Karena Dokter

1749 Kata
Memarkirkan mobilnya di parkiran khusus rumah sakit, Ervan keluar, masih dengan setelannya saat dia pergi tadi. Terlalu malas untuk menggantinya ke rumah. Berjalan melewati lorong demi lorong rumah sakit yang tentunya banyak menarik perhatian orang-orang di sana, terutama bagi para perawat dan dokter di sana. Pertama kali bagi mereka melihat Ervan dengan pakaian seperti itu. Pakaian santai dan jaketnya yang kini tersampir di bahu kanannya, menampilkan lengannya yang berotot. Pemandangan yang cukup menyegarkan mata. Namun Ervan hanya menanggapinya biasa. Mereka saja yang berlebihan, pikirnya. Berlebihan katanya? Hell, wanita mana yang tidak terpana melihat bicep-bicep kekar itu? "Dokter Er- Astaga!" pekik Riska terkejut ketika menatap Ervan. Sungguh demi apa pun, Riska ingin pingsan saja sekarang. "Ya ampun Dokter! Kaki Riska lemes, bentar lagi mimisan ini! Dokter! Tolongin Riska! Riska mau pingsan!" pekik Riska heboh mengipasi wajahnya yang memerah. Ervan menatap heran rekannya ini. Ada apa dengannya? Pikir Ervan. "Kenapa sih? Kok berisik banget-" Ucapan Zaki terhenti saat menatap Ervan. Pantas saja satu rumah sakit heboh, ternyata ini biangnya. Zaki beralih menatap Riska yang sibuk membersihkan darah di hidungnya. Riska mimisan. "Ya ampun. Kamu mimisan, kamu sakit?" tanya Zaki membantu Riska. "Dia mimisan setelah melihat saya," jawab Ervan santai dan berlalu dari sana, masuk ke dalam ruangannya. Zaki berdecak kesal. Sempat-sempatnya dokter tampan itu memuji dirinya sendiri setelah membuat anak orang mimisan. "Kamu lebai deh Ris. Ayo aku bantu," ucap Zaki membantu Riska berjalan ke ruangannya untuk mengobati Riska. Kuat sekali aura Ervan sampai membuat orang mimisan. Pikir Zaki. Di ruangannya, Ervan sudah mengganti pakaiannya. Lengkap dengan jas putih khasnya sebagai seorang dokter. Dia tak ingin membuat satu rumah sakit mimisan karena melihat penampilannya tadi. Sudah terlambat wahai dokter tampan! "Bagaimana ruangan itu?" tanya Ervan entah pada siapa. "Aman. Dia masih dalam pengawasan kami, Bos," jawab orang itu. Ervan mengangguk-angguk kecil. "Kurangi keamanannya," ucap Ervan lagi. Tak ada jawaban. Mungkin mereka bingung dengan perintah Ervan. Apa maksudnya dengan kata 'kurangi' itu? "Biarkan 'mereka' mencari apa yang 'mereka' mau," lanjut Ervan menjelaskan. "Tapi, Bos ...." "Ayolah, kasihan mereka," ucap Ervan terkekeh pelan. "Sesuai perintah, Bos," jawab anak buahnya. Ervan menekan tombol di ujung earpiece di telinganya. Memutus sambungan itu secara sepihak. "Mari kita lihat siapa yang memanfaatkan kesempatan ini dengan baik," gumamnya dan melangkah keluar setelah menyimpan earpiece tersebut di saku jasnya. ***** Ervan memasukkan kedua tangannya di saku jasnya. Berjalan santai namun dengan langkah yang lebar, orang-orang mungkin akan berpikir Ervan sangat tergesa-gesa saat ini. Lihat saja langkahnya, seperti sedang lomba jalan cepat saja. Dia kembali teringat pada saat tadi dia masuk ke kamar pasien yang dulu dia pindahkan. Pasien itu mengatakan kalau dia tak ingin di rawat. Tak aman katanya. Pria itu berucap seperti dia sangat tau tempat paling aman di dunia ini. Ya walaupun Ervan dapat melihat raut ketakutan yang sangat kentara di wajah pria itu. Apalagi ketika Ervan berhasil menemukannya di bagasi mobil waktu itu, pria itu seperti di kejar oleh malaikat maut. Itulah salah satu alasan Ervan memindahkan ruangan pria itu. "Dok." Ervan menoleh, ternyata Dokter Reza. Sebenarnya, Ervan hanya mengenal beberapa dokter di rumah sakit ini, ah tepatnya hanya tiga orang dokter, Zaki, Riska, dan Nanda. Selebihnya Ervan hanya sekedar tau, itupun setelah melihat tanda pengenal yang tersemat di saku jas, di d**a sebelah kanan mereka. Namun untuk Dokter Reza, Ervan bahkan sampai menghapal suaranya. Itu karena dia melihat Reva yang menemani istri Dokter Reza melahirkan tempo hari. Lewat CCTV tentunya. Jadi, siapa tau saja Dokter Reza sedikit banyaknya tau tentang gadis itu. "Ya?" jawab Ervan dengan tampang datarnya, itu sudah pasti. "Bagaimana dengan pasiennya? Maaf saya jadi mengganggu kegiatan Dokter hari ini," ucap Dokter Reza menatap Ervan dari samping. "Dia tak ingin di rawat," jawab Ervan membuat Dokter Reza sedikit terkejut. "Kenapa? Bukankah semua biayanya sudah di tanggung? Lalu apa yang dia masalahkan?" tanya Dokter Reza beruntun. Ervan hanya mengedikkan bahunya acuh. "Apa Dokter menyetujuinya?" tanyanya lagi. Ervan berhenti melangkah, pun Dokter Reza yang ikut berhenti. "Dan membiarkannya mati?" alis Ervan terangkat sebelah menatap Dokter Reza. "Ah, bukan begitu maksud saya-" "Saya akan merawatnya," ucap Ervan cepat lalu berbalik meraih kenop pintu ruangannya. "Kalaupun dia mati, saya rasa rumah sakit ini bukan tempat yang buruk," lanjutnya sebelum benar-benar masuk ke dalam ruangannya. Dokter Reza mengulas senyum tipis. Dia pikir hati Ervan sama dinginnya dengan sifatnya. Ternyata tidak. Benar kata orang, setiap orang memiliki caranya tersendiri untuk berekspresi. ***** Seperti yang Melin katakan tadi pagi, sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Nisa, membantu atasan mereka yang baru melahirkan itu untuk berberes rumah. "Nah udah sampe," ucap Melin melepas sealtbelt dan keluar dari dalam mobil, begitupun dengan Reva. Reva terkagum melihat rumah besar di depannya. Rumah idamannya bersama sang ibu. Hah, andai saja ibunya masih ada pasti Reva meminta Melin untuk mengajak ibunya sekalian. "Rev, ayo. Kok malah bengong." Reva menoleh ke depan, ternyata Melin sudah sampai di ambang pintu. "Ah iya, Kak," ucapnya seraya berjalan menuju Melin. "Ayo, masuk aja. Tadi aku udah izin sama Mas Reza juga. Kalau sama Mbak Nisa, pasti gak bakal di bolehin. Dia itu paling anti di bantu, repotin katanya," ucap Melin terkekeh pelan. Reva hanya mengangguk mengerti dan mengikuti Melin masuk ke dalam. "Kakak kayaknya akrab banget sama mereka," ucap Reva membuat Melin menoleh padanya. "Ya bisa di bilang, kalau Mbak Nisa yang bikin aku jadi kayak gini," jawab Melin dan Reva hanya diam mendengarkan. "Gimana ya, sederhananya ini adalah bentuk balas budi aku sama mereka," lanjutnya dan Reva hanya mengangguk setelahnya. Mungkin itu terlalu privasi bagi Melin, jadi Reva bisa mengerti. "Trus sekarang kita mulai dari mana dulu, Kak?" tanya Reva mengalihkan pembicaraan. "Ah ya, kayaknya kita bakal masak aja buat mereka. Urusan beres-beres rumah, aku udah nyewa orang. Soalnya kita udah telat, jadi gak bakal keburu kalau kita berdua bersihin rumah besar ini," jawab Melin. Reva hanya mengangguk, toh Melin yang lebih tau, dia 'kan hanya membantu saja. Reva memang bisa memasak, ya walaupun tak terlalu mahir tapi setidaknya tenaganya di butuhkan di sini. Melin membagi tugas mereka, Melin yang membuat kue dan cemilan ala kadarnya, dan Reva yang memasak menu untuk makan malam nanti. Itu tak masalah, dapur besar itu dapat menampung semuanya, dan juga bahan-bahan masakannya tersedia cukup banyak di sana, jadi mereka tak perlu lagi repot-repot berbelanja. Mereka bekerja 1 jam lebih, makanan dan perangkatnya sudah tersaji di atas meja makan. Rumah pun sudah bersih dan kinclong, wangi pula. Semoga saja Nisa dan bayinya nyaman ketika sampai di rumah nanti. "Hah, selesai juga," ucap Reva selesai menata piring terakhir. Melin yang melihat itu terkekeh. Reva sudah seperti mandi, basah kuyup. Bedanya ini adalah keringatnya sendiri. Salah dia sendiri yang sedari tadi tak bisa diam. Melin saja bingung melihat Reva yang heboh karena lupa menumis bawang terlebih dahulu tadi, yang lebih parahnya Reva hampir menangis saat merasakan sup yang dia buat terlalu asin. Padahal 'kan tinggal di tambah air saja agar tidak asin lagi. 'Nanti kalau Mbak Nisa sama Dokter Reza sakit perut gara-gara masakan aku gimana, Kak?' kira-kira begitulah katanya tadi. "Masih ada waktu nih. Kamu mandi dulu gih, kamar mandinya di sana," ucap Melin menunjuk kamar mandi tak jauh dari dapur. "Eh, tapi aku gak bawa baju ganti, Kak. Aku pulang aja deh. Aku cuma niat mau bantuin aja kok tadi," ucap Reva cepat melepas apron yang masih terpasang di tubuhnya. "Gak bisa gitu dong. Kamu mau Mbak Nisa marah sama kamu? Udah, masalah baju ganti aku ada bawa kok. Aku udah prepare dari rumah," jawab Melin menunjuk sebuah paperbag di kursi sofa sana. Reva pikir itu tadi bingkisan hadiah untuk Nisa dari Melin. Ternyata baju ganti. Reva tadinya sempat tak enak hati karena tak membawakan apa-apa untuk Nisa dan bayinya. "Tapi, Kak-" "Udah sana mandi. Aku juga mau mandi ntar," ucap Melin kembali sambil menenteng paperbag itu dan memberikannya pada Reva. "Aku bawa dua pasang, lengkap kok. Kamu pilih aja nanti yang cocok sama kamu," ucap Melin dan Reva hanya mengangguk mengiyakan. Mau bagaimana lagi, Melin sudah memaksanya dan dia juga tidak nyaman dengan keringat dan gerah di tubuhnya. Dia memang butuh mandi. ***** "Zack, aku menemukan ayahmu," seorang pemuda datang dan langsung menyampaikan informasi itu pada pemuda yang tadi dipanggil Zack itu. Zack langsung berdiri dan menatap tajam pria di depannya ini. "Sedikit saja informasimu salah, kupastikan hidupmu berakhir," ucap Zack menodongkan belati pada pria di depannya. Dengan susah payah pria itu mengangguk. Melihat betapa runcing dan tajamnya ujung belati itu, telak membuat dirinya ketakutan setengah mati. "Katakan," ucap Zack menurunkan belatinya. "Ceritanya panjang, tapi yang jelas ayahmu berada di rumah sakit tempat Ervan bekerja. Dia bahkan berada di ruang khusus dengan beberapa anak buah Ervan di sana," jelas pria itu. Zack marah. Tangannya mengepal kuat saat mendengar nama Ervan. Apa Ervan sudah menjadi pengecut dengan membawa ayahnya dalam masalah ini? "Untuk apa baj*ngan itu mengurung ayahku?" tanya Zack lagi. Bukankah itu yang sekarang terjadi? "Aku tidak mengerti. Ayahmu memang bersama Ervan, tapi Ervan tak melakukan apa-apa selain merawat ayahmu. Yaa, seperti Dokter dan Pasien pada umumnya." "Aku rasa, Ervan tak mengenali kalau itu ayahmu," lanjutnya membuat Zack setidaknya dapat bernafas lega. "Bagaimanapun juga, malam ini kita harus bisa membawa ayahku. Bagaimanapun caranya," ucap Zack langsung di angguki oleh pemuda itu. Ya, pemuda itu tau betul dengan sifat ketuanya ini, apapun kata yang keluar dari mulutnya adalah hal yang mutlak. Coba saja menyanggah jika tidak ingin lagi melihat dunia ini. Walaupun dunia itu kejam, tapi percayalah Zack lebih kejam daripada itu. Terlebih lagi musuh bebuyutannya yang satu itu. Sedangkan di lain tempat. Ervan hanya menatap pria paruh baya yang terbaring di ranjang rumah sakit itu selama 15 menit. Ntahlah, dia tak ingin membangunkan pasiennya itu. Namun tak lama, pria itu mengerjapkan matanya dan perlahan mulai terbuka. Objek yang pertama kali di lihatnya adalah Ervan, yaa walaupun masih terlihat sedikit samar. "Dokter?" Pria itu tampak bingung dengan kehadiran Ervan. Ini terlalu awal untuk sekedar memeriksanya bukan? Pukul 1 dini hari, lalu mengapa dokter itu sudah berdiri di sana? Dan sejak kapan? "Bagaimana? Masih ingin pergi?" tanya Ervan tanpa basa basi. Masih dengan tatapan bingungnya, namun tak urung pria itu mengangguk. "Baiklah." "Berikan satu alasan yang bisa saya terima," ucap Ervan lagi dan kali ini pria itu tampak menghela nafas lelah. "Saya tidak aman di sini." Alasan itu, lagi. "Kau tau tempat aman di dunia ini?" tanya Ervan lagi. Pria itu tak menjawab. Dia pun tak tau apakah dunia ini aman untuknya? "Mengapa kau bisa berpikiran kalau rumah sakit tidak aman untukmu?" lagi Ervan mendesak pria itu agar menjawab. "Karena kau, Dokter," ucap pria itu cepat. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN