KCK 3

1005 Kata
Subang, 1990   Seorang laki-laki dewasa yang kerap dipanggil Abah Uji sedang bersenda gurau di depan teras rumah bersama belahan jiwanya, Mak Afifah. Sepasang suami istri tersebut tak sabar menunggu anaknya pulang dari pesantren, yang tak lain adalah Sinar Abizar. Terdengar suara motor dari kejauhan. "Bah, Abah... Kadenge teu suara motor, teh?" tanya Mak Afifah. "Iya, Mak. Kadenge!" sahut Abah Uji. "Semoga wae eta suara ojek yang bawa Sinar," ungkap Mak Afifah. "Iya, kita tunggu saja," balas suaminya. Motor berisikan dua penumpang itu pun akhirnya berhenti di depan rumah Abah Uji. Mak Afifah dengan wajah sumringah menyambut anak bungsunya. "Alhamdulillah, Jang. Emak udah capek, nih, nunggu kamu nggak datang-datang," ungkap Mak Afifah. Sinar pun mendekati ibunya, pemuda itu segera mencium punggung tangan perempuan yang telah melahirkannya. Mak Afifah pun tak kuasa ingin segera memeluk Sinar dengan erat. "Dari sana jam berapa?" tanya Mak Afifah sembari mengiringi Sinar berjalan menuju suaminya. "Subuh, Mak," sahut Sinar dan berlalu mendekati sang abah. Sinar segera mencium punggung tangan ayahnya. Lalu, Abah Uji pun menepuk-nepuk kecil punggung Sinar sembari membisikan doa kepada anaknya. "Masuk, Jang. Makan!" ujar Mak Afifah. Ketika Abah Uji hendak berdiri dari duduknya, Sinar menghentikan. "Engke, Bah. Sinar bade nyarios heula masalah sakolah," ungkap Sinar. "Engke wae atuh. Kamu kan, baru datang," ujar Abah Uji. "Katanya sekolah harus sudah ada keputusan hari ini, Bah. Supaya Sinar bisa secepatnya memberi kabar ke sekolah. Batas keputusannya besok," ungkap Sinar. "Nya ngges atuh emam heula. Nanti kita bicara selesai makan," ujar Abah Uji. Sinar dan kedua orang tuanya pun masuk. Di dalam, sudah ada ketiga kakak laki-laki Sinar dan para istrinya yang sedang menunggu untuk makan. Sebelum duduk untuk makan, Sinar menciumi punggung tangan semua kakaknya satu-per satu. Setelah itu, ia duduk di dekat ayah dan ibunya. *** Selesai makan, Sinar tak sabar menunggu para kakak iparnya untuk mengangkat semua piring kotor yang baru saja mereka gunakan. Setelah semuanya beres, Sinar bersiap-siap akan segera menyampaikan keinginan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Namun, belum sempat Sinar membuka mulut. Deden, kakak kandung Sinar yang ke dua berkata, "Dari sana, jam berapa, Nar?" Terpaksa Sinar pun harus menjawab pertanyaan Deden terlebih dahulu, sebelum menyampaikan keinginannya. "Subuh, A," ujar Sinar. "Gimana sakolah, teh?" Deden kembali bertanya. "Alhamdulillah, baik, A. Yah, karena hal ini juga sebenarnya Sinar ingin menyampaikan sesuatu," tutur Sinar. "Sesuatu apa?" tanya Abah Uji. "Gini, Bah. Jadi, alhamdulillah Sinar ini lulus dengan nilai yang cukup baik. Sinar dapat peringkat ke dua dari seluru siswa MAN Cipulus yang ikut ujian di tahun ini," ujar Sinar. "Bagus, atuh, kalau dapat nilai tinggi, mah," sahut Bisri, kakak tertua Sinar. "Iya, A. Tapi, karena dapat nilai tertinggi, Sinar dapat beasiswa di Universitas Al-Azhar Kairoh, Mesir. Bukan cuma Sinar, Aziz juga dapat beasiswa itu," ungkap Sinar. "Aziz siapa?" tanya Mak Afifah. "Eta, Mak. Anu pernah ngendong waktu liburan," ujar Sinar. Semua orang di ruangan tersebut tercengang mendengar kabar tentang Sinar yang mendapat beasiswa ke Mesir. Terlebih, Abah Uji dan Mak Afifah. "Terus, meneh rek ka Mesir, kitu?" tanya Asep, kakak Sinar setelah Deden. "Iya, A. Sinar mau minta izin ke Emak sama Abah, sekalian sama semua kakak Sinar. Urang rek menta izin, bade ka Mesir," ungkap Sinar. Abah Uji hanya terdiam, tak bisa berkomentar. Sedangkan Mak Afifah terlihat tak ikhlas mendengar ucapan Sinar. "Jauh teuing, Jang," celetuk Mak Afifah. "Iya, Sinar! Jauh, nanti susah juga untuk komunikasi," ujar Asep. "Tapi, A. Abah kan seorang Ajengan. Abah itu ustadz di kampung ini, abah seorang kiai. Anak-anaknya belum ada yang bisa meneruskan perjuangan beliau. A Deden memang sudah jadi orang besar, jadi kepala sekolah, pegawai negeri, tapi itu di bidang pendidikan. A Asep juga, selama ini hanya mengurus kebun dan sawah Abah saja. Sinar pengin seperti Abah, menjadi mubalig, berdakwah, melestarikan dan menerapkan budaya islam di kampung kita," tutur Sinar. "Heh, maneh teh poho? A Bisri juga mondok, sama kayak kamu!" ujar Deden. "Iya, A. Tapi, sama saja, A Bisri alumni pondok pesantren Cipulus. Sinar juga kan baru aja pulang habis mondok di sana. Sinar pikir, kalau menempuh pendidikan ke Mesir itu akan lebih banyak pengalaman dan menemukan metode baru dalam berdakwah," ungkap Sinar. "Gimana, Bah? Abah jeung Emak bisa izinkan Sinar?" imbuh Sinar berharap kepada kedua orang tuanya. "Emak sudah jelas tidak akan izinkan kamu. Emak nggak mau jauh-jauh dari anak. Apalagi anak bungsu!" ungkap Mak Afifah. "Apanan selama ini teh Sinar jauh dari Emak. Sinar di Purwakarta, Emak di Subang," tutur Sinar. "Beda atuh, Jang. Di Purwakarta mah kalau Emak pengen ketemu, bisa datang karena dekat. Kalau di Mesir, susah! Kejauhan. Sok atuh tanya abah, setuju teu?" ujar Mak Afifah. "Abah, juga teu setuju," sahut Abah Uji. Sinar terdiam mendengar jawaban dan penentangan dari orang tua dan saudara-sauraranya. Ia tak pernah menyangka jika kesempatan menuntut ilmu di luar negeri akan hilang begitu saja. "Sinar, kalau memang kamu mau menuntut ilmu dan ingin meneruskan perjuangan Abah. Kamu bisa cari pesantren di sekitar sini saja," tutur Abah Uji. "Sinar sudah sering keluar masuk pesantren, Bah, bareng temen-temen untuk sekadar bersilaturahmi dan menananyakan metode pembelajaran di sana. Semuanya tidak jauh beda dari pondok di Cipulus. Sinar rasa, percuma saja," ujar Sinar. "Ya sudah. Kalau begitu, kamu pergi ke Garut, ada pesantren besar yang cukup baik. Milik almarhum Kiai Haji Gozali. Nama pesantrennya Al-Hasan Akmad. Kamu tempuh pendidikan di sana atau pilih di sini saja. Abah tidak rido, jika kamu pergi ke Mesir," tutur Abah Uji. "Memangnya Abah tahu dari mana, kalau pesantren itu baik?" tanya Sinar penasaran "Dulu, waktu Abah mondok di Cirebon, Kiai Haji Gozali melakukan kunjungan dan mengisi kajian di pondok Abah. Cara beliau berdakwah dan menceritakan keadaan santri-santrinya membuat Abah tertarik. Abah ingin sekali menuntut ilmu di sana. Tapi terkendala biaya, dulu masih butuh banyak dana sehingga santrinya berbayar. Sekarang sudah tidak berbayar, Abah harap kamu bisa meneruskan impian Abah menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad," tutur Abah Uji. Dengan berat hati, Sinar merelakan beasiswa ke Univeraitas Al-Azhar Kairoh - Mesir, demi orang tuanya dan lebih memilih pondok pesantren Al-Hasan Akmad yang ada di Garut, untuk menambah serta mengembangkan ilmu Islam yang ia miliki. *** Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN