KCK 14

1032 Kata
Siang itu Abah Jaenudin sedang duduk di masjid selepas shalat duhur. Sepuluh meter di belakang Abah Jaenudin ada Sadi dan Gofur yang sedang menunggu Sinar membersihkan masjid.   "Kang, urang teh rek nanya. Naha ari Akang jadi berhenti ngerokok?" tanya Gofur.   Abah Jaenudin yang masih duduk di tempat tersebut tak sengaja mendengar Gofur dan melihat reaksi Sadi.   "Ulah tarik-tarik teuing ngomongna, bisi kedengar sama Abah Jaenudin!" ungkap Sadi.   "Oh, atuh maafkeun. Ya udah atuh, jawab pertanyaan urang," ujar Gofur berusaha mengecilkan suaranya.   Masjid Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad cukup besar, hingga suara Gofur dan Sadi pun masih tetap terdengar walau sudah berusaha merendahkan volumenya.   "Fur, urang teh asa gimana gitu sama A Sinar teh. Beliau itu bisaan, nyaho urang teh ngelanggar peraturan, urang teh salah. Tapi A Sinar teu nyalahkeun urang, teu marah-marah atau nyeramahin kitulah. Beliau ngasih penjelasan tentang bahaya dan larangan merokok itu ngalir aja kayak lagi ngobrol. Tapi masuk ke pikiran urang teh," tutur Sadi.   "Yah ngges atuh, Kang. Jaenudin teh setuju mun Sinar dijadikeun pengajar di dieu," ujar Abah Jaenudin.   "Teu aya seleksi heula?" tanya Abah Jaelani.   "Teu usah, tinggal kumaha carana wae menyampaikan ka Sinar na," tutur Abah Jaenudin.   Setelah genap empat bulan menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Hasan Akmadr, Sinar berhasil membuktikan pada pengurus sekaligus pengasuh pondok, bahwa ia adalah pemuda yang berdedikasi tinggi dan sangat ulet saat melakukan kegiatan di pesantren.   Abah Jaelani meminta Ustad Tohir untuk mengundang Sinar. Di dalam ruangan pengurus pesantren, Abah Jaelani menyampaikan maksud dan tujuannya pada santri putra asal Subang tersebut.   "Sinar sudah tahu belum apa maksud Abah memanggil ke sini?" tanya Abah Jaelani.   Sinar tetap tertunduk, kedua tangannya saling menggenggam disembunyikannya di balik sarung batik yang ia pakai. Sinar menggeleng. "Belum, Bah. Sinar belum tahu."   "Maksud Abah teh, mau minta Sinar untuk jadi pengajar di pesantren ini," ungkap Abah Jaelani.   Sinar terkejut, ia pun reflek menatap wajah kiai yang duduk tepat di hadapannya. "Ma syaa Allah, Sinar tidak salah dengar, Bah?"   "Tidak, Nar. Kira-kira bersedia tidak menjadi pengajar?" tanya Abah Jaelani.   Sinar tak percaya dengan ucapan kiainya. Tetapi ia pun tidak ingin melepaskan kesempatan emasnya untuk menjadi pengajar di pesantren tersebut.   "Insya Allah Sinar bersedia jika memang mampu. Kalau boleh tahu, Sinar harus mengajar kelas berapa? Dan mengajar pelajaran apa?" tanya Sinar.   "Nanti mengajar fiqih, tahsin dan beberapa pelajaran yang ada di sekolah Diniah," ungkap Abah Jaelani.   "Oh, berarti Sinar mengajar santri Ibtidaiah putra ya, Bah?" Sinar memastikan.   "Bukan putra, tapi putri. Sinar mengajar santri Ibtidaiah putri setelah shalat duhur. Dan santri MTS atau setara MTS sebelum shalat duha," tutur Abah Jaelani.   "Maaf, Bah. Kalau boleh tahu, nanti Sinar ngajar pelajaran apa untuk santri MTS?" tanya Sinar.   "Ngajar kitab Al-Ajurumiyah. Tahu, kan?" Abah Jaelani memastikan.   Sinar terkejut, ia mengangguk tanda bahwa dirinya tahu tentang kitab yang dibicarakan Abah Jaelani.   "Iya syukur kalau tahu. Jadi Al-Ajurumiyah kan, salah satu kitab dasar yang mempelajari ilmu nahwu. Para santri yang mau belajar kitab kuning itu wajib belajar dan memahami kitab ini terlebih dahulu." Abah Jaelani berhenti sejenak, sedangkan Sinar hanya mengangguk-angguk.   "Karena, kan, tanpa belajar kitab Jurumiyah, para santri tidak mungkin bisa membaca kitab kuning. Kitab Al-Ajurumiyah ini pedoman dasar dalam ilmu nahwu," tutur Abah Jaelani.   "Muhun, Bah," sahut Sinar. "Oh iya, maaf, Bah, mau tanya. Sejujurnya di pesantren Sinar dulu tidak diajarkan nahwu sorof secara detail. Katanya, Al-Jurumiyah ini kan pedoman dasar ilmu nahwu, lalu apakah ada kitab nahwu tingkatan lanjutan yang lebih tinggi lagi?" imbuhnya.   "Ada atuh, tingkatan selanjutnya setelah Jurumiyah yaitu Imrithi, Mutamimah, dan yang paling tinggi adalah Alfiyah. Kitab Al-Jurumiyah itu dikarang oleh Syekh Sonhaji di dalamnya memaparkan bahasan yang mudah dipahami, makanya disebut ilmu dasar," tutur Abah Jaelani.   Mendengar ucapan Abah Jaelani, Sinar hanya bisa mengangguk dan meneguk ludahnya dalam-dalam. Ia merasa sangat minim pengetahuan dan sangat tidak menguasai ilmu nahwu. Rasanya Sinar ingin menolak, tetapi ia merasa tidak sopan jika harus menolak permintaan kiainya.   Malam itu Sinar pun memutuskan bersedia untuk mengajar di Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad.   Tepat seminggu setelah terjadi obrolan serta diskusi antara Abah Jaelani dan Abah Jaenudin, akhirnya Sinar diangkat menjadi pengajar di Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad.   Setelah urusan selesai dan mendapat amanah dari Abah Jaelani, Sinar pun kembali ke asrama. Di kamar, teman-temannya sudah menunggu kedatangan Sinar.   Berita diangkatnya Sinar sebagai pengajar sudah tersebar di asrama purtra karena Ustad Tohir telah memberitahu para santri tentang informasi tersebut.   "Assalamu'alaikum..." ucap Sinar yang masih memegang gagang pintu kamar asrama.   Teman-temannya yang sejak tadi menunggu, serentak menjawab salam. "Wa'alaikumussalam..."   "A Sinar, Aa teh kepilih jadi pengajar di dieu?" tanya Herlan.   Sinar mengangguk dan melontarkan senyum.   "Gimana caranya? Urang teh udah hampir dua tahun jadi santri, tapi sampai sekarang belum juga diangkat jadi pengajar," tutur Gofur.   "Ulah curhat, Fur!" Sadi terkekeh menggoda Gofur.   Sinar memasang wajah serius dan berkata, "Urang teh sebenarnya punya amalan," ungkapnya.   "Amalan naon, A?" tanya Herlan.   "Setiap kali ngobrol sama Abah Jaenudin atau Abah Jaelani, urang teh baca-bacaan dalam hati atau sambil bisik-bisik kayak zikir gitu. Terus, urang tiupikeun ke wajah Abah Jaelani atau Abah Jaenudin," tutur Sinar.   "Bacaan naon, A?" tanya Gofur serius dan penasaran.   Sinar tergelitik mendengar pertanyaan Gofur. Ia mulai melebarkan bibir dan melontarkan senyuman.   "A Sinar, maneh teh, serius?" tanya Sadi.   Sinar terkekeh dan berkata, "Atuh enggaklah, Kang. Tong dianggap serius, urang teh teu pernah melakukan apa-apa. Yah, kalau masalah kenapa saya bisa jadi pengajar, itu cuma Allah dan para pengurus serta pengasuh pesantren yang tahu alasannya. Saya sendiri nggak tahu kenapa bisa diangkat jadi pengajar, padahal baru empat bulan jadi santri di sini," tutur Sinar.   "Yeey, dasar!" pekik Sadi.   "Mungkin, karena setiap belajar A Sinar itu aktif," ucap Gofur.   "Memangnya selama ini cuma saya yang aktif? Kang Gofur juga kan, aktif, " ungkap Sinar.   "Aktif juga, sih! Tapiiii...." Belum selesai Gofur berbicara, Sadi pun menyela.   "Ah, ngges wae atuh teu usah terlalu dipikirkeun. Eta mah udah rezekina A Sinar, dah emang pantas jadi pengajar di sini," ungkap Sadi.   Mengingat dirinya harus mengajar nahwu, Sinar menghabiskan waktu setiap malam sebelum tidur untuk mempelajari ilmu tersebut dengan sendirinya. Ia tak mau terlihat bodoh di hadapan para santrinya saat mengajar. Pemuda asal Subang itu ingin, ilmu yang disampaikannya dapat mudah dimengerti oleh murid-muridnya.   Bukan hanya Belajar, di Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad inilah Sinar menemukan jati dirinya, yaitu menjadi seorang pengajar. *** Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN