dik? Duit lu abis? Kan kita belanja pake duit sendiri." tanya Rara yang dari tadi memperhatikan Dika. "Ngga. Eh beli boba yang kek biasa kek." Tidak mau ketahuan sedang melamunkan sesuatu, Dika berjalan terlebih dahulu dari kedua sahabatnya. "Dika ngapa Ra?" tanya Chika merasa aneh dengan sahabatnya. "Au. Ora jelas dia mah." Tidak mau terlalu memikirkan, mereka mengejar langkah Dika yang sudah lumayan jauh dari mereka. **** Lima jam sudah mereka berkeliling di mall. Dari yang hanya melihat atau memilih saja tanpa membeli sampai yang mereka membeli sesuatu yang tidak penting sebenarnya. "Anterin gue balik ya Dik." pinta Rara. Kebetulan rumahnya memang tidak terlalu jauh dari jarak mall ini. "Anterin Rara dulu nih Chik?" tanya Dika kepada Chika. Rumahnya Dika memang tidak terlalu jauh dengan rumahnya Chika. "Bebas gue Dik." Dika mengantarkan Rara terlebih dahulu. Tidak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di depan rumah Rara. "Jangan mampir yak." gurau Rara. "Ye yang ada mah tamu di tawarin, mampir yuk. Elu mah malah di larang. Aneh." "Hahaha, yaudah. Mas ganteng sama Mbak cantik nya mau mampir ke rumah Tuan Putri?" "Udah sono buruan lu turun. Eneg gue liat muka lu." ujar Dika seraya mendorong bahu Rara agar cepat keluar dari mobilnya. "Yaelah. Santai apa Bang. Buru Buru amat." dumel Rara seraya membuka seatbeltnya. "Ra, inget ya pesen kita. Jangan sampe ONS!" peringat Chika dengan muka yang ditegaskan. "Siap Bu. Bye semua. Jangan kangen ya." Rara akhirnya keluar dari pintu. Dan Chika yang turun dari kursi belakang. Bermaksud untuk pindah ke samping Dika. Mobil Dika sudah keluar dari perumahannya. Rara segera masuk kedalam rumah bersiap untuk malamnya yang panjang. Rara bersiap siap sekitar 2 jam. Dan sekarang dirinya sudah siap untuk pergi ke tempat dia bisa melepaskan bebannya sejanak. Rara langsung mendial nomor Angel, menanyakan keberadaannya. "Halo Ngel, di mana lu?" "Dikit lagi Ra. Nih udah mau masuk ke perumahan lu. Siapin baju gue yang tadi lu beliin." "Iya, ini udah siap. Lu maroon ye, gue item." "Hooh." Tut, Rara langsung mematikan ponselnya ketika mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Angel masuk terburu buru ke dalam rumahnya Rara, "Mana cuy dress gue?" Rara langsung memberi dress yang tadi dia belikan. Tenyata dia membelikan dress untuk Angel pas. Tidak kebesaran atau pun kesempitan. "Cakep juga pilihan lu Ra." canda Angel. Sebenarnya dia tidak meragukan lagi stylenya Rara. Sudah dapat di pastikan akan mengangumakan. Contohnya seperti dress yang dia gunakan dan dress yang di gunakan Rara. "Iya dong. Siapa dulu, Rara. Yuk ah, lu udah telat banget tau." Angel memang telat menjemputnya, mereka janjian jam 10 malam. Tapi sekarang jarum jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Telat satu jam. "Hehe maaf beb. Biasa lah. Yuk." Rara tidak sabar dengan tempat yang lama dia tidak kunjungi tersebut. Dia merindukan suasana kelap-kelip lampu disko dan juga musik dari Dj ternama di Ibu Kota. Dan ini juga salah satu hiburannya. Bahkan orang tuanya tidak mengetahui sama sekali tentang ini. Karena yang di ketahui kedua orang tuanya hanya tentang bagaimana mereka mencari duit duit duit. Tidak ada tentang bagaimana mereka menyenangkan hati anak semata wayangnya. Miris sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN