Bab 4. Menutupi Luka

1190 Kata
Dokter yang baru saja masuk kaget dan spontan berbalik karena dipaksa oleh Alex. Alex mengusir semua orang yang bahkan baru sampai di depan pintu kamar. “Pak, bukankah kami harus memeriksa bayi Anda?” tanya salah satu dokter kebingungan. Alex segera menunjuk dengan wajah berang. “Tunggu di sini dan jangan banyak protes!” perintah Alex lalu berbalik cepat kembali ke kamar dan menutup pintu. Ia sedikit kelabakan bergegas mengambil salah satu selimut bayi dan merentangkannya di atas pundak terbuka Luna. Luna sedang terlelap dengan Arsenio berada di atas dadanya yang sedikit terbuka. Itulah mengapa Alex meminta para dokter itu keluar segera sebelum mereka melihat kondisi Luna. Alex melepaskan napas lega dengan wajah merona dan sedikit panas. Meski sedang tidur dengan posisi separuh berbaring tersebut tapi pundak mulus Luna terekspos begitu lantang. Alex membuang pandangannya dan keluar lagi dari kamar menemui dokter. “Sekarang kalian boleh masuk tapi istriku sedang tidur. Bangunkan dia perlahan,” ujar Alex sudah jauh lebih tenang. Dokter itu mengangguk dan masuk bersama rekan dan beberapa perawat. Sedangkan Alex menunggu di luar kamar sambil menatap pintu kamar yang terbuka. Dokter memeriksa sekaligus membantu Luna memindahkan bayinya ke tempat tidur. Arsenio hanya menderita demam biasa dan tidak diperlukan perawatan di rumah sakit. Akan tetapi, satu perawat akan ditugaskan menjaga bayi tersebut. Selama dokter sedang memeriksa serta merawat Arsenio, tidak sedikit pun Alex masuk dan melihat. Sehingga Luna tidak mengetahui apa pun tentang kejadian sebelumnya. Setelah kejadian tersebut, sikap dingin Alex makin kentara pada Luna. Ia makin jarang berada di rumah bahkan tidak pernah mau berbicara pada Luna. Luna hanya seperti pajangan di rumah itu. Setelah beberapa bulan berlalu, Luna baru diizinkan untuk keluar rumah dan mencari kegiatan lain. Waktu berlalu begitu lambat sampai Arsenio beranjak besar. Usianya kini hampir mencapai 17 tahun dan tumbuh sebagai remaja yang tampan. Meskipun demikian, sikap Alex tidak berubah pada Luna. Ia masih dingin dan hanya bicara sekedarnya. Luna dan Alex tinggal terpisah di kamar berbeda. Hanya di depan keluarga besar Henrick, Luna akan memegang lengan Alex. Namun tidak ada kehangatan. Ia hanya sekedar memegang tanpa bergelayut seperti pasangan jatuh cinta. Selama waktu berlalu, Alexander Henrick juga tidak memiliki senyum hangat layaknya seorang ayah kepada putra satu-satunya, Arsenio. Akibatnya, Arsenio menjadi remaja pemberontak yang sering membuat Alex sakit kepala. Sekarang, dia harus melihat satu-satunya ahli warisnya pulang dengan seragam sepak bola yang lusuh dan penuh keringat. "Apa-apaan ini? Kamu udah gak waras ya? Kamu gak denger peringatan Papa!" seru Alex memarahi Arsenio dengan nada tinggi dan kedua tangannya berkacak pinggang. Arsenio hanya mendengus pelan dan menggaruk sisi kepalanya menghadapi omelan ayahnya setiap hari. "Pa, seharusnya Papa ngasih semangat untuk aku. Kali ini aku menang, Pa. Klubku jadi juara! Ni lihat medalinya!” sahut Arsenio membela diri sambil memamerkan piala dan medalinya. Tapi Alex malah mengernyitkan kening dan makin tambah kesal. "Papa gak peduli dengan medali konyol kamu itu! Untuk apa kamu melakukan hal omong kosong macam ini!" bentak Alex makin keras. Suaranya terdengar sampai ke lantai dua. Luna yang baru keluar kamar, bergegas turun ke bawah untuk melihat yang terjadi. "Aku suka sepak bola, Pa, dan bakatku memang di sana! Aku bahkan selalu memenangkan turnamen. Sekarang aku bahkan berusaha buat bisa ikut audisi dan tes untuk masuk timnas. Aku pikir Papa bakalan bangga sama aku!" sahut Arsenio dengan nada ikut naik dan juga kesal. Namun Alex malah terkekeh sinis pada putranya itu. Ia memandang dengan sikap sebelah mata lalu menggelengkan kepalanya. "Kalau kamu mau buat Papa bangga, kamu harusnya sukses menjalankan perusahaan dan bisnis Papa, bukan malah ikut lomba konyol kayak gini!" Alex merebut medali milik Arsenio lalu melemparkannya ke lantai. "Pa!" teriak Arsenio kaget. Ia menoleh pada medali yang dibuang oleh ayahnya begitu saja ke lantai. Arsenio terengah kesal dan menahan emosi di dadanya karena perilaku Alexander yang tidak pernah menghargainya. Luna pun bergegas menghampiri dan memegang Arsenio. Ia takut jika Alex akan menyakiti Arsenio. Mata Alex langsung membesar saat melihat Luna tapi ia mengalihkannya pada Arsenio lagi. "Jangan coba-coba membentak Papa dengan nada bicara kamu yang gak sopan itu! Papa selalu meminta kamu untuk bersikap lebih dewasa. Kamu hampir 17 tahun, Arsen! Tapi lihat seperti apa kehidupan kamu setiap hari!!" Alex menghardik dan memarahi Arsenio lebih keras lalu berbalik untuk pergi dengan wajah kecewanya. Arsenio juga ikut marah dan kecewa tapi Luna segera menenangkannya. “Sayang, kamu gak apa-apa?” Luna bertanya dengan suara lembutnya lalu memegang kedua pipi Arsenio untuk mengeceknya. Arsenio malah membuang muka lalu melepaskan pegangan Luna darinya. Ia berjalan beberapa langkah untuk memungut medali yang dibuang oleh ayahnya tadi. Dengan kekecewaan yang besar, Arsenio memilih masuk ke dalam kamarnya dari pada tetap berada di sana. Ia lelah dan sangat kecewa. Bukan karena hidupnya, tetapi orang tuanya, terutama ayahnya. Arsenio adalah satu-satunya putra keluarga Henrick tetapi sikap ayahnya yang memperlakukannya lebih buruk daripada seorang karyawan yang bekerja di perusahaan ayahnya. Alex tidak pernah merasa puas dengan pencapaian Arsenio dalam hal apa pun. Keesokan harinya, Alex melewatkan sarapan pagi dengan Arsenio dan Luna. Ia turun dari lantai atas melewati ruang tamu untuk sampai ke lobby utama lalu berhenti. Dia melirik pada jam tangan sebelum berbalik dan melihat Luna yang cantik berdiri di samping meja makan. Luna sedang membantu dan berbicara dengan pelayan yang menyiapkan meja. Tanpa disengaja, Luna menoleh ke kiri dan menemukan Alex sedang memandanginya dingin. Alex membuang muka dan pergi setelah Luna memergokinya. Luna masih menatap sosok Alex berjalan keluar dari pintu tanpa menyapanya. Alex tidak pernah memperhatikan Luna sama sekali. Semuanya begitu dingin selama bertahun-tahun. “Berhenti di kafe di ujung sana. Aku mau mengopi sebentar," perintah Alex kepada asistennya yang duduk di kursi depan mobil. “Baik, Pak!” Alex sesungguhnya memiliki niat lain dengan tidak sarapan di rumah. Padahal Luna selalu menyajikan sarapan dan kopi setiap pagi untuknya. Sebaliknya, Alex ingin melihat cinta lamanya, Fianora Gunawan. Nora adalah mantan pacar Alex. Nora meninggalkan Alex setelah seorang wanita mengaku hamil hasil berkencan semalam. Nora marah lalu memutuskan hubungan mereka. Dia lalu menikah dengan seorang pengusaha bernama Bramastya Yogaswara. Pasangan itu baru pindah ke Jakarta bulan lalu. Bram adalah seorang pengusaha hotel yang memperluas usahanya dengan membangun hotel bintang bergengsi. Untuk alasan itulah mengapa Alex kini malah mengopi di kafe tersebut. Ia ingin melihat Nora yang sedang berkumpul dengan teman-temannya. “Pak, kita ada rapat jam sepuluh. Kita harus pergi sekarang!” Asisten Alex lalu datang untuk mengingatkan jadwalnya hari ini. Alex masih menatap Nora, yang mengabaikannya meskipun dia sudah melihatnya. Alex lalu mengangguk dan menyesap kopi sebelum berdiri dan berjalan keluar dari tempatnya. Nora sempat mengerling pada meja Alex dan tidak lagi melihat pria itu. Ia menghela napas lega setelah dari tadi dipandangi oleh Alex diam-diam. “Kamu kenapa?” tanya salah satu teman mengagetkan Nora. Nora tersenyum lalu menggeleng. Sementara itu mobil Alex sudah kembali berkendara di jalan. Beberapa menit setelahnya barulah, ia bicara. “Bagaimana dengan Bramastya Yogaswara? Apa dia akan datang?” tanya Alex tanpa mengalihkan matanya dari pemandangan di luar mobilnya. "Bapak akan bertemu Pak Bram di pertemuan asosiasi sore ini. Kabarnya, dia tidak sabar ingin bertemu," jawab asisten tersebut tanpa ekspresi. Alex menaikkan lengkungan cengir dari ujung bibirnya dan mendengus sinis. “Oh ya?” gumam Alex mengejek kecil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN