Dua minggu setelahnya, Wijaya sedang berdua dengan Gayatri menyeduh kopi. Kopi yang diracik sendiri oleh Wijaya. Sebuah minuman asli dari biji pilihan. Langsung dari pohonnya. Mereka bersenda gurau seperti biasanya. Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk datang ke rumah orang tua. Memantapkan hati untuk bertemu dengan mereka. Menguatkan ketika mendapatkan perlakuan tidak baik, nantinya.
“Silakan masuk,” kata Prabu Tengker saat Wijaya dan Gayatri berkunjung.
Keduanya masuk ke dalam ruangan yang telah lama ditinggalkan. Gayatri duduk di bangku dekat jendela. Sebuah bangku yang penuh dengan kenangan indah selama tinggal di rumah itu. Tapi, kenangan itu hancur ketika ditimpa sebuah masalah besar yang dibuatnya sendiri. Ketika harus menerima orang tuanya tak bertegur sapa dengannya. Kini, mereka sedang berusaha untuk memperbaiki semuanya.
“Ada apa kalian ke sini?” tanya Prabu Tengker duduk di sebuah bangku paling dekat dengan Gayatri. Terlihat jelas, lelaki yang telah tak muda lagi itu merindukan putrinya.
Dari arah dapur, muncul seorang wanita separuh baya dengan membawa nampan. Sebuah wadah berisi empat gelas dan satu piring camilan. “Maaf, ya, Bunda hanya ada ini,” katanya sembari meletakkan nampan di meja.
“Bunda ... gethuk buatan Bunda selalu Gayatri rindukan,” kata Gayatri menahan air matanya.
“Ehm, kalian ada apa ke sini?” tanya Prabu Tengker mengulangi pertanyaan yang dialihkan oleh pembahasan singkong.
“Ayah, Gayatri mau minta maaf atas semua kesalahan yang telah diperbuat. Selain itu, Gayatri mohon agar Ayah memberikan izin dan restu untuk kami. Mohon doa yang terbaik untuk kami,” jawab Gayatri masih tidak berani untuk menatap cinta pertamanya
“Mau bagaimana pun kamu tetap putri Ayah, Gayatri. Ayah memang marah dan kecewa, tapi tidak dengan benci. Setelah Ayah merenungi dan semuanya pun sudah terjadi. Mau menyuruh kalian untuk pisah pun rasanya begitu egois. Ayah akan mencoba untuk menerima yang sudah terjadi. Mulai hari ini, kalian tinggal di sini saja,” jawabnya disertai dengan senyuman yang jauh lebih manis. Senyuman yang selalu membuat Gayatri ikut tersenyum. Rasanya, tidak menyangka hari ini akan terjadi. Gayatri bersyukur ketika mendapati jawaban Ayahnya yang begitu manis.
Mereka melanjutkan bercengkerama. Membahas sesuatu yang sebenarnya tidak penting. Tapi, bisa meningkatkan sebuah keharmonisan di dalamnya. Sebuah perbincangan yang memperbaiki hubungan. Semakin menghangat suasana di rumah itu berhasil merekahkan bibir mungil Gayatri.
Di tengah-tengah keharmonisan itu, ada hujan yang turun. Memang, cuaca yang tidak bisa ditebak. Padahal, baru saja langit terlihat cerah. Prabu Tengker dan Tunggadewi pergi ke dapur menyalakan tungku. Mencari kehangatan dari api. Sedangkan, Gayatri dan Wijaya masih membeku di tempat. Tidak tahu akan berbuat apa di rumah itu. Sebuah gedung yang baru pertama kali mereka injak dengan rasa berbahagia.
“Mau apa?” tanya Gayatri saat mengetahui Wijaya bergerak mendekat. Tangannya mulai terlihat sedikit jahil. Mengacak-acak rambut Gayatri yang telah rapi digelung. “Tangannya jangan nakal,” sambungnya menyingkirkan tangan yang terasa kasar itu. Tapi, Gayatri bangga memilikinya. Tangan kasarnya yang membuat sebuah kerajaan berhasil keluar dari suasana yang tidak nyaman. Dari tangannya kerajaan bisa memajukan potensi wilayah.
“Gemas,” jawabnya sembari beranjak.
Gayatri mengikuti langkah kaki Wijaya yang melenggang masuk ke dalam kamar lamanya. Pria itu duduk di tepi ranjang. Menatap seisi kamar yang dipenuhi dengan daun lontar. Wijaya penasaran dengan isi tulisan yang ada di daun itu. Mengambil selembar lalu dibacanya. Wijaya tidak menyangka Gayatri selalu memujanya di daun itu. Benar-benar cukup membuatnya tersenyum bahagia.
“Wijaya,” katanya berusaha mengambil daun lontar yang sedang ada di tangan Wijaya.
“Sudah saya baca.”
Wijaya merebahkan diri di ranjang itu. Merasa badannya terasa lelah. Baru saja memejamkan mata, tapi Gayatri mengganggunya. Menggunakan bulu bekas ayam kampung yang masih tertinggal sehelai di dapur, Gayatri menggelitiki tubuh suaminya. Wijaya yang memang merasa lelah pun memilih diam. Tidak menggubris kejahilan Gayatri. Tetap berusaha untuk memejamkan matanya. Benar saja, berhasil terlelap dalam waktu kurang lebih setengah jam.
“Kamu, ih, kenapa tidak geli?” tanyanya sembari cemberut, “gagal dong saya mengganggumu,” sambungnya sembari membuang sehelai bulu itu.
Wijaya hanya menatapnya sekilas. Melanjutkan tidurnya dengan berbalik badan. Gayatri yang merasa kesepian pun memilih untuk pergi. Menemui ayah dan ibunya yang sedang menikmati air jahe hangat.
Gayatri duduk di dekat ibunya. Memeluknya dari belakang. Menumpahkan semua rasa rindu yang telah ditampung selama beberapa waktu. Bahkan, rasanya Gayatri tidak ingin melepaskan pelukan itu. Sebuah pelukan paling nyaman, baginya. Sebab, selama ini Gayatri begitu dekat dengan ibunya. Tunggadewi bukan hanya seorang ibu, tapi seorang teman yang selalu menemani Gayatri.
“Mau minum?” tanya Tunggadewi sembari mengusap halus puncak kepala putrinya. Gayatri menggeleng. Saat ini, dia hanya membutuhkan pelukan hangat itu. Tidak ada yang lainnya.
“Wijaya di mana?” tanya Prabu Tengker yang sedang menyalakan api yang mati.
“Tidur di kamar Gayatri.”
Prabu Tengker mengangguk sembari mengambil gelasnya. Menyeduh kembali jahe hangatnya. Setelah habis, Prabu Tengker beranjak ke arah pintu. Membukanya sedikit untuk melihat kondisi di luar rumah. “Masih hujan,” katanya sembari menutup kembali pintunya.
Tak terasa waktu telah sore. Gayatri beranjak masuk ke ruangan pribadinya. Melihat seorang pria yang masih terlelap di sana. Kejahilan Gayatri pun kambuh kembali. Wanita itu mengambil sebuah kain. Menggunakannya di kepala Wijaya. Seakan-akan untuk berhijab. Melihat wajah tampannya berubah lebih terlihat cantik dengan kain yang melekat di kepalanya.
Tidak lama kemudian, Wijaya merasa tidak nyaman dengan dirinya. Membuka matanya, terkejut melihat Gayatri yang sedang menertawakannya. Menatap wanita yang sedang duduk di sebelahnya membuatnya tak bisa fokus. Pikirannya telah berburuk sangka. Bangun dari tidurnya, memegang kepala yang terasa aneh. Ternyata benar, wanitanya telah menjahilinya.
“Dasar, ya,” katanya sembari melepas kain itu.
“Gayatri ... gemas dengan wajahmu. Iseng-iseng ternyata malah makin gemas,” jawabnya.
Wijaya mengacak-acak rambut wanita itu. Tidak lama kemudian, Wijaya beranjak pergi meninggalkan tempat. Mencari air untuk mencuci wajahnya. Tapi, dia dikejutkan dengan kedua mertuanya yang tengah bermesraan di ruang tengah. Merasa canggung dan tidak nyaman, Wijaya memilih kembali ke kamar.
“Kenapa balik, Kang Mas?” tanyanya dengan suara yang dibuat seperti anak kecil.
Wijaya terdiam di tempat. Tidak lama kemudian, Wijaya duduk di sebuah bangku yang ada di dekat pintu kamar. Menutup pintu yang terbuat dari anyaman bambu itu. Menatap wanitanya sembari menetralkan napasnya.
“KAMU KENAPA?” teriak Gayatri yang merasa kesal dengan Wijaya. Ditanya bukannya menjawab malah menatapnya dengan begitu dalam.
“Tidak ada air. Makanya balik lagi,” jawabnya berbohong.
“Masa sih, setahu saya Ayah selalu ada tandon air,” kata Gayatri memainkan jemarinya.
Beberapa waktu kemudian, Gayatri beranjak. Mendekat ke arah Wijaya yang tengah duduk. Entah apa yang membuatnya berbuat jahil. Gayatri mengambil sebuah bando yang pernah dibuat waktu itu. Sebuah aksesoris yang dibuat dari rumput dan bunga-bunga liar. Tangannya dengan sengaja memakaikan ke kepala Wijaya.
“Gayatri, sudah magrib,” katanya sembari melepaskan bando itu.
Mereka berdiam diri. Menikmati suara hujan yang belum mereda. Suara air yang membuatnya merasakan ketenangan. Sebuah suara yang mampu membuat pikiran jauh lebih damai. “Wijaya, kenapa ada hujan?” tanya Gayatri yang belum mengerti dengan adanya air hujan.
“Karena Gusti Allah memberikan kehidupan. Makanya, Allah memberikan air hujan agar tidak mengalami kekeringan.” Wijaya sedang tidak ingin dibuat pusing dengan pertanyaan-pertanyaan Gayatri yang terkesan aneh.
“Apa itu juga ada di sebuah ilmu?” tanya Gayatri kembali yang merasa penasaran.
Salah satu alasan Wijaya jatuh cinta dengan Gayatri tidak hanya karena fisik. Akan tetapi l, semangatnya dalam menggali ilmu. Semua yang ada di dalam diri Gayatri membuat Wijaya semakin penasaran. Akhirnya, membuatnya untuk mendekatinya sampai mereka bisa bersatu dengan cara yang sedikit dipaksakan.
“Jelas ada, tapi nanti saya jelaskan. Sekarang mau keluar dulu,” katanya.
Wijaya beranjak keluar. Duduk di ruang depan sembari merenungi hidupnya. Melihat keharmonisannya membuat teringat dengan ibunya. Wijaya ingin bertemu dengannya, walaupun hanya beberapa menit saja. Tapi, sampai saat ini saja Wijaya belum tahu harus bagaimana untuk mencari jalan kembali. Tambah lagi, saat ini ada hati yang harus dijaganya.
“Wijaya,” panggil Tunggadewi yang secara mendadak muncul di ruang depan.
“Ibu, ada apa?” tanyanya.
Tidak lama kemudian, Gayatri pun bergabung dengan mereka. Duduk bertiga dalam kesunyian. Selama beberapa menit tidak ada yang mau untuk membuka pembicaraan. Bahkan, Wijaya masih enggan untuk menjawab pertanyaan itu. Masih perlu dipikirkan matang-matang agar Wijaya bisa menjelaskan tentang siapa dia sebenarnya. Ada kekhawatiran jika kedua orang tua Gayatri tidak bisa menerima asal-usulnya. Wijaya tidak ingin hubungan yang baru saja harmonis, hancur dalam sekejap.
“Berasa kaya jangkrik, ya, krik ... krik,” kata Gayatri sembari tertawa tipis.
Tangan Wijaya meraih kepalanya. Mendekapnya sembari memainkan rambutnya. Terasa hanya hidup berdua. Padahal, ada Tunggadewi yang masih berada di tempat itu. “Dasar, lupa kalau masih ada Bunda, di sini?” godanya.
Beberapa waktu kemudian, Wijaya kembali ke kamar bersama Gayatri. Meninggalkan Tunggadewi seorang diri. Merebahkan diri di sana untuk istirahat. Mereka terlelap sekitar pukul sembilan malam. Akan tetapi, tepat pukul dua belas malam, Wijaya terbangun. Matanya melihat adanya sebuah asap yang menerobos dari bawah ranjangnya. Wijaya mengamatinya, sama seperti waktu itu.
Wijaya berpikir untuk menyentuh asap itu. Walaupun, sama sekali tidak bisa untuk disentuh. Setidaknya tangannya bisa merasakan efek dari asap itu. Terkejutnya, Wijaya malah kembali ke dunianya. Kini, Wijaya berada di mana ia tinggal. Terbaring di kasur tempat kos. Hidupnya benar-benar terasa aneh. Bahkan, dalam pikirannya masih terbayang gadis yang ada di dalam masa lampau itu. “Jadi, asap itu yang menjemput ku biar kembali, lalu Gayatri bagaimana?” lirihnya sembari menimpuk jidatnya, “bodoh Jaya, bodoh,” sambungnya sembari mengamati sekitar. Mencari asap yang bisa mengantarkannya kembali ke dunia Gayatri. Akan tetapi, dia tidak menemukan asap atau sesuatu yang terlihat aneh di dalam kamar kos.