Selamat membaca!
Tak ingin gagal mendapatkan posisi yang aku inginkan di Wijaya Grup, aku kembali mengejar Nona Keisha.
"Nona, coba dengarkan aku dulu! Apa tidak sebaiknya kamu cari tahu wanita seperti apa yang disukai, Tuan Firdaus? Dengan begitu nantinya kamu bisa menjadi wanita seperti apa yang diinginkannya."
Dia mengerjap. Seperti berpikir setelah mendengar ucapanku.
"Atau, kamu bisa mencari tahu wanita seperti apa Ibu dari Tuan Firdaus. Biasanya, anak laki-laki itu menginginkan calon istri mereka sama seperti ibunya yang mungkin saja jago dalam hal memasak, pintar mengurus rumah atau bahkan menjadi seorang wanita karir."
Kali ini dia mengangguk. Matanya tampak berbinar. Kelihatan sekali jika Nona Keisha sependapat dengan apa yang aku katakan.
"Baiklah, aku akan pergi menemui calon mertuaku dulu." Tanpa mengatakan apa-apa lagi, wanita itu pergi meninggalkanku begitu saja. Membuatku mulai dapat bernapas lega karena itu artinya, aku telah berhasil menjalankan tugas yang dikatakan oleh Tuan Firdaus sebagai syarat agar bisa mendapatkan posisi yang aku inginkan di Wijaya Grup.
"Setidaknya masalahnya sudah beres. Aku benar-benar tidak peduli tentang hal apa yang dia rencanakan," gumamku masih tersenyum melepas kepergiannya yang sejenak menyapaku lewat senyum singkatnya.
Aku rasa dia juga mengerti bahkan jika dia ingin mendapatkan hati Tuan Firdaus, maka dia harus benar-benar berusaha sekuat tenaga dan mencari tahu dari orang terdekatnya tentang bagaimana caranya agar dia bisa menarik perhatian Tuan Firdaus.
Setelah memastikan kepergian Nona Keisha, aku pun kembali menuju Wijaya Grup untuk menemui Tuan Firdaus. Saat ini, dia sedang mengadakan rapat di ruang meeting. Lebih tepatnya di sebuah ruangan yang berada di lantai paling atas. Sementara sekretarisnya dengan gugup membuat catatan dan ada perekam suara di atas meja.
Tanpa pikir panjang setelah masuk ke dalam ruangan, aku pun duduk di sudut ruangan dan mulai merekam aktivitas meeting saat itu. Dalam hal ini, sudah jelas aku memang mempunyai pengalaman lebih dari sekertaris lainnya. Ini adalah keahlian dasar yang aku miliki sebagai seorang jurnalis.
Satu jam kemudian, meeting pun selesai. Kini aku kembali mengulang rekaman itu untuk mendengarkannya dengan seksama. Sambil mendengarkan, aku mulai menulis garis besar dari hasil meeting tersebut. Sebenarnya hal ini sangat sederhana. Jadi aku rasa mereka tidak perlu terlihat gugup seperti itu.
Di saat aku tengah menulis apa saja yang aku rasa penting, aku melihat para sekretaris tampak berkumpul dan mendengarkan rekaman yang mereka miliki. Aku tahu bahwa Tuan Firdaus pasti sangat ketat dalam pekerjaannya. Kalau tidak, maka sekretarisnya tidak akan terlihat gugup seperti ini.
"Sepertinya tidak ada pemimpin yang mengarahkan mereka, membuat mereka seperti bekerja tanpa arah. Mereka terlihat gugup dan sangat bingung," batinku mulai menilai dari apa yang aku lihat.
Aku masih duduk dan hanya mendengarkan percakapan mereka. Entah kenapa tidak ada satu pun di antara mereka yang memperhatikan keberadaanku. Aku mengabaikan hal itu. Setelah menemukan komputer yang menganggur, aku mulai memperluas garis besar dari yang aku tulis berdasarkan rekaman Tuan Firdaus dan dengan cepat menulis risalah rapat.
Hanya butuh beberapa menit, aku telah berhasil menyelesaikan pekerjaanku.
"Selesai! Mari kita pergi dan antar ini ke Tuan Firdaus!"
Saat itulah, seseorang baru menyadari ada wajah asing di ruang sekretaris mereka. Dia menatapku dengan heran. "Siapa kamu?"
"Saya adalah pimpinan kalian. Nama saya Dinda Kirana."
Mereka langsung percaya dan buru-buru mengulurkan tangan padaku. "Nona Dinda, perkenalan nama saya Mara Adisti."
"Saya Zaskia Dian, senang bisa bekerja sama denganmu, Nona Dinda."
Aku tersenyum dan berjabat tangan. Mereka tampak senang dengan kehadiranku. Mungkin mereka berpikir bahwa tak perlu lagi merasa gugup dan bekerja di bawah tekanan karena akan ada seseorang yang mengarahkan mereka.
"Nona Dinda, apa tidak aku sendiri saja yang pergi mengantar ini?" Mara bertanya setelah menerima risalah rapat yang telah aku berikan padanya.
"Ini adalah hal pertama yang aku berikan padanya. Jadi aku rasa, aku harus ikut." Aku pun berdiri, lalu mulai merapikan pakaianku sejenak. Setelah selesai, aku berjalan menuju ruangan Tuan Firdaus bersama Mara.
Setibanya di ruangannya, dia tampak sudah mengganti pakaiannya. Kemeja sutra putih telah diganti dengan kemeja motif garis-garis biru tua dan emas gelap. Hal pertama yang aku lihat adalah bagian pergelangan tangannya, apalagi kalau bukan kancing manset yang tampak elegan dan pasti sangat mahal itu.
"Mara, kamu bisa lanjutkan pekerjaanmu!" Perintah Tuan Firdaus membuat wanita itu langsung beranjak pergi meninggalkanku seorang diri.
"Apa yang kamu lihat sejak tadi?" Sebuah kalimat dingin menyela pengamatanku setelah pintu kembali ditutup oleh Mara.
“Melihat pria tampan di hadapanku,” jawabku yang kemudian tertawa renyah.
Dia mendongak dan aku bisa melihat rasa jijik dalam sorot matanya yang menyala.
"Kenapa aku bisa melihat ada kebencian di matanya untukku ya? Apa mungkin dia memang membenciku? Tapi walaupun begitu, aku harus terbiasa dengan hal itu," gumamku coba memantapkan hati.
Pikiran tentang ini masih terus bergelut di dalam otakku. Membuatku kembali teringat dengan beberapa pemikiran sebelumnya tentang apa yang telah menimpaku.
"Kalau dia membenciku, kenapa dia meniduriku sampai aku hamil seperti sekarang ini? Dia sudah mengacaukan hidupku dan sekarang membuatku tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup," batinku mulai kembali merasakan kesedihan itu. Kesedihan yang sempat membuatku hancur.
"Kamu mengaku kepada sekretaris saya sebagai pimpinan dari departemen kesekretariatan?" Tuan Firdaus bertanya kepadaku. Seketika memecahkan lamunanku hingga kedua mataku kembali menatapnya.
"Bukannya Tuan sendiri yang mengatakan jika saya dapat mengusir Nona Keisha, maka saya dapat mengisi posisi itu."
Aku tahu, aku berbicara terlalu berani dan terkesan kasar padanya, tapi Tuan Firdaus adalah orang yang tidak biasa. Semakin aku patuh, dia mungkin tidak akan memperhatikanku dan semakin aku mengabaikannya, dia malah akan memperhatikanku.
"Kamu mengusir Keisha? Apakah dia akan muncul lagi nanti?"
"Kamu memintaku untuk mengusirnya, bukan untuk membunuhnya. Selama dia masih hidup, dia pasti akan datang lagi menemuimu, tapi saya telah menyelesaikan tugas yang kamu berikan. Jadi pria seperti Anda tidak akan pernah mengingkari janji, bukan?"
Dia seketika menurunkan tatapan matanya dan tersenyum. Lengkungan di kedua sudut bibirnya semakin membuat wajahnya terlihat tampan dengan senyumannya saat ini.
Dia benar-benar pria yang menyenangkan. Dengan tampilan seperti itu jika anak di perutku lahir di masa depan, baik laki-laki maupun perempuan pasti akan sangat sempurna.
“Dinda Kirana.” Dia memanggilku dan perhatianku baru saja teralihkan.
"Ya," jawabku cepat.
"Ada pertemuan makan siang dan pesta koktail di malam hari. Kamu harus
ikut dengan saya! Jika kinerjamu bagus, saya akan tetap mempekerjakanmu di perusahaan ini!"
“Apa itu adalah bagian dari tugasku?” Aku bertanya dengan kedua alis yang saling bertaut.
"Keputusan ada di tangan saya, kamu tidak memiliki kuasa untuk tawar-menawar dengan saya." Dia menundukkan kepalanya dan kembali bekerja. "Pergi dan tunggu di depan pintu ruangan saya pada pukul dua belas siang."
"Baik, Tuan." Aku menatapnya selama dua detik, lalu berbalik untuk keluar.
Setelah kembali berada di ruang sekretaris, aku mulai memikirkan apa yang menjadi tugasku nanti. Pada dasarnya, aku sangat mengerti tentang pekerjaanku ini. Secara khusus, pimpinan sekertaris hanya perlu meringkas dan menyaring informasi dari sekretaris lain, terutama yang melapor langsung ke Tuan Firdaus. Namun, tidak untuk menemani agenda sosialisasi yang dilakukannya.
"Kenapa aku harus menemaninya? Apa tugas seorang pimpinan sekertaris sudah berubah sejak aku menempati posisi ini?" gerutuku masih tak habis pikir dengan perintah Tuan Firdaus.
Waktu terus beranjak hingga tiba tepat pada pukul 12 siang. Saat ini, aku sudah menunggu di depan pintu ruangan Tuan Firdaus sesuai perintahnya. Tak berapa lama, aku dapat melihat dia berjalan keluar dari ruangan dan berhenti tepat di depanku.
Aku pun mengikutinya, tapi tiba-tiba dia berhenti dan kembali menatapku dari ujung kepala sampai kakiku.
"Apa kamu hanya punya pakaian yang kamu pakai saat ini?"
Aku melihat menatap diriku sendiri. Aku merasa pakaian yang aku kenakan saat ini tergolong formal seperti pekerja kantoran pada umumnya. Memang pakaian ini sudah lama aku beli dari beberapa tahun yang lalu, tapi seharusnya ini cukup, atasan kemeja dan rok sutra ketat, tidak lupa aku juga mengenakan sepatu hak tinggi.
Selama menjadi seorang wartawan aku biasanya memakai sepasang sepatu kets dan jeans ke mana pun aku melangkah, bahkan aku sangat jarang memakai baju kantoran seperti ini.
Aku memakai stelan ini saat mewawancarai Tuan Firdaus terakhir kali dan aku hanya memiliki set pakaian formal hanya satu ini saja.
"Ada banyak t-shirt dan jeans. Jika kamu menyukaiku mengenakan itu, aku akan pulang sebentar dan menggantinya sekarang."
Dia menatapku dengan sabar. "Baiklah, saya rasa cukup itu saja untuk siang hari. Berpakaianlah lebih baik untuk jamuan makan malam nanti. Setelah selesai menghadiri acara makan malam, saya akan mengajakmu membeli pakaian."
"Kamu benar-benar bos yang baik." Aku memujinya dengan tulus seraya tersenyum.
Dia mengabaikanku dan langsung masuk ke dalam lift.
Dalam perjalanan ke restoran, dia duduk di kursi belakang dan saya di kursi depan samping pengemudi.
Dia tiba-tiba bertanya padaku setelah suasana terasa hening sekian lama. "Apakah kamu tahu dengan siapa kita makan siang hari ini?"
"Manajer dari departemen pemasaran Chase Electronic."
Setelah mendengar jawabanku, dia kembali diam. Aku hanya mengintipnya dari kaca tengah mobil. Saat ini, aku melihatnya sedang memejamkan kedua mata. Membuat wajah tampannya sangat jelas dalam pandanganku. Seorang pria mapan dengan latar belakang keluarga kaya dan status tinggi, tampaknya dia memiliki segalanya di dunia ini. Betapa beruntungnya hidup Tuan Firdaus.
"Itu berarti ada terlalu banyak wanita yang berharap untuk bisa melahirkan keturunannya, tapi kenapa dia menginginkan aku untuk menjadi ibu dari anaknya?" Aku hanya bertanya dalam hati. Pertanyaan yang sampai saat ini, masih membuatku penasaran atas jawabannya.
Tiba-tiba terbesit sebuah ide yang cukup gila dalam pikiranku. Ide yang didorong karena rasa penasaran yang begitu besar mengenai semua misteri tentang kehamilanku ini.
"Bukankah ada pesta koktail di malam hari? Bagaimana kalau aku membuatnya mabuk? Mungkin dengan begitu dia bisa mengatakan semuanya padaku," batinku menimang baik buruknya rencana gilaku ini.
Tak butuh waktu lama, akhirnya kami tiba di sebuah restoran mewah untuk makan siang bersama klien bisnis Tuan Firdaus dan aku sangat senang bisa diajak ke sini olehnya.
"Restoran ini sungguh mewah. Ternyata ada baiknya juga aku menuruti perintah Tuan Firdaus. Dulu saat menjadi jurnalis, makan siangku hanya nasi kotak dengan menu yang sama dan itu berlangsung selama beberapa tahun. Sungguh membosankan! Sekarang semua masa itu sudah berlalu, aku akan makan siang di sini dan pasti akan sangat menyenangkan," batinku masih terus memindai setiap bagian mewah dari restoran ini.
Begitu tiba di sebuah ruangan VIP, ternyata pihak klien telah tiba dan menunggu di sana. Sebelum menyapanya, aku menundukkan kepala untuk mengambil perekam suara dalam tasku. Seperti biasa, aku perlu merekam hasil pertemuan ini agar bisa mengevaluasinya. Di saat aku telah berhasil mengambil alat perekam itu, perlahan aku mulai mendengar suara yang tak asing di telingaku. Suara itu sangat familiar dan membuat pikiranku seketika teringat akan seseorang.
"Halo Tuan Firdaus, saya manajer departemen pemasaran. Nama saya, Arga Haditama."
"Apa? Arga? Jadi klien yang ditemui tuan Firdaus di restoran ini adalah Arga Haditama?" batinku yang tidak percaya. Jantungku seketika berdetak kencang saat harus kembali mendengar suaranya.
Aku pun mendongak dan dia kebetulan melihatku hingga pandangan kami saling bertaut.
Bersambung ✍️