D'Fam Company

1714 Kata
Tak seperti hari biasanya, Erden pagi ini tidak terlihat seperti seorang dokter yang akan pergi ke rumah sakit. Kaos putih polos lengan pendek, dipadukan dengan celana jeans panjang berwarna hitam, juga jaket kulit berwarna hitam yang tersampir di pundaknya. Berjalan ke arah meja makan, dan menemukan bibi yang sedang menata makanan untuk sarapan. "Selamat pagi, Tuan," sapanya sopan. Ervan hanya mengangguk ringan lalu duduk di tempatnya. "Tuan tidak bekerja?" tanya bibi lagi seraya menghidangkan sarapan untuk Ervan. "Saya ada urusan lain, Bi," jawab Ervan seadanya. Bibi hanya mengangguk mengerti. Tak ingin bertanya lebih jauh lagi, bibi lalu pergi ke ruang tamu untuk kembali bekerja setelah sebelumnya pamit pada Ervan. Ervan menatap kursi di depannya. Kursi yang dulunya di tempati Azira, adiknya. Menghela nafas panjang, dan kembali memakan sarapannya. Setidaknya, beginilah kehidupannya setelah adiknya meninggal. Seperti tak ada kehidupan di rumah besar bak istana itu. Menyudahi sarapan, Ervan beralih pada ponselnya. Menekan beberapa digit angka di sana dan menempelkan di telinganya. "Sudah dapat infonya?" tanya Ervan. "Sudah, Bos. Saya baru mengirimnya ke email, Anda," jawab anak buahnya di seberang sana. "Baiklah." Ervan mematikan sambungannya sepihak dan mengecek emailnya. Sebuah dokumen yang di dalamnya terdapat data lengkap seseorang, beserta fotonya di sana. "Reva Anggista," gumamnya pelan membaca nama pemilik foto itu. Mengambil jaket miliknya dan beranjak dari sana. "Bi. Saya pergi," ucapnya melihat bibi yang sedang mengepel lantai di ruang tamu. "Iya. Hati-hati, Tuan," jawab bibi ikut mengantar Ervan ke luar. Ervan tak membawa mobilnya, melainkan motor sport kesayangannya yang sudah lama tak di pakai. ***** Reva masih terfokus pada objek di bawah sana. Kenapa pria itu bisa sampai di tempat dia bekerja? Apa dia adalah penguntit? Kalau benar, Reva akan di apakan? Di culik? Di jual? Atau di bunuh? Reva menggeleng cepat, apa-apaan pikirannya itu? "Reva, ada apa?" tanya Melin yang melihat Reva hanya berdiri sambil memandang keluar. "Eh." "Ah, gak apa-apa, Kak," jawabnya. "Sini dulu, Rev. Biar Kakak kenalin sama yang lainnya di divisi ini," ucap Melin dan Reva hanya mengangguk. Sedangkan jauh di bawah sana. Ervan berdiri di depan meja resepsionis. Masih bingung apakah dia akan menanyakannya atau tidak. Dia pun tidak mengerti kenapa dia jadi seperti ini. Yang jelas, dia sangat penasaran dengan gadis ini. "Permisi," ucap Ervan mengalihkan perhatian wanita yang berdiri di belakang meja. Sejenak, wanita itu terpukau dengan pemuda tampan di depannya ini. Mengagumi betapa sempurnanya ciptaan Tuhan yang satu ini. 'Tampan sekali' "Iya. Ada yang bisa saya bantu?" ucapnya tersenyum manis. "Reva Anggista. Dia bekerja di sini?" tanya Ervan. Wanita itu mengerut bingung. Dia baru mendengar nama itu. "Saya periksa sebentar," ucapnya dan Ervan hanya mengangguk. "Iya. Gadis yang Anda cari baru bekerja kemarin," ucap wanita itu lagi. "Di lantai mana?" tanya Ervan lagi yang tentunya membuat wanita itu bingung. Ervan sangat malas berlama-lama seperti ini. Merepotkan dan melelahkan. Bisa saja dia mencarinya sendiri, toh di data yang anak buahnya kirim semuanya lengkap dan detail. Tapi mengingat sistem keamanan di sini cukup ketat, jadi dia tak ingin mencari keributan dengan tuduhan sebagai penyusup atau mata-mata. Dia sedang malas mengeluarkan tenaga ekstra sekarang. "Di mana ruangan gadis itu?" ucap Ervan memperjelas pertanyaannya. "Maaf sebelumnya. Anda siapa yang bersangkutan? Apa sudah membuat janji? Kami tidak bisa memberi informasi lebih dalam mengenai karyawan kami," jelas wanita itu ramah. Ervan mendengus pelan. Inilah yang dia tidak suka. Terlalu berbelit. "Jadi, saya tidak bisa bertemu dengannya?" tanya Ervan menatap wanita itu. Wanita ber name tag Teila itu terlihat gugup saat Ervan menatapnya. Ervan terlihat berkali lipat lebih tampan. "Ti-tidak bisa, Tuan," jawabnya. Ervan mengangguk. "Baiklah. Saya bisa menunggu dia turun," ucapnya lalu pergi dari sana. "Ck. Menjengkelkan sekali," gumamnya terus berjalan entah ke mana. ***** Jam sudah menunjukkan pukul 12.35. Itu artinya adalah jam makan siang. Reva mematikan laptopnya dan menyimpannya. Dia merasa sangat bersemangat hari ini. Pekerjaannya tak cukup banyak, jadi dia bisa mengerjakannya dengan santai. "Reva. Udah selesai?" tanya Melin datang ke mejanya. Ada dua orang bersamanya yang Reva ketahui namanya yaitu Celin dan Gunta. Senior Reva di divisi itu. "Udah, Kak. Baru aja." Reva menjawab. "Bagus kalau gitu. Ayo ke kantin, kamu pasti belum hapal kantor ini 'kan. Ayo bareng kita," ucap Melin tersenyum. "Mm tapi, Kak. Aku bawa bekal. Kakak ke kantin aja," tolak Reva menunjukkan kotak bekalnya. "Haha. Lucu lo. Masa bawa bekal, udah kaya anak sekolah aja," kekeh Celin tertawa pelan. Reva hanya tersenyum canggung. Dia hanya sedang berhemat saat ini, jadi dia membawa bekal. Lagi pula dia masak banyak tadi pagi. Gunta yang satu-satunya pria di sana menyikut Celin. "Mulut lo lemes banget sih. Gak enak sama orangnya, b**o," geram Gunta mendengar cara bicara Celin. "Yaelah. Orang Revanya fine-fine aja kok. Ya 'kan Rev?" Reva ya hanya mengangguk saja. Belum terbiasa dengan sifat Celin. "Gak usah di denger, Rev. Celin emang asal ceplos anaknya," ungkap Melin yang merasa tak enak melihat ekspresi Reva. "Iya gak apa-apa, Kak. Aku masak banyak tadi pagi, jadi aku bawa aja dari pada gak kemakan nantinya." Reva memberi senyum. "Gimana kalau lo makan di kantin aja. Bawa bekal lo, dari pada sendirian di sini," usul Gunta di angguki Melin dan Celin. "Udah gak usah kebanyakan mikir. Gue udah laper nih," ucap Celin menggapai tangan Reva dan di tariknya pelan. "Eh. Iya deh, Kak." Reva segera berdiri tak lupa membawa kotak bekalnya. Di sepanjang perjalan menuju kantin, banyak karyawan yang menyapa Reva, serta mengajaknya berkenalan. Bahkan banyak juga pria di sana yang menggodanya. Reva hanya menanggapinya santai dan balas sapaan mereka, mungkin itu cara mereka untuk akrab dengannya, pikir Reva. "Baru sehari kerja udah jadi idola aja lo, Rev," ucap Celin terkekeh. Yaa Celin tak memungkiri kalau wajah Reva memang mendekati kata sempurna. Hampir malah. Wajar saja jika karyawan di sini banyak yang tertarik padanya. "Biasa aja, Kak. Namanya baru pertama kali liat aku," jawab Reva tersenyum. "Tapi bener loh Rev. Buktinya Pak Bos kita aja langsung suka sama kamu," bongkar Melin membuat Reva melotot. Bisa-bisanya Melin berucap seperti itu di depan umum seperti ini. Reva sangat malu. "Apaan sih, Kak. Jangan gosip deh," ucapnya malu dan kesal. "Beneran, Lin? Wah, lucky banget lo bisa bikin Pak Bos kepincut," ucap Celin antusias. Pesanan mereka, minus Reva, sudah selesai. Melin mengambilnya di bantu oleh Celin yang juga membawa nampan itu menuju meja kosong di sudut kantin. "Selama ini gue kira Pak Bos itu gay," lanjutnya kemudian tertawa. Tak! "Malu-maluin lo. Ingat tempat dong astaga." Gunta setelah memukul bahu Celin. "Santai aja dong gak usah mukul gue gitu. Gue patahin tu tangan, tau rasa lo!" jawab Celin kesal. Melin yang sudah biasa melihat mereka berdua bertengkar hanya diam saja. Berbeda dengan Reva yang sesekali tertawa, merasa terhibur oleh tingkah seniornya ini. Reva pikir dia akan sendirian di perusahaan besar ini. Sendirian dalam artian berada dalam keadaan canggung dengan mengatasnamakan 'senior' dan 'junior'. Tapi dia bisa bernafas lega dengan adanya mereka sebagai seniornya. "Habisin dulu makan kalian, baru berantem," ucap Melin memberi perintah. Gunta dan Celin hanya menurut walaupun masih saling melempar tatapan sinis serta plototan, dan saling mengancam tanpa mengeluarkan suara. Sama sekali tak terlihat seperti karyawan kantor. Sibuk dengan makanannya masing-masing, sampai tak menyadari seseorang berdiri di depan meja mereka saat ini. "Permisi." Pemuda itu akhirnya bersuara membuat atensi mereka berempat teralihkan. Berbeda dengan seniornya yang tampak bingung, Reva justru memelototkan matanya melihat pemuda di depannya ini. Mau apa pemuda ini sampai mencarinya di sini? Lama mereka menatap pemuda itu hingga akhirnya Gunta bersuara. "Maaf, Anda siapa?" tanya Gunta pada pemuda itu. Penampilannya sangat mencurigakan. Mengingat hanya dirinya laki-laki di antara ketiga rekannya, jadi Gunta memberanikan diri untuk berdiri menghadap pemuda ini. Melindungi para gadis. "Kamu Reva? Benarkan?" tanyanya menatap Reva, mengabaikan Gunta. Baiklah, Reva mulai takut sekarang. Bagaimana bisa pemuda ini sampai mengetahui tempatnya bekerja? Bahkan tau nama aslinya, setelah kemarin pemuda ini memanggilnya dengan nama Azira. "I-iya," jawab Reva pelan. "Saya ingin berbicara sebentar. Ikut saya," ucap Ervan lagi membuat Reva semakin takut. Melihat reaksi Reva, Gunta segera mengambil tindakan. Menghalangi pria di depannya ini. "Maaf, tapi Anda siapa? Anda tidak bisa membawanya dari sini. Jika ingin bicara, Anda bisa bicara di sini," ucap Gunta lagi. "Dia adik saya kalau Anda mau tau," lanjutnya sebelum Ervan membalas ucapannya. Melin dan Celin cukup terkesan dengan kalimat Gunta yang satu itu. Apalagi Reva. Di balik sikap konyolnya, ternyata Gunta juga memiliki sikap yang tegas dan melindungi. Ervan berdecak kesal. Apakah pria di depannya ini berfikir bisa membodohi Ervan? Ayolah, Ervan bahkan sudah tau bagaimana seluk beluk kehidupan Reva. "Oke, Baiklah." Ervan masih setia menatap Reva yang menatapnya sedikit takut. "Saya hanya ingin meminta maaf soal kemarin---" Ucapan Ervan terhenti mendengar ponselnya berdering. Menatap Reva sebentar lalu mengangkat panggilan itu. "Saya cuti hari ini," ucap Ervan pada orang yang menelfonnya. "Apa kau fikir hanya saya dokter di sana?" Wajah Ervan tampak kesal sekarang. "Ck. Baiklah." Ervan langsung mematikan sambungannya, dan kembali menatap Reva. Menyimpan ponsel itu dan mengambil sesuatu di dalam saku jaketnya. "Simpan kartu nama saya. Dan jangan terkejut, jika nanti saya menemuimu lagi," ucapnya meletakkan sebuah kartu nama di sana dan berlalu pergi tanpa mendengar jawaban dari Reva. Reva dapat bernafas lega sekarang, setidaknya untuk saat ini laki-laki itu sudah pergi dari hadapannya. "Lo kenal dia Rev?" tanya Gunta pada Reva yang hanya menggeleng sebagai jawaban. "Trus kok dia sampai tau kamu di sini?" sambung Melin juga penasaran. Itu dia yang Reva tidak tahu. "What!" pekik Celin tiba-tiba membuat mereka terkejut. "Apa sih Cel. Nggak teriak bisa gak?" ucap Melin kesal. "Liat deh. Wah, Rev. Yang tadi itu gak main-main loh. Yang ngedeketin lo pewaris D'Fam Company. Keren banget lo, asli." jelas Celin menggebu-gebu. Melin langsung mengambil kartu nama tersebut, dan membulatkan matanya saat membaca nama Ervan. "Kok aku gak ngenalin ya tadi," gumam Melin masih terkejut. "Emangnya kenapa, Kak?" tanya Reva polos. Dia sungguh tidak mengerti dengan ucapan mereka. "Astaga. Lo kok kudet banget sih. Masa lo gak tau siapa dia," ucap Celin gemas. Memangnya Reva ini hidup di zaman apa? Dan di mana? Orang berpengaruh seperti keluarga Ervan, dia sampai tidak tau. Keterlaluan sekali. "Ya, aku 'kan gak ngurusin dia, Kak. Lagian gak penting buat aku," jawab Reva acuh. "Speechless gue dengernya," ucap Gunta di angguki Melin dan Celin. The real of polos dan g****k itu beda tipis. "Oke. Sepertinya menarik jika dia, aku gunakan sebagai umpan," ucap pemuda itu yang memperhatikan Reva dari jauh. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN