Selamat membaca!
Mungkin karena sakit dan mati rasa sebelumnya, membuat jahitan pertama yang dilakukan dokter tidak begitu menyakitkan. Jadi hal itu masih membuatku merasa tenang.
"Ya Tuhan, apakah kamu tidak merasa kesakitan sama sekali, Dinda?" tanya pria yang sejak menggenggam tanganku saat ini.
Ya, sejak tadi Tuan Firdaus terus melihatku dan menemaniku tanpa beranjak ke mana-mana. Mungkin dia mulai berpikir bahwa otakku rusak sehingga jarum yang menusuk-nusuk kulitku tidak memberikan efek apa pun.
Aku hanya menggelengkan kepala dengan singkat dan tersenyum. "Tidak."
Setelah dokter selesai menjahit, dia tersenyum dengan kagum. "Wanita muda ini benar-benar berani. Dia menjahit enam belas jahitan tanpa anestesi dan bahkan dia tidak merasa sakit sedikit pun."
Dokter itu terlalu menilaiku seperti seorang pemberani, tapi sebenarnya aku tidak seberani itu. Bukannya tidak merasa sakit, hanya saja aku menahannya dengan sekuat tenaga agar tidak berteriak seperti Nona Keisha yang juga mendapatkan penanganan medis di sebelahku.
Seketika ada sesuatu yang terbesit dalam pikiranku. Tanpa menunggu lama, aku meminta bantuan Tuan Firdaus yang berada di dekatku untuk membantuku. Bukan karena aku manja, tapi memang aku masih belum bisa berjalan sendirian. Luka yang baru dijahit ini akan terbuka jika aku terlalu menekannya.
"Tuan boleh saya minta tolong?"
"Minta tolong apa? Apa kamu ingin saya belikan makanan atau minuman?" tanyanya dengan raut yang masih terlihat cemas.
"Tidak bukan itu. Tolong ambilkan kursi roda karena saya mau menemui Nona Keisha yang berada di sebelah."
Tuan Firdaus menganggukkan kepala, menyanggupi permintaanku. Dia pun keluar sebentar dan tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa kursi roda.
"Biar saya bantu, kamu jangan terlalu banyak bergerak!" titahnya dan langsung menggendong tubuhku untuk dipindahkan dari atas ranjang ke kursi roda.
Seketika jarak antara wajahku dengan wajah tampannya menjadi begitu dekat. Pria ini nyaris sempurna. Bahkan aku sama sekali tidak menemukan ada permukaan wajahnya yang rusak ataupun bekas jerawat di sana. Dia benar-benar tampan dan semakin terlihat jelas karena perhatian yang dia berikan padaku.
"Sejak aku kecelakaan dia bersikap sangat baik dan juga perhatian. Bahkan dia menuruti apa pun yang aku minta dan ini tidak seperti biasanya. Kalau sekarang aku memintanya untuk jangan terlalu tampan di rumah sakit, apakah dia akan menurutinya juga?" batinku membayangkannya sambil tersenyum.
Mengetahui bahwa dia sangat tampan. Membuat para suster akan lebih memperhatikannya. Maka itulah, dia bisa dengan cepatnya mendapatkan kursi roda ini.
"Sekarang biar saya sendiri yang menemui Nona Keisha. Tuan tunggu di sini saja ya!" Aku sengaja memintanya untuk tidak ikut karena ada hal penting yang harus aku bicarakan pada wanita yang telah menyakitiku itu dan aku tidak akan pernah menganggapnya enteng.
"Tidak masalah, jika kamu mampu!" jawabnya dengan ekspresi datar.
Tuan Firdaus hanya menatap kepergianku. Melihat heran. Mungkin dia penasaran, apa yang akan aku lakukan dengan menemui Nona Keisha saat ini.
"Ternyata Tuan Firdaus lebih manusiawi dari yang aku bayangkan, dia benar-benar menemukan kursi roda ini untukku. Bahkan dia sampai menggendongku untuk bisa duduk di sini." Saat ini, entah kenapa rasa benci terhadap dirinya mulai sedikit memudar. Aku benar-benar tidak bisa berhenti mengaguminya dan mungkin semua yang terjadi hari ini tidak akan pernah bisa aku lupakan dalam ingatanku.
Setibanya di depan ruangannya, aku pun mengetuk pintu, lalu tanpa menunggu perintah, aku mulai masuk ke dalam.
Dia langsung mengetahui kedatanganku. Kedua alisnya seketika bertaut penuh tanda tanya. "Kenapa?"
Setelah memberhentikan kursi roda ini tepat di sampingnya. Aku pun langsung mengutarakan maksud kedatanganku ke ruangannya dengan sorot mata menajam. Sengaja aku tampilkan raut wajah dengan guratan tegas agar wanita ini tahu bahwa apa yang aku katakan bukan main-main.
"Saat ini, saya memiliki 16 jahitan di kaki dan ini pastinya akan meninggalkan bekas luka. Jadi karena itulah, kamu harus memberiku kompensasi sebesar 200 juta atau saya akan menuntutmu!" Begitulah ancaman yang keluar dari mulutku. Aku harus menuntutnya karena dia mengemudi dengan tidak fokus dan membahayakan nyawaku.
Dia mulai membuka mulutnya dan melupakan tangisannya sejenak. "Apakah kamu tergila-gila dengan uang?"
Tanpa memedulikan pertanyaannya, aku langsung mengeluarkan memo dari tasku dan mulai menuliskan nomor rekening bank milikku dan nomor w******p milikku. Setelah merobek kertas dengan deretan angka yang tertulis di atasnya, aku langsung memberikan tepat di telapak tangannya yang terbuka. "Ini ambillah! Kamu itu kan seorang publik figur. Jadi saya tidak ingin sampai membuat kamu malu. Lagi pula saya sekarang sedang menganggur dan tidak ada pekerjaan. Jadi kalau kamu lebih peduli dengan uang kecil ini dan tidak mengganti rugi atas yang saya alami, maka saya akan memberitahu media dan beritanya pasti akan langsung diketahui oleh banyak orang. Dalam sekejap kamu dan keluargamu akan menjadi populer!"
Wajahnya terlihat bingung. Dia seperti sedang berpikir sambil melihat apa yang aku tulis pada kertas yang kini ada dalam genggamannya.
"Ingat, Nona! Saya tunggu transferan Anda!" Aku pun berbalik dan menjalankan kursi roda yang aku duduki ini untuk segera keluar dari ruangannya. Namun, alih-alih kembali ke ruanganku, aku tidak sengaja bertemu seorang dokter di bagian obstetri dan ginekologi. Aku memanfaatkan pertemuan itu dan langsung membuat janji dengannya untuk melakukan operasi besok.
Namun, dokter itu melihat kakiku dengan heran. "Apakah Anda benar-benar dapat melakukan operasi dalam keadaan seperti ini?"
"Dokter, kakiku ini tidak ada hubungannya dengan operasi yang akan dilakukan besok," kataku.
Jika aku tidak melakukan secepatnya, janin ini akan terus tumbuh kembang menjadi lebih besar dan hal itu hanya akan menyakiti tubuhku. Lagi pula aku takut jika perasaan tidak tega untuk menggugurkannya nanti bisa muncul di hatiku.
Setelah selesai membuat janji, aku kembali menjalankan kursi rodaku. Kali ini aku mengarahkannya menuju sebuah lift yang berada di sudut ruangan.
Setibanya di lantai utama, aku langsung keluar dan terus menjalankan kursi rodaku menuju luar gedung rumah sakit. Di pelataran rumah sakit, aku langsung dapat menaiki sebuah taksi yang kebetulan baru saja menuruni penumpangnya.
Melihat kondisiku yang seperti ini dan hanya seorang diri, membuat dia langsung membantuku. Pengemudi itu benar-benar bersikap baik. Dia tidak hanya membantuku masuk ke dalam taksi, tapi dia juga meletakkan kursi rodaku di bagasi.
"Terima kasih ya, Pak."
"Sama-sama, Mba. Ke mana tujuan kita?" tanyanya yang sudah siap melajukan mobilnya.
Setelah mengatakan ke mana tujuanku, kini taksi pun mulai melaju dengan perlahan meninggalkan pelataran lobi rumah sakit. Namun, tiba-tiba aku seperti melihat sosok yang melintas tepat di sampingku. Seseorang yang sepertinya aku kenal, tapi aku tidak bisa memastikannya.
"Aku tidak yakin jika itu adalah Tuan Firdaus, tapi untuk apa dia mengikutiku? Ya Tuhan, aku lupa berpamitan dengannya." Namun, taksi ini sudah terlanjur jauh dari rumah sakit dan aku pun memilih untuk tetap melanjutkan perjalanan pulang.
***
Setibanya di rumah, Bi Lusi menyambut kepulanganku dengan ekspresi terkejut karena saat pergi meninggalkan rumah pagi tadi, aku dalam keadaan baik-baik saja dan malam ini aku kembali menggunakan kursi roda dengan kaki yang diperban. Bahkan pakaianku tampak dipenuhi oleh bercak darah.
"Nona Dinda, apa yang terjadi?" tanyanya dengan mulut yang terbuka lebar. Dia benar-benar syok melihat kondisiku saat in.
"Tidak perlu khawatir, Bi. Aku hanya kecelakaan mobil."
"Ya ampun, Nona. Terus dokter bilang apa? Apakah lukanya cukup parah?" tanyanya lagi yang tidak bisa berhenti mengkhawatirkanku.
"Semuanya baik-baik saja, Bi. Hanya kakiku yang terluka, tapi dokter sudah menjahitnya. Oh ya Bi, tolong beritahu Anggi ya supaya dia juga membantuku."
"Baik, Nona." Bi Lusi langsung melakukan apa yang aku minta.
Tak lama kemudian, Bi Lusi sudah kembali datang bersama Anggi dengan tergesa-gesa dan mereka berdua pun bekerja sama untuk membantuku masuk ke dalam rumah.
Melihat celanaku yang berlumuran darah, mereka pun berinisiatif membantuku untuk mandi dan mengganti pakaian. Selesai dengan itu, Bi Lusi juga membawakanku banyak makanan ke kamar. Kondisi saat ini tidak terlalu buruk karena aku tak menjalaninya sendiri. Kehadiran Bi Lusi dan Anggi benar-benar sangat meringankan semuanya.
Kini aku mulai makan dengan nyaman di tempat tidur sambil menonton TV. Bi Lusi duduk di sampingku sambil terus memperhatikanku, mungkin dia mulai berpikir bahwa wanita sepertiku tidak berperasaan. Di saat kakiku sedang terluka, tapi aku masih bisa tertawa ketika menonton variety show sampai menunjukkan gigi kelinciku.
Bukannya aku tidak punya hati, hanya saja di situasi yang sedang kuhadapi sekarang ini, aku tidak boleh menjadi lemah karena itu hanya akan membuatku lebih mudah terluka dan menangis.
Kini aku sedang menikmati kuah sup ikan yang dibuat Bi Lusi untukku, supnya sangat enak dan aku sangat menyukainya. Hal ini tak luput dari pengamatan Bi Lusi yang sejak tadi memang tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dariku.
"Nona suka dengan supnya?" tanya Bi Lusi sambil memandangku dengan penuh kelembutan.
"Aku sangat menyukainya. Sup ikan buatanmu sangat enak."
"Besok pagi saya buatkan lagi ya untuk Nona."
Sesaat kemudian bibirku mengerucut karena sayang sekali besok aku harus menjalani operasi. Namun, aku tidak mengatakan apa-apa pada Bi Lusi dan hanya menganggukkan kepala.
Setelah acara TV yang kutonton selesai, aku mulai mengantuk. Perutku yang saat ini sudah terisi benar-benar membuat kedua mataku terasa berat untuk terus terbuka. Namun, saat aku baru setengah memejamkan mata, tiba-tiba suara Anggi yang masuk ke kamar mengejutkanku dan aku buru-buru membuka mata kembali.
"Nona Dinda, Sekretaris Han datang."
Aku sudah tinggal di sini selama berhari-hari dan Sekretaris Han baru datang menunjukkan batang hidungnya malam ini.
"Untuk apa manusia itu datang menemuiku? Mungkinkah dia tahu aku terluka dan sengaja datang untuk melihat kondisiku?" Aku bertanya-tanya penuh rasa kesal dalam hati.
Karena kondisiku saat ini, aku pun memilih untuk tetap berbaring di tempat tidur. "Biarkan dia masuk!" jawabku masih terus berpikir tentang maksud kedatangannya di waktu malam seperti ini.
Bi Lusi dan Anggi pun keluar dari kamar untuk menyampaikan hal itu pada Sekretaris Han.
Tak lama kemudian, Sekretaris Han masuk ke kamarku, masih mengenakan jas dan sepatu kulit. Dia langsung menatapku dengan penuh selidik. Pria itu pun memilih untuk berdiri di samping tempat tidurku dan dia sama sekali tidak membeli bunga atau membawa sekeranjang buah, tidak seperti sedang mengunjungi orang yang sakit.
Melihat ekspresinya yang tidak ada senyum sama sekali, seolah-olah dia datang ke rumah ini hanya untuk menanyakan sesuatu padaku.
"Apa salahku? Kenapa dia menatapku seperti itu?" batinku bertanya-tanya dan tidak mau berbicara lebih dulu.
Jadi aku membiarkan dia yang bertanya duluan. Kini aku hanya menundukkan kepalaku untuk memainkan ponselku, berpura-pura tidak ingin melihatnya.
Sampai akhirnya, suara Sekertaris Han mulai terdengar. "Nona Dinda."
Aku mendengus tanpa mengangkat kepalaku. "Ada apa?"
Sikapku mungkin membuatnya marah dan ketika dia berbicara lagi, suaranya menjadi lebih keras. "Nona Dinda, sudah berapa kali Anda keluar sesukamu akhir-akhir ini?"
Aku sedang bermain game dan aku tidak tahan untuk segera melepaskannya saat mendengar suaranya.
Sekretaris Han kali ini benar-benar meneriakiku dengan suara keras. "Nona Dinda, Anda di sini bukan untuk liburan!"
Aku membuang ponselku ke samping tempat tidur dan menatap Sekretaris Han dengan tenang. "Ada apa? Kenapa kamu sangat mudah tersinggung?"
Dia menatapku dengan tajam. "Nona Dinda, sudah cukup Anda terlibat dalam banyak masalah akhir-akhir ini. Bahkan sekarang Anda sampai terluka seperti ini. Kedepannya bisakah Anda berhenti untuk tidak lagi membuat masalah?"
Aku masih menatapnya. Saat ini, aku bisa melihat penghinaan terhadapku dari sorot matanya yang tajam. Mungkin dia berpikir ini adalah sebuah kehormatan karena aku bisa mengandung anak dari tuannya yang memiliki kedudukan tinggi.
"Andai kau tahu Sekertaris Han, besok aku akan menggugurkan anak ini dan setelah itu semua ini akan selesai," batinku dengan senyuman tipis yang sejenak terulas.
Aku tetap berusaha santai menanggapinya yang sedang emosi. "Saya akan melakukan apa pun yang saya inginkan, kecuali Anda mengunci saya di kamar ini!"
"Nona Dinda, jangan berpikir jika Tuan saya bisa sabar dengan segala tingkah laku Anda di luar sana. Jadi sebaiknya Anda lebih patuh!"
“Kamu melakukan kesalahan, Sekretaris Han. Ingat saat ini saya sedang mengandung anak dari Tuanmu, tapi dia tidak peduli padaku atau pada anak ini sama sekali. Jadi saya rasa, saya bisa melenyapkannya kapan pun!"
Aku pikir, Sekretaris Han tidak mengharapkanku untuk mengatakan hal yang demikian dan kini dia tercengang menatapku. Mungkin dia mengira aku adalah pemeran wanita dalam drama cengeng yang akan menangis dan pingsan di setiap kesempatan atau memohon padanya untuk melepaskanku?
“Nona Dinda!” Dia memanggil namaku dengan marah, tetapi tidak tahu harus berkata apa selanjutnya.
Tiba-tiba ponselku berdering, aku segera mengambilnya dan melihat pesan itu dari siapa. Seketika hatiku bahagia melihat Nona Keisha mengirimkan bukti transfer ke rekeningku sebesar 200.000.000.
Keputusannya sangat bagus, aku pikir aku tidak perlu lagi berurusan dengannya untuk sementara waktu. Enam belas jahitan dapat ditukar dengan 200 juta dan itu sungguh setara.
Saat ini, aku sedang berada dalam suasana hati yang baik. Jadi aku rasa, aku tidak perlu repot-repot menghadapi Sekretaris Han yang hanya datang untuk memarahiku dan tidak membawa apa-apa.
Aku pun berbaring lebih dalam dan menarik selimut menutupi kepalaku. Memilih untuk menyudahi pertemuanku dengan pria yang sejak tadi terus menceramahiku. Melalui selimut tipis ini aku masih dapat mendengar suara kesal Sekretaris Han. "Nona Dinda, saya di sini untuk memperingatkanmu jika Anda mengacau lagi, maka hidup Anda tidak akan senyaman sekarang."
Aku sama sekali tidak takut, selama bertahun-tahun aku menjadi reporter, ancaman apa yang tidak pernah aku terima?
Perlahan aku pun mulai menarik selimut ke bawah. Melihat wajah marah Sekretaris Han, aku masih berani bertanya tentang sesuatu yang pasti akan mengejutkannya. "Apakah Tuan Firdaus yang telah menghamili saya?"
Bersambung ✍️