Selamat membaca!
Siapa sangka jika pria yang tadinya mau aku temui ke Wijaya Group kini berada di hadapanku tanpa aku harus berusaha susah-susah payah menemuinya.
Sementara wanita muda yang mengambil gaun dari tangan karyawan itu kini menghampirinya dengan membawa gaun di tangan. "Fir, apakah ini bagus?"
Tuan Firdaus mulai mendongak, lalu menjawab singkat setelah melihatnya.
"Kelihatannya bagus."
Wanita itu pun tersenyum mendengarnya. "Kalau begitu aku akan mencobanya."
Dia mulai berjalan ke kamar pas dengan pakaian di tangannya.
Aku hanya memerlukan waktu 1 detik untuk menganalisa hubungan mereka. Dengan melihat sikap wanita itu terhadap Tuan Firdaus dan fakta bahwa orang sibuk sepertinya dapat menemani wanita itu membeli pakaian, sudah cukup untuk menjelaskan hubungan antara keduanya.
Ada dua kemungkinan jika mereka bukan sepasang kekasih, itu artinya mereka adalah pasangan suami-istri. Namun, aku belum pernah mendengar bahwa Firdaus sudah menikah. Jadi kemungkinan besar mereka adalah sepasang kekasih.
"Saat ini, aku tidak peduli siapa dan apa hubungan wanita ini dengan Tuan Firdaus? Ini kesempatanku untuk menyelidiki manset yang aku temui di kamarku," gumamku langsung mengarahkan pandangan mata ke arah pergelangan tangan Tuan Firdaus.
Seperti yang aku lihat sebelumnya, pria ini memang terbiasa mengepalkan tangan di depan mulut dan menutupi hidungnya. Sementara tangan lainnya, masih menggenggam ponsel yang sejak tadi dimainkannya.
Aku mengambil kesempatan untuk mendekatinya, berjalan ke arahnya, dan membungkuk untuk melihat kancing manset Tuan Firdaus dari jarak yang sangat dekat.
"Ternyata benar, kancing manset kemejanya dipesan secara terpisah. Meskipun tidak sama panjangnya dengan milikku. Namun, sama-sama mewah dan terbuat dari emas," gumamku terus menatap penuh selidik.
Saat aku masih terus memikirkannya, tiba-tiba aku seperti merasa ada orang yang sedang memperhatikanku. Dengan cepat aku pun melihat ke atas dan menemukan sepasang mata tajam kini tengah menatapku dengan begitu tajam.
"Dinda, Dinda, bisa-bisa kamu tidak memikirkan apakah dia akan melihatku atau tidak?" gumamku dibalut rasa canggung dengan wajah yang sedikit memerah.
"Kebetulan sekali, kita bertemu di sini, Tuan Firdaus," ucapku setelah sempat terdiam beberapa detik tanpa suara.
Dia seharusnya mengenaliku. Meskipun ekspresinya tidak berubah, tapi ada secercah cahaya di matanya. Namun bukannya menjawab teguranku, dia malah mengabaikannya dengan mengalihkan pandangan matanya ke belakangku ketika suara pujian dari seorang karyawan terdengar keras.
"Wow, Nona Keisha, Anda sangat cantik dengan gaun ini."
Suara karyawan itu bukan hanya mengagetkan Tuan Firdaus, bahkan aku pun segera menoleh ke belakang untuk melihat seperti apa yang dikatakan oleh karyawan itu.
Sebenarnya gaun yang dikenakan wanita itu sederhana dan cukup ramai dengan kilau payet di setiap bagiannya. Sangatlah cocok untuk wanita dengan bertubuh ramping sepertiku. Sementara tubuh wanita itu terlalu berisi sehingga tampak tidak cocok untuk mengenakan gaun tersebut.
"Sepertinya karyawan itu sedang memujinya terlalu berlebihan. Aku pikir jika aku yang mengenakannya akan lebih cocok dari wanita itu. Hanya saja, dia punya kehidupan lebih baik dariku dan memiliki pacar yang kaya raya seperti Tuan Firdaus. Ini hanya masalah takdir dan takdir tidak memihak padaku," gumamku coba menerima dengan lapang bahwa mensyukuri kehidupan yang Tuhan berikan jauh lebih baik daripada mengeluh.
Semua karyawan di toko tampak mulai berkerumun dan saling melontarkan pujian. Aku berusaha mengabaikan hal itu dan kembali fokus pada Tuan Firdaus.
“Apakah Tuan masih ingat dengan saya?” Karena dia mengabaikanku, akhirnya aku mengambil inisiatif untuk memulai percakapan. Namun, semua itu hanya sia-sia. Pria ini hanya diam tanpa menjawab. Dia seolah mengabaikanku dan sibuk memainkan ponsel di tangannya. Bahkan dia sudah tak lagi melihat kekasihnya yang tengah mendapatkan beragam pujian palsu dari beberapa karyawan toko hanya agar gaun mahal mereka terjual.
"Mungkin hal ini bisa membuatnya mendengarku," batinku yang tiba-tiba terbesit sebuah ide gila yang mungkin terdengar sangat berani, tapi aku merasa tidak punya pilihan lain.
Aku pun dengan cepat mengambil ponselnya dan dia langsung menatapku penuh keterkejutan.
"Cepat kembalikan, Nona Dinda!" titah Tuan Firdaus dengan penuh penekanan. Ucapan yang spontan dikatakannya setelah mendapati benda pipihnya berpindah ke tanganku.
Aku memang sudah menduga sejak awal bahwa dia mengingatku dan orang yang secara pribadi mengeluh tentang bagaimana caraku bekerja dalam wawancara kami tidak mungkin melupakan seseorang itu hanya dalam tiga hari saja.
"Senang bertemu denganmu." Aku tersenyum dan mengulurkan tangan padanya setelah memasukkan ponsel yang baru saja aku rampas darinya ke dalam saku. Aku sangat yakin jika pria seperti Tuan Firdaus tidak akan berani merogoh saku celanaku di depan banyak orang, walau sebenarnya itu untuk mengambil barang miliknya sendiri.
Dia pun tidak menjabat tanganku dan malah menatap dengan sinis. "Kembalikan ponselnya!"
Sorot matanya semakin tajam. Wajahnya semakin menuntut agar aku menuruti perintahnya.
“Kamu sudah membuatku kehilangan pekerjaan, Tuan Firdaus!"
"Aku yakin di ponsel ini terdapat banyak rahasia penting dan tentu saja dia tidak ingin siapa pun mengetahuinya, termasuk aku. Jadi aku bisa menggunakan ponsel ini untuk meminta pertanggungjawaban darinya atas pemecatanku," gumamku dengan rencana yang sungguh sangat berani aku lakukan. Terlebih pria yang kini aku hadapi bukanlah orang sembarangan.
Dia melengkungkan bibirnya saat mendengar kata-kataku. "Jadi, kamu ingin balas dendam padaku?"
“Ini bukan soal balas dendam, Tuan Firdaus.” Aku memilih duduk di sampingnya setelah punggungku terasa sakit setelah cukup lama berdiri.
Tuan Firdaus secara sengaja menggeser tubuhnya ke samping, tampaknya dia enggan berdekatan denganku. Namun, aku tidak mempermasalahkan hal itu karena aku hanya ingin bernegosiasi dengannya dan bukan untuk mendekatinya.
"Baiklah, kalau kamu tidak mengerti dengan perkataan saya barusan. Saya akan kembali mengulanginya. Akibat keluhanmu pada pimpinan redaksi sampai membuatku dipecat dari perusahaan dan sekarang saya jadi pengangguran!"
Awalnya aku tidak pernah berpikir tentang bagaimana caranya agar aku bisa mendekati Tuan Firdaus, tetapi saat aku tidak sengaja bertemu di sini, tiba-tiba saja ide itu datang dengan sendirinya. Ya, aku memang wanita yang cerdas karena bisa menciptakan peluang dengan begitu cepat.
Mendengar perkataanku, Tuan Firdaus terkekeh pelan. Membuatku dapat melihat senyumannya yang singkat. "Intinya sekarang kamu mengancam saya dengan menggunakan ponsel itu?"
"Sepertinya memang begitu." Aku mengeluarkan ponselnya dari saku dan mempermainkannya di hadapan Tuan Firdaus. Aku sengaja membuat pria itu merasa terancam. Kemudian langsung memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.
Ponsel milik pria ini memang terasa begitu dingin saat menempel di pahaku. Aku yakin Tuan Firdaus belum pernah melihat orang yang tidak tahu malu seperti aku dan dia benar-benar tercengang melihat apa yang aku perbuat saat ini.
"Saya akan mengembalikan ponselmu, asalkan kamu bisa memberikan pekerjaan untuk saya di Wijaya Group!"
Tuan Firdaus terdiam. Permintaanku seolah-olah tak bisa diterima oleh logikanya. Membuatnya tak bisa berkata apa pun selain hanya menatap heran.
Saat suasana tegang mulai tercipta di antara aku dan Firdaus, tiba-tiba suara sepatu hak tinggi terdengar di belakang kami.
Aku tahu jika wanita yang merupakan kekasih dari Firdaus akan segera datang. Begitu dia mendekat, aroma parfum yang sedikit kuat menyerbu indera penciumanku.
Jujur saja aku alergi terhadap merek parfum tertentu. Jadi aku pun seketika bersin beberapa kali karena alergi itu.
Wanita bernama Keisha itu menatapku, matanya terbuka lebar seolah ingin menerkamku. "Siapa kamu?"
"Seseorang yang ada hubungannya dengan Tuan Firdaus," jawabku dengan santai. Namun, tidak aku sangka jika hal itu malah membuat amarah wanita itu tiba-tiba meledak.
Dia bahkan sampai mengarahkan jari telunjuknya ke arahku dan menghentakkan kakinya dengan kasar. "Jangan asal bicara kamu! Hubungan apa?" Keisha masih menatapku dengan tajam. "Fir, katakan siapa wanita ini? Apa kamu bisa menjelaskannya padaku?" Suaranya terdengar lantang, seperti suara ranting patah yang menggores kaca, sangat keras. Dia terlihat cantik, tetapi kurang pintar mengendalikan emosinya.
Aku dapat melihat wajah Tuan Firdaus yang seketika menggelap. Dia melirikku dan menjawab perkataanku dengan singkat. "Baiklah, saya akan melapor ke departemen personalia perusahaan pada jam 8 besok pagi!"
Setelah mengatakan hal itu padaku, Tuan Firdaus langsung bangkit dari posisi duduknya dan langsung mengajak kekasihnya pergi tanpa membuang waktu untuk meladeni kegilaanku.
Aku pun berdiri untuk berterima kasih pada Tuan Firdaus yang akan pergi. "Tuan, teri-"
"Tidak perlu mengatakan apa pun lagi, Nona Dinda!"
"Baiklah kalau begitu. Besok saya akan memberikan ponselmu, jangan khawatir, Tuan. Saya bisa menjamin bahwa saya tidak akan melihat isi ponsel ini," ucapku santai, lalu dengan cepat melangkah pergi sebelum Tuan Firdaus bereaksi setelah mendengar ucapanku.
Tanpa memedulikan tanggapan Tuan Firdaus dan kekasihnya yang semakin tajam menatapku. Aku pun terus berjalan menyusuri tepian beberapa toko, lalu berhenti di suatu titik untuk mengeluarkan ponsel milik Tuan Firdaus dan menggenggamnya.
"Ponsel ini benar-benar mewah. Pasti harganya bisa mencapai miliaran rupiah." Aku masih terus melangkah sambil melihat ponsel mewah ini di tanganku. "Enak ya, kalau punya uang banyak. Barang mewah apa pun pasti bisa dengan mudah dimiliki."
Seketika aku melamun, membayangkan betapa indah hidupku jika ada di posisi Tuan Firdaus. Seseorang yang sudah hidup mewah dari lahir pastinya akan merasa sangat beruntung. Berbeda denganku yang sudah terbiasa dengan kerasnya hidup. Terkadang untuk dapat bertahan, aku harus melakukan hal-hal yang luar biasa berat. Itulah mengapa aku tidak terlalu memedulikan pekerjaan apa yang besok akan diberikan oleh Tuan Firdaus padaku.
"Setidaknya saat ini aku tak lagi pusing memikirkan uang karena Tuan Firdaus pasti akan memberikan aku pekerjaan, apalagi ponselnya ada padaku. Selama ponsel ini ada di tanganku, dia tidak akan bisa menolak permintaanku," gumamku tersenyum, merasa puas atas keberanian yang telah aku lakukan hari ini.
***
Setibanya di rumah aku langsung meletakkan ponsel mewah milik Tuan Firdaus di atas nakas lantai utama. Sementara aku memutuskan untuk tidur sejenak di kamar yang berada di lantai dua. Namun, sejak sore sampai malam hari ponsel itu terus berdering hingga Bi Lusi datang ke kamarku untuk memberitahunya.
"Nona Dinda, ada panggilan masuk beberapa kali di ponsel yang Nona tinggalkan."
"Biarkan saja, Bi. Lagi pula itu bukan ponsel saya. Mungkin sebentar lagi ponsel itu akan kehabisan baterai dan akan berhenti menerima panggilan." Dengan mudah aku mengatakan hal itu, seolah melupakan bahwa harga ponsel tersebut sangatlah mahal.
Mendengar jawabanku, Bi Lusi pun kembali pamit dengan menutup kamarku karena tidak ingin mengganggu waktu istirahatku.
Malam terus beranjak semakin larut. Tepatnya pada tengah malam, aku seperti mendengar seseorang berbicara di lantai bawah. Entah kenapa akhir-akhir ini tidurku sangat nyenyak. Namun, aku mudah sekali terbangun karena suara-suara yang aku dengar.
Setelah beranjak dari atas ranjang, kini aku mulai berjalan keluar dari kamar. Langkahku terasa berat karena rasa kantuk masih bergelayut manja di kelopak mataku. Dengan bersandar pada pagar dekat anak tangga, aku coba membuka mata sepenuhnya untuk melihat ke bawah. Dari posisiku, aku dapat melihat ada seorang pria bertubuh tinggi kini sedang berdiri di ruang keluarga di lantai bawah. Pria itu mengenakan jaket berwarna cokelat. Namun, cahaya lampu kristal yang ada di sana membuat wajah pria itu belum dapat aku lihat dengan jelas.
"Siapa pria itu?" tanyaku masih terus menatap dengan seksama pria yang ada di ruang keluarga.
Hanya beberapa detik cahaya menyilaukan itu seketika pudar saat dia bergeser dari posisinya semula. Membuat kedua mataku terbelalak tak percaya dengan apa yang aku lihat.
"Tuan Firdaus? Bagaimana mungkin dia bisa sampai di sini? Apa jangan-jangan dia menguntitku dan berusaha untuk mengambil ponselnya agar terbebas dari permintaanku besok?" gumamku menganalisa segala kemungkinan yang ada.
Tanpa membuang waktu, aku pun bergegas menuruni anak tangga dan berlari menghampirinya dengan sangat cepat. Setelah berada dekat dengan Tuan Firdaus, aku langsung merebut ponsel itu dari tangannya.
Bersambung ✍️