Wijaya duduk di kursi berwarna hitam. Menghadap ke arah jendela. Menatap suasana di luar kos. Sepi, satu pun tidak ada orang yang melintas depan kamarnya. Terasa tidak nyaman dengan semua kejadian yang baru saja ia alami. Memikirkan apa yang sebenarnya selama beberapa waktu ke belakang ini. Masuk ke sebuah masa yang berbeda. Bertemu dengan orang-orang yang terasa asing dan seakan tidak memiliki pengetahuan yang cukup.
Matanya melihat ke arah meja. Menemukan sebuah laptop miliknya. Walaupun telah beberapa lama ia meninggalkan ruangan ini, pemilik kos tidak mengosongkan dan menyingkirkan barang-barangnya. Membuka laptop itu untuk mencari tahu tentang tujuannya datang ke tempat ini.
Membuka sebuah berkas yang berisikan tentang struktur skripsi yang belum selesai. Wijaya teringat dengan tujuannya yang datang ke tempat ini untuk melakukan penelitian tentang sejarah. Lalu, dirinya malah terjebak ke dalam dimensi masa sejarah. Benar terasa nyata adanya. Sesuatu kejadian yang tidak bisa dicerna secara logika. Tapi, Wijaya sendiri merasakan hal itu. Merasakan kejadian itu secara sadar. Sekarang, pikirannya masih berkecamuk dengan sosok Gayatri.
Dari jendela terlihat seorang pria sedang mengintip ke kamarnya. Wijaya yang merasa terganggu pun mendongak. Beranjak membuka pintu lalu menghampiri orang itu. Menanyakan perihal apa dirinya menguntit ke kamarnya. Ternyata, orang itu merasa heran dengan kehadiran Wijaya secara mendadak.
“Aku saja tidak melihatmu berjalan dari depan. Lantas, sejak kapan kamu kembali? Selama ini kamu pergi ke mana?” tanyanya dengan tatapan kata yang sedang menginterogasi.
“Dari tadi,” jawabnya.
Wijaya kembali masuk ke dalam kamar. Mengambil laptopnya lalu duduk di ranjang. Mulai kata demi kata, Wijaya menuliskan apa yang di alami selama beberapa waktu. Bahkan, lebih dari satu bulan. Tapi, dari kejadian yang di luar nalar itu, Wijaya mendapatkan gambaran yang mungkin memang terjadi di masa kerajaan.
“Lalu, bagaimana dengan wanita itu?” lirih Wijaya sembari menghentikan jemarinya uang sedang menari di atas papan itu. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal beberapa kali. Mendongakkan kepala untuk mencari sesuatu yang bisa menyelesaikan pikirannya. “Apa dia bakal jatuh ... Ah, Wijaya itu benaran tersesat di dunia Gayatri atau hanya lo yang berhalusinasi,” sambungnya mengacak-acak rambutnya.
Wijaya mengambil benda berbentuk persegi panjang, pipih itu. Menyalakannya, namun tidak bisa. Mengisi daya selama beberapa menit sembari digunakan untuk melihat isi di dalamnya. Ada banyak panggilan dari ibunya. Rasanya, Wijaya ingin menangis saking rindu dengan wanita itu. Rasa rindunya harus ditahan beberapa waktu. Wijaya melanjutkan untuk menuliskan semua kisah yang ada. Selain itu, Wijaya membaca halaman demi halaman yang sudah diketikkan sesuai struktur skripsinya. Wijaya harus memahami apa yang sebenarnya sedang dirancang agar bisa segera lulus dari sekolah tinggi.
Membuka aplikasi mesin pencari, membaca beberapa artikel yang ada. Mengumpulkan informasi untuk dikembangkan dengan bahasanya sendiri. Akan tetapi, pikirannya masih belum bisa fokus dengan sempurna. Secara tiba-tiba Wijaya memikirkan tentang statusnya yang menikahi Gayatri di dunia itu. Seketika juga semua informasi yang masuk ke otaknya pun bubar satu per satu. “Ahs, Jaya fokus,” lirihnya sembari memukul kepalanya pelan.
Tidak bisa dipungkiri, pikiran Wijaya masih saja ada di dunia itu. Memikirkan nasib Gayatri setelah dirinya berhasil kembali ke dunia aslinya. Padahal, Wijaya sendiri saat ini merasa aneh dengan kejadian itu. “Mau kaya bagaimanapun lo sudah kembali ke dunia kamu sendiri, melupakan adalah cara paling terbaik, Wijaya,” lirihnya dengan perasaan yang masih terasa bingung.
Wijaya mematikan laptopnya. Mengambil ponsel lalu keluar dari kamar. Melangkah untuk pergi jalan-jalan. Tapi, tepat di ruangan barisan depan, Wijaya merasa tidak nyaman dengan tatapan aneh orang-orang di sekitar. Ada beberapa orang yang merasa ketakutan dengan adanya Wijaya secara mendadak.
“Wijaya, kamu benar Wijaya, kan?” tanya ibu kos yang sedang menyirami tanaman.
“Iya, saya Wijaya. Memang ada apa?” jawab Wijaya bersikap baik-baik saja. Malahan, bersikap seperti tidak tahu dengan apa yang sedang mereka bicarakan. “Bu, maaf, apakah dompet saya ada di Ibu?” tanya Wijaya dengan sopan.
“Iya, ada. Waktu itu kamu menghilang, jadi saya simpan dompet kamu. Kamar juga saya kunci. Karena, saya berpikir kalau kamu akan kembali. Sebab, kamu pergi dengan meninggalkan semua barang-barang,” jawab ibu pemilik kos mematikan keran air.
Langkah kaki ibu itu ke arah ruangannya. Mengambil barang Wijaya yang ia simpan. Setelah Wijaya menerima dompetnya, tidak lupa untuk mengecek isi dari dompet itu. Wijaya bersyukur mendapatkan tempat kos dengan pemilik yang jujur. Isi dompetnya masih utuh. Wijaya berterima kasih dengannya. Lalu pergi meninggalkan kos untuk beberapa waktu. Wijaya ingin mencari makanan di tepi jalan.
Wijaya berhenti di salah satu warung tenda. Duduk disalah satu bangku yang ada. Memesan nasi goreng dan es teh. Menikmati makanan yang telah dirindukannya. Di saat itu, Wijaya melihat seorang perempuan yang sedang makan di tempat yang sama. Sekilas, dilihat dari belakang, wanita itu mirip dengan Gayatri. Membuatnya teringat kembali dengan sosok gadis yang menjadi idamannya. Apakah Gayatri baik-baik saja di dunianya? Wijaya menggelengkan kepalanya. Melanjutkan untuk menikmati makanannya.
“Mas bukan orang asli Palembang?” tanyanya dengan logat Bahasa Jawa.
“Bukan, saya dari Jakarta. Mas juga bukan asli dari sini, kan? Mas dari Jawa sebelah mana?” jawab Wijaya sembari mengambil air es yang baru saja diantar ke mejanya.
“Saya berasal dari daerah Kediri, Jawa Timur. Saya di Palembang sudah dua belas tahun, Mas. Oh iya, sudah tidak ada lagi yang mau dipesan?”
“Sudah, ini dulu saja,” jawab Wijaya dengan menjaga tata kramanya.
Beberapa menit kemudian, Wijaya telah menyelesaikan makanannya. Beranjak pergi kembali ke kos. Duduk di teras bersama beberapa anak kos lainnya. Mengobrol banyak hal sampai Wijaya menemukan sesuatu yang terdengar janggal. Menurut perkataan salah satu di antara anak kos, pernah ada suatu cerita di mana ada seorang pria yang tersesat di dimensi masa lalu. Hal itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Memang, kos yang ditempati Wijaya memang sudah tua. Terlihat jelas hal itu dari segi struktur bangunannya.
Ada pula kisah di mana ada seseorang yang menghilang selama beberapa tahun. Kemungkinan besar dia juga terjebak di dunia yang sama dengan apa yang pernah terjadi. Orang itu tidak bisa keluar dari dimensi itu karena tidak menemukan jalan keluar. Setelah mendengar penuturan itu, Wijaya merasa bahwa apa yang ia alami adalah benar adanya, bukan hanya halusinasinya saja.
“Tidak bisa kembali?” tanya Wijaya yang penasaran dengan cerita salah satu teman kosnya. “Memang hal itu benar terjadi?” sambung Wijaya untuk memastikan tentang dirinya yang baru saja mengalami hal itu.
“Iya, tapi sudah berapa puluh tahun yang lalu. Kalau untuk saat ini, sepertinya sudah tidak ada. Karena untuk saat ini kita selalu menuruti apa yang dikatakan orang tua. Apalagi, melamun dalam keadaan kosong atau tidur tanpa membaca doa.”
“Nah, berdoa itu memang wajib kalau melakukan sesuatu.”
Wijaya pamit untuk kembali ke kamar. Membuka kembali laptop untuk mengerjakan pekerjaannya. Seharusnya, waktu dia berada di Palembang telah melampaui batas. Tapi, dirinya belum menemukan informasi yang bisa digunakan untuk membuat skripsinya.
Teringat dengan ibunya, Wijaya menyalakan ponsel. Menghubungi ibunya dengan menunggu selama beberapa kali deringan. “Ma, maaf lama tidak ada kabar,” kata Wijaya setelah mengucapkan salam.
“Ya Allah, kamu itu ke mana? Kenapa tidak ada kabar sama sekali. Bahkan, Mama menghubungi saja tidak bisa. Kapan kamu kembali?” jawabnya dengan suara yang menahan tangis.
“Maafkan, Wijaya, Ma. Nanti, dua minggu lagi Wijaya pulang. Mama jangan lupa jaga kesehatan, ya,” jawab Wijaya yang sama sedang menahan tangis. Sebuah rasa rindu yang seutuhnya. Pertama kalinya Wijaya terpisah dengan ibunya dalam jangka waktu selama ini.
“Ya, sudah. Kamu selesaikan urusan di sana,” katanya lalu meminta agar Wijaya menutup sambungan telepon itu.
Sambungan telepon telah terputus. Wijaya mengingat sebuah tempat yang pernah ia datangi waktu itu. Mengambil ponselnya kembali untuk mencari nomor kontak pria yang mengantarkannya waktu itu. Akan tetapi, nomor itu telah hilang dari ponselnya. “Besok pergi sendiri saja,” lirihnya meletakkan ponselnya.
Membuka laptop untuk mencari sebuah film yang bercerita tentang sejarah. Akan tetapi, Wijaya menemukan film kerajaan-kerajaan khas China. Walaupun begitu, dia tetap menontonnya. Hobi yang selalu mengulik tentang sejarah telah melekat di dalam dirinya. Tak peduli film apa yang sedang ditonton, paling penting baginya adalah menceritakan tentang sebuah sejarah.
Matanya tak terasa telah terpejam. Laptop masih dalam keadaan menyala. Bahkan, film saja masih terputar di layar itu. Rasanya tubuh Wijaya terasa sangat lelah. Apa ada hubungannya dengan dirinya yang terjun ke dunia masa lalu?
Tak terasa, mentari telah menyinari bumi secara sempurna. Wijaya membuka matanya. Melihat laptop masih dalam keadaan menyala. Mematikannya lalu mengisi daya. Sementara itu, Wijaya membersihkan diri di sebuah kamar mandi. Tidak butuh waktu lama, Wijaya telah rapi dengan pakaiannya. .
“Bu, titip kamar, saya mau pergi. Kemungkinan sampai di kos sore nanti,” kata Wijaya pamit kepada pemilik kos yang sedang mencabuti rumput di halaman depan.
Wijaya melangkahkan kaki sampai di gang depan. Menunggu sebuah taksi yang sedang berlaku lalang. Sampai akhirnya, Wijaya menemukan sebuah taksi berhenti di halte yang tidak jauh dari gang. Wijaya mempercepat langkah kakinya. Masuk ke dalam taksi dengan perasaan yang jauh lebih bahagia.
“Pak, maaf, apakah bisa antar saya ke Museum Balaputradewa?” tanya Wijaya dengan sopan santunnya yang tetap terjaga.
“Bisa, Mas. Tapi, ongkos ... akan membengkak. Soalnya lumayan jauh.”
“Tidak apa-apa, Pak.”
Wijaya memasang sabuk pengaman. Setelah menempuh selama beberapa waktu, akhirnya Wijaya telah menginjakkan kaki di tempat itu. Sebuah museum yang bisa digunakan untuk melakukan riset. Sebuah perjalanan panjang yang membuahkan hasil. Akhirnya, Wijaya menemukan salah satu tempat yang memang bisa dijadikan sebagai tempat melakukan penelitiannya. Kenapa tidak dari lama, saat pertama kali? Wijaya menggelengkan kepalanya yang dihuni beberapa pertanyaan yang sedikit mengganggu di kepalanya.
“Selamat datang di Museum Balaputradewa,” ujar salah satu petugas yang sedang melayaninya dalam membeli tiket masuk.