Selamat membaca!
Aku menatap wajah Sekretaris Han yang membeku sesaat, ekspresinya sangat menegangkan dan juga membuatku bingung karena saat ini sorot matanya seperti menyimpan rasa bersalah. Mungkin saja dia mulai berdosa karena terus menutupi kebenarannya dariku.
"Sebenarnya apa yang membuat Sekertaris Han seperti merasa bersalah seperti itu ya?" batinku yang jadi penasaran.
Tadinya aku sudah menyimpulkan bahwa kehamilanku tidak ada hubungannya dengan Tuan Firdaus, tapi melihat ekspresi Sekretaris Han sekarang membuat rasa curiga itu kembali datang.
Sampai akhirnya, pria itu segera tersadar dari segala lamunannya dan mulai melihatku lagi. "Nona Dinda, tolong jangan berpikir terlalu jauh! Tuan Firdaus jelas bukan pria yang seperti Anda pikirkan."
"Kamu juga mengenal Tuan Firdaus?" tanyaku memancingnya.
“Dia adalah pengusaha sukses dan terkenal di kota ini, mengapa saya tidak mengenalnya?” Selesai mengatakan itu, Sekretaris Han langsung melemparkan sebuah ponsel ke arahku. “Jika Anda bosan jangan berpikir yang tidak-tidak! Lebih baik gunakan ponsel ini untuk melakukan apa pun sekaligus melepas rasa jenuhmu karena tidak memiliki pekerjaan, seperti berbelanja online di mal atau bisa juga pesan makanan lewat aplikasi online. Kartu bank yang terhubung ke ponsel itu sudah cukup untuk Anda gunakan sepuasnya!"
Setelah memberikan ponsel itu padaku dia pun keluar dari kamar begitu saja tanpa berpamitan. Namun, sebelum benar-benar pergi dia ternyata memberi tahu Anggi dan Bi Lusi jika mereka harus menahanku dan tidak membiarkanku keluar rumah agar aku berhenti membuat kekacauan di luar sana.
"Dia pikir bisa menahanku!" batinku yang memang sengaja menguping pembicaraan mereka di depan kamarku yang kini sudah ditutup pintunya oleh Sekretaris Han.
Setelah dia pergi, aku membuang ponsel yang dia tinggalkan padaku ke atas sofa. Dia mungkin tahu apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini. Terlebih siang tadi aku mengembalikan barang-barang yang dibeli Tuan Firdaus untukku. Bahkan sebelum pulang dari rumah sakit, aku juga menuntut Nona Keisha agar memberikanku uang sebagai ganti rugi sebesar 200 juta.
Mungkin dalam hati Sekretaris Han saat ini berpikir jika aku adalah seorang wanita yang sangat mencintai uang atau bahasa kasarnya adalah matre. Tapi sebenarnya, uang yang aku minta kepada mereka adalah hakku dan aku berhak untuk mendapatkannya.
Sejujurnya aku tidak menginginkan uang ini jika saja rahimku tidak dimanfaatkan untuk melahirkan keturunannya. Namun, semua itu tidak akan berlangsung lama karena besok pagi, operasi itu akan aku jalani. Operasi di mana kehidupanku mungkin bisa kembali normal, tanpa semua sandiwara yang sungguh memuakkan ini.
***
Keesokan paginya, aku terbangun pukul 08.30. Aku langsung bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Namun, seketika aktivitasku terhenti saat mendengar seseorang berbicara di lantai bawah. Aku mencondongkan tubuh ke luar jendela dan melihat seorang kurir datang mengambil makanan dari Bi Lusi.
Biasanya, Anggi pergi keluar untuk membeli sayuran. Sementara Bi Lusi melakukan pekerjaan rumah dengan memasak di dapur, tetapi entah kenapa keduanya tidak keluar hari ini.
Tanpa perlu berpikir kerasa, aku dengan mudah mengingat jika semalam Sekretaris Han meminta mereka untuk menjagaku agar tidak keluar rumah. Sepertinya, itu alasan yang membuat Anggi dan Bi Lusi tidak berencana untuk keluar hari sini. Namun sialnya, aku telah membuat janji dengan dokter kemarin untuk melakukan operasi pagi ini.
"Aku harus mencari cara agar segera keluar dari rumah ini," batinku mulai berpikir keras.
Sambil berpikir, aku perlahan mulai menuruni anak tangga selangkah demi selangkah. Ketika Bi Lusi dan Anggi melihatku hendak turun ke lantai bawah, mereka pun bergegas membantuku. "Nona Dinda, kenapa Nona turun? Jika Anda menginginkan sesuatu, kami dapat mengirimkannya ke kamar Anda."
"Mereka mengatakan itu seolah-olah aku ini adalah tahanan yang sedang dipenjara." Aku bergumam di dalam hati masih terus emikirkan sesuatu.
"Saya bosan di kamar terus, makanya saya turun. Oh iya, saya ingin minum s**u hangat. Tolong buatkan yang agak panas ya Anggi agar tidak cepat dingin!" titahku setelah menemukan sebuah ide.
"Baik, Nona, saya akan segera membuatnya."
Setelah Anggi pergi, kini yang tersisa hanya Bi Lusi di hadapanku.
"Bi, bisakah buatkan saya sup ikan seperti semalam? Bukankah Bibi sudah berjanji akan memasaknya untukku?"
"Nona tenang saja, saya sudah memasaknya pagi-pagi sekali untuk Anda. Kebetulan Sekretaris Han tadi memesan makanan laut untuk menu makan siang dan sudah diantar oleh kurir. Kapan pun Nona ingin memakannya, katakan saja pada saya."
"Ah, terima kasih banyak, Bi. Kamu benar-benar sangat baik." Aku tersenyum kecut saat mendengar jika Bi Lusi ternyata sudah membuatkan sup ikan yang aku minta. Jadi aku tidak bisa mengulur waktu terlalu lama.
"Tunggu sebentar ya, Nona. Saya siapkan dulu sup ikannya di ruang makan."
"Baik Bi, tidak perlu buru-buru ya."
Aku membiarkan Bi Lusi sibuk di dapur dan sebenarnya aku sudah menemukan celah untuk bisa melarikan diri. Tapi sayang, aku mulai menyadari jika kondisi kakiku saat ini tidak memungkinkan untuk bisa berlari kencang. Lagi pula bila itu tetap aku lakukan, pasti aku akan dikejar oleh Anggi yang juga masih kuat berlari jauh. Akhirnya, aku memilih untuk menjalankan rencana awal dan tinggal menunggu kedatangan Anggi karena sadar waktuku sangat mepet.
Tak lama kemudian, seseorang yang aku tunggu akhirnya datang. Anggi keluar dari dapur dan menghampiriku sambil membawa nampan yang di atasnya terdapat segelas s**u panas.
"Ini kesempatanku," batinku tengah bersiap menjalankan rencanaku.
Tanganku mulai mengarah untuk mengambil gelas berisi s**u itu dari atas nampan. Namun, dengan sengaja tanganku menyenggolnya hingga s**u panas itu tumpah mengenai tubuhku, dari atas d**a sampai ke pangkuanku. Bahkan sampai mengalir dan mengenai kakiku. Beruntung s**u itu tidak terlalu panas sesuai yang aku minta pada Anggi tadi.
Aku langsung berteriak histeris. Melebihkan sesuatu yang seharusnya tak perlu sampai berlebihan seperti ini. "Ah, panas! Aduh lukaku perih!"
Bi Lusi langsung keluar dari dapur mendengar teriakanku dan Anggi terlihat panik karena merasa bersalah.
“Nona Dinda, tolong maafkan saya! Saya benar-benar minta maaf karena tidak memberikannya dengan hati-hati.”
Aku terus mengaduh kesakitan hingga membuat Anggi terlihat semakin panik. Itu bisa terlihat jelas dari wajahnya.
"Lukaku sakit karena terkena s**u panas itu, Anggi. Sepertinya kulitku juga melepuh."
"Nona, biar saya ambilkan kotak obat ya. Saya akan mengobatinya."
"Kamu tidak akan bisa mengobatinya karena kamu bukan dokter, Anggi! Sekarang telepon taksi, saya harus pergi ke rumah sakit dan dokter harus segera memeriksa jahitan di kakiku yang terkena s**u panas itu karena akan bahaya jika tidak ditangani dengan tepat."
"Tapi, Nona."
"Tidak ada tapi-tapi, Anggi. Apa kamu mau kaki saya ini infeksi dan nantinya akan diamputasi?" Aku terpaksa menggertaknya dan membuat mereka semakin panik agar segera mengirimku ke rumah sakit.
Mereka saling berbagi pandangan hingga aku kembali berteriak kesakitan.
"Cepat Anggi, kamu tunggu apa lagi?"
"Ba-baik, Nona. Saya akan segera memesan taksi untukmu."
Anggi bergegas memesan taksi dari aplikasi online, sementara Bi Lusi tergesa-gesa naik ke kamarku dan mengambilkan pakaian gantiku. Tak butuh waktu lama, dia kembali dengan napas yang memburu dan langsung memberikan pakaianku.
"Nona, sebaiknya ganti dulu pakaianmu."
"Terima kasih, Bi. Saya bawa saja bajunya ke rumah sakit, lagi pula saya tidak kuat untuk menggantinya sekarang. Kulitku terasa panas seperti terbakar."
Saat aku terus mengeluh, akhirnya taksi yang Anggi pesan tiba di pelataran rumah.
"Nona, taksinya sudah datang. Mari saya bantu!"
Aku pun membiarkan Anggi dan Bi Lusi membantuku sampai masuk ke dalam taksi. Akhirnya, aku bisa pergi ke rumah sakit sesuai rencana. Bahkan aku tidak perlu repot-repot kabur dan berlari dengan kaki yang masih diperban. Aku pergi dengan menggunakan taksi yang dipesankan oleh Anggi karena Pak Tama yang biasanya menungguku di depan pintu hari ini tidak ada, mungkin karena diperintah oleh Sekretaris Han.
Taksi mengantarkanku langsung ke rumah sakit. Aku melihat jarum jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Aku memiliki janji dengan dokter jam 9.30 dan sekarang baru jam 9.00, waktuku sepertinya cukup.
Selama di perjalanan, perasaanku berkecamuk tak karuan karena aku harus melawan akal sehat dan keberanianku. Ada kesedihan mulai terasa. Membuat wajahku berubah sendu. Di satu sisi, semua ini terasa begitu sulit. Namun di sisi lain, aku harus tetap melakukannya. Setidaknya sampai detik ini, hatiku masih yakin untuk meneruskan apa yang sudah aku rencanakan.
Aku mulai meletakkan sebelah tanganku di perut bagian bawah. "Sebentar lagi kita akan berpisah untuk selamanya." Entah kenapa hatiku begitu sakit mengatakannya. Melenyapkan bayi tak berdosa ini adalah hal yang berat aku lakukan. Dulu aku sering merutuki beberapa wanita karena menggugurkan kandungannya dengan alasan yang tidak masuk akal dan kini aku sendiri malah melakukan hal yang sama. Terbilang bodoh, tapi aku merasa tidak punya pilihan. Takdir seakan tak memihakku. Biasanya anak pertama adalah sumber kebahagiaan yang tidak akan pernah dilupakan oleh banyak wanita. Pengalaman indah yang pastinya sangat menyenangkan. Disayangi oleh suami, dimanja karena kehamilannya dan diberikan apa pun yang diinginkan agar ngidamnya bisa terpenuhi, tapi aku, semua jauh dari impianku.
"Maaf aku harus melakukan ini padamu, aku tidak ingin kamu terlahir ke dunia yang keras ini. Aku tidak mau kalau suatu hari nanti kamu bertanya pada ayahmu, siapa ibumu, karena jika aku tetap melahirkanmu kita akan berpisah dan mereka akan mengambilmu dariku? Aku tidak tahu bagaimana pria itu akan menjawabnya saat kamu bertanya hal itu. Aku juga tidak yakin akan ada ibu tiri yang menerimamu sebagai anaknya sendiri atau tidak, apakah dia akan mencintaimu atau malah akan membencimu karena kamu tidak terlahir dari rahimnya?"
Aku benar-benar tidak sanggup saat membayangkan jika itu semua terjadi. Aku tidak ingin melahirkan anak pertamaku, tapi tidak bisa bersamanya karena akan ada orang lain yang mengambilnya, memisahkanku darinya. Itu hanya akan membuat hidupku menderita sepanjang hari.
Sekarang, dia hanyalah embrio kecil, tanpa tangan atau kaki kecil dan tidak memiliki otak. Jadi pikirku tidak terlalu kejam untuk membunuhnya di awal kehamilan.
Setelah berburu dengan waktu, aku sampai di rumah sakit. Pengemudi taksi yang baik hati itu bertanya apakah dia diperkenankan untuk membantuku masuk. Namun, aku menggelengkan kepala dan berterima kasih atas kebaikannya.
Setibanya di lobi rumah sakit aku berjalan dengan tertatih-tatih menuju ruang operasi. Kedua matanya terus melihat sekitar. Tentunya keyakinan itu masih ada. Tak sedikit pun berubah menjadi keraguan.
"Semoga ini adalah keputusan yang tepat," batinku sambil menghela napas panjang.
Aku memang sengaja membayar dengan harga yang cukup mahal untuk operasi ini. Bagiku, operasi ini adalah hal terberat dalam hidupku. Jadi aku sengaja membayar mahal agar mendapatkan pelayanan yang baik pasca operasi ini.
Setelah bertemu dengan dokter, aku pun langsung diarahkan untuk menuju ruangan operasi. Beberapa suster tampak menemani dokter itu. Sampai pada detik ini, keyakinanku masih cukup besar untuk melakukannya.
"Semoga mimpi buruk ini akan segera berakhir," batinku mulai berbaring dengan tenang di atas sebuah brankar.
Aku dapat melihat dokter dan para suster tengah bersiap untuk memulai operasi. Menurutku, ini adalah operasi kecil. Jadi tidak akan begitu rumit.
Setelah disinfeksi, dokter berdiri di depanku dengan kedua tangannya yang tegak. "Saya akan melakukan operasi aborsi untuk Anda sekarang dan saya perlu bertanya kepada Anda sebagai formalitas. Apakah Anda benar-benar yakin akan melakukannya?"
“Iya, Dok.” Bagiku pertanyaan itu adalah sebuah omong kosong. Bagaimana bisa dia baru menanyakan hal ini setelah aku sudah berada di atas brankar dan siap untuk memulai aborsi.
Jika dilihat, aku memang tampak kuat dan siap menjalani semua ini. Namun, siapa pun tidak akan ada yang tahu, bagaimana sulitnya aku untuk menyingkirkan rasa sakit ini.
Aku mulai memejamkan mata dan tidak mengatakan apa-apa. Perawat mulai mendisinfeksiku sebelum operasi, menyeka kulitku dengan bola kapas yang dicelupkan ke dalam yodium. Aku merinding saat bola kapas itu mengenai permukaan kulitku.
Aku memejamkan mata erat-erat dan seorang suster menepuk kakiku. "Jangan gugup ya! Saya akan segera memberimu anestesi, tidak akan sakit sama sekali."
"Menurutku ini adalah bagian menyiksaku," gumamku masih ingat betul dengan alergi yang aku dapat saat dulu. Namun, aku tidak punya pilihan selain pasrah dan berharap semua ini cepat berakhir.
Suster itu pun langsung menyuntikkan anestesi padaku dan secara bertahap aku kehilangan kesadaran pada perut bagian bawahku.
Perasaan yang sangat aneh, seolah-olah anggota badan dan kepala masih ada, tetapi perutku terasa menghilang.
"Apakah ini terasa sakit?"
"Tidak, Sus," jawabku yang memang tak merasakan apa pun saat suster itu kembali menyuntikan sesuatu pada pinggulku.
"Oke, sekarang kami akan memulai operasinya."
Dokter pun datang dan mulai membungkuk ke arahku. Dia yang akan menanganiku sampai operasi selesai.
Beberapa saat kemudian pintu ruang operasi diketuk dengan keras. Dokter yang sedang mengambil peralatan seketika mengerutkan keningnya. Tentu saja dia merasa terganggu. Suara ketukan itu terdengar keras seperti orang yang datang dengan tergesa-gesa. "Siapa itu, Sus? Pergi dan lihatlah!" titah Dokter itu pada salah satu susternya.
Suster pun mulai berjalan keluar dari ruang operasi dan pergi untuk membuka pintu. Aku masih terbaring lemah. Mental dan fisikku seperti mati rasa. Hampa dan entah bagaimana menggambarkan situasiku yang benar-benar kacau saat ini.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat ke arahku. Meskipun aku dibius, telingaku tidak tuli dan aku masih bisa mendengar, walau samar-samar.
"Siapa dia, Suster?" tanya Dokter merasa aneh karena ruang operasinya didatangi oleh orang yang bukan pasien ataupun tim medisnya.
"Katanya dia, ayah dari bayi yang dikandung wanita ini, Dokter."
Jawaban dari suster seketika membuatku terkejut setengah mati. Aku benar-benar tidak menyangka, pada detik-detik terakhir dia datang untuk menghentikan operasi ini. Aku merasa dia seperti pahlawan di banyak film-film yang sering kutonton. Menyelamatkan nyawa seseorang di saat-saat terakhir dan menghentikan semua hal yang salah yang akan terjadi.
"Ayah dari anak ini? Jadi ternyata dia datang," gumamku penasaran dengan siapa sosok pria yang masih terhalang tirai untuk dapat aku lihat.
Aku mulai menopang tubuh bagian atas dengan tanganku, meminta seorang suster yang tepat berdiri di dekatku untuk membantu menutupi tubuhku dengan selimut. Aku tidak ingin dilihat oleh orang asing dalam keadaan telanjang seperti ini dan aku sangat penasaran ingin melihat siapa pria itu.
Samar-samar aku merasa bahwa suaranya begitu akrab di telingaku, tapi aku segera sadar bahwa aku alergi terhadap anestesi. Saat ini, tubuhku mulai terasa panas dan itu mungkin saja mempengaruhi pemikiranku.
Tiba-tiba tirai pada ruang operasi pun ditarik dan seorang pria berdiri di hadapanku.
Aku menatapnya dan dia juga menatapku.
"Oh, jadi kamu …."
Bersambung ✍️