Menginap

1752 Kata
Selamat membaca! Tuan Firdaus mungkin tidak menyangka jika aku begitu berani merampas ponselnya. Melihat akan hal itu, Bi Lusi yang merasa bersalah pun langsung mendekatiku untuk menjelaskan sesuatu. "Nona Dinda, Tuan ini datang mengetuk pintu dan berkata bahwa dia adalah teman Anda. Jadi saya mengizinkannya untuk masuk. Maaf kalau tadi saya langsung percaya tanpa bertanya lebih dulu pada Nona." "Kamu tidak salah, Bi. Dia memang benar temanku, tapi lain kali jangan biarkan siapa pun masuk tanpa izin dariku!" jawabku sedikit tegas agar hal ini tidak terulang lagi. Bi Lusi menganggukkan kepala seperti dapat kembali bernapas lega. "Baik, Nona. Kalau begitu saya akan membuat teh untuk kalian." Saat Bi Lusi berjalan ke dapur, aku langsung memasukkan ponsel milik Tuan Firdaus ke dalam saku piyama tidurku agar dia tidak dapat merebutnya dengan mudah. Lagi-lagi perbuatanku membuat Tuan Firdaus geleng-geleng kepala dan menatapku dengan tersenyum sinis. "Ternyata bos kamu benar ya. Kamu adalah wartawan yang paling tidak tahu malu." Aku mengedikkan bahu dan tak memperdulikan perkataannya karena apa yang dikatakannya memang benar. "Tuan, apakah kamu sengaja mengikuti saya? Kalau kamu jawab tidak, maka itu sangat tidak mungkin karena kamu tidak tahu di mana saya tinggal!" Dia hanya menatapku dengan tenang. Setelah diam beberapa detik, dia pun tersenyum singkat sebelum mulai bicara. "Apakah kamu tidak tahu jika ponsel yang kamu curi tadi siang itu memiliki GPS yang dapat saya lacak keberadaannya?" Tuan Firdaus balik bertanya. Membuatku tersenyum malu karena aku benar-benar tidak terpikirkan akan hal itu. "Bodoh sekali aku ini. Dia benar. Ponsel semahal ini pasti bisa dilacak dengan GPS," batinku masih merutuki hal yang seharusnya tidak aku lupakan. "Jadi bagaimana? Apa kamu sudah tahu sekarang jika sebuah ponsel itu ada fitur GPS agar dapat dilacak oleh pemiliknya?" tanyanya saat melihatku hanya diam. Sontak pertanyaannya membuat aku mundur selangkah untuk menyembunyikan rasa maluku karena telah berpikir salah. "Tuan Firdaus, saya akan mengembalikan ponsel milikmu besok. Kenapa kamu harus terburu-buru seperti ini? Tenang saja, saya tidak pernah berniat untuk mengingkari janji saya sendiri." "Apa kamu tahu jika ponsel itu sangat penting untuk saya? Ada banyak panggilan yang masuk malam ini dan saya harus menjawab semua. Apa kamu mengerti, Nona Dinda?!" Di saat aku hendak mengatakan sesuatu, suara dering ponsel milik Tuan Firdaus kembali terdengar. "Ayo berikan ponsel saya! Biar saya jawab panggilan telepon itu." Di saat Tuan Firdaus melangkah maju, aku pun kembali memperlebar jarak sambil terus berpikir dengan keras. "Jika ponsel ini aku berikan padanya, maka aku akan kehilangan jaminan yang berharga dan tidak bisa lagi mengancamnya," batinku merasa bimbang sambil menggenggam ponsel yang sudah aku keluarkan dari saku piyama tidurku. "Ayo, Nona Dinda, kembalikan ponsel saya!" titahnya mengulangi permintaan yang sempat aku abaikan. "Tidak, tidak, aku tidak boleh memberikan padanya," gumamku memutuskan. "Maaf, Tuan, tapi saya tidak bisa. Anda jangan khawatir, saya akan menjawab panggilan ini sebagai asisten Anda." Tuan Firdaus hanya diam. Sorot matanya semakin tajam menatapku. Ekspresi yang diperlihatkannya sudah cukup menjelaskan bahwa pria ini benar-benar marah padaku. Perbedaan yang cukup jelas terlihat sepanjang aku mengenalnya. Jadi wajar saja jika aku langsung dapat menebak apa yang sedang dipikirkannya. "Bagaimana ini? Aku tidak bisa terus diam di sini. Sebaiknya aku lari saja ke kamar dengan membawa ponselnya. Pasti pria ini akan pergi dan tak lagi berusaha mengambil ponsel ini," batinku yang tengah coba meyakini keputusanku ini. Keraguan pun datang. Menyelinap masuk mengusik pikiran. Beberapa detik aku hanya mematung diam, tanpa melakukan apa-apa. Namun, saat Tuan Firdaus hampir merampas ponsel miliknya dari tanganku, keberanian itu seketika muncul. Menggerakkan kedua kakiku untuk berlari ke lantai atas. Begitu tiba di dalam kamar, dengan cepat aku langsung menutup pintu. Namun sayangnya, di saat aku hendak mengunci pintu, Tuan Firdaus yang ternyata menyusulku tiba-tiba menendang pintu tersebut hingga kembali terbuka. Beruntung aku bergerak cepat untuk menghindar karena jika terlambat sedikit saja, mungkin aku sudah tertimpa pintu kayu yang kini terhempas ke lantai dengan begitu keras. "Ya Tuhan," ucapku masih tak menyangka jika Tuan Firdaus sampai melakukan hal tersebut. Aku masih tertegun. Menatap pintu di lantai dengan setengah tak percaya. Melihatku yang sedang lengah, Tuan Firdaus langsung menyambar ponsel miliknya dari tanganku sesaat sebelum dering ponsel itu berhenti terdengar. Setelah mendapatkan ponselnya, dia langsung berjalan ke balkon kamar dengan cepat. Meninggalkanku yang hanya menatap punggung kekarnya yang begitu tegap. "Aku harus mengambil ponsel itu kembali," gumamku tetap tidak rela jika ponsel yang aku gunakan sebagai jaminan dirampas begitu saja tanpa ada sesuatu yang menguntungkan untuk aku dapat. Setelah 10 menit berada di balkon kamar, Tuan Firdaus kembali dengan wajah yang sama seperti sebelumnya, dingin dan penuh amarah. "Kamu hampir saja merusak urusan penting saya. Bahkan kamu tidak akan bisa menebus itu sekalipun kamu membayarnya.” Aku menatapnya, dia sudah tinggi, tapi sekarang dia berdiri dan aku duduk, itu membuat leherku merasa sakit. Tiba-tiba aku tertawa, tetapi menertawakan hal yang lain dan itu terbesit begitu saja dalam pikiranku. "Tuan Firdaus, saya sangat penasaran, bagaimana kamu bisa tahu struktur rumah ini? Bahkan kamu dengan mudah menemukan di mana balkon kamar ini." Aku baru menyadari sesuatu yang aneh. Sejak tadi aku memilih diam dan hanya memperhatikan Tuan Firdaus menjawab telepon hingga tubuhnya hilang dari pandanganku saat menuju balkon kamar ini. Padahal dari posisiku untuk menuju ke sana, seseorang harus terlebih dulu berjalan ke kiri berlawanan dengan arah jarum jam dan itu sangat menyimpang. Ketika aku pertama kali datang ke rumah ini, aku bahkan perlu waktu yang cukup lama untuk mengetahui adanya balkon di kamar ini, tetapi Tuan Firdaus begitu mudah mengetahui letaknya. Seolah seperti bukan pertama kali dia datang ke rumah ini. Aku adalah seorang reporter dan aku memiliki berwawasan yang tinggi. Banyak orang seprofesi denganku, tapi dia tidak sebaik aku dalam memikirkan hal ini. Mendengar perkataanku, Tuan Firdaus menatapku sejenak. Lalu, sudut bibirnya yang tadinya mengerucut, kini mulai membentuk garis lurus dan perlahan naik hingga melengkungkan senyuman. "Ini agak menarik," ucapnya tanpa mengatakan hal yang lain. "Apa maksudnya menarik? Kenapa pria ini tidak menjawab pertanyaanku? Atau mungkin dia tidak bisa menjawab, makanya dia memilih mengatakan hal yang lain," gumamku dengan kecurigaan baru yang tiba-tiba kupikirkan. Di saat rasa penasaran mengenai hal itu masih belum terjawab, benda pipih di tangannya kembali mengingatkan dengan rencanaku semula. Aku pun mengulurkan tangan di hadapannya. "Berikan ponsel itu lagi pada saya!" Dia mengangkat alis dan menatapku tajam. "Kenapa saya harus mengembalikannya padamu?" "Saya belum setuju untuk memberikannya padamu malam ini. Jadi ponsel itu masih milik saya untuk sekarang!" Dia melemparkan ponsel itu tinggi-tinggi, lalu menangkapnya dengan kuat, tetapi tidak memberikannya padaku. Tak lama kemudian ponselnya kembali berdering, tetapi itu bukan ponsel yang berada di tangannya saat ini. Lalu, dia mengeluarkan ponsel lain dari saku jaketnya, melirik benda pipih itu sekilas dan mengerutkan kening untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, dia menjawab panggilan masuk itu. "Halo." "Halo, Fir. Kamu ada di mana?" tanya seorang wanita yang suaranya terdengar sampai ke telingaku. Wajah seseorang seketika muncul di benakku. Wanita yang tubuhnya cukup banyak lemak dan memiliki kelopak mata ganda Eropa yang terlalu sempurna. "Ah, itu pasti wanita yang membeli gaun seharga 45 juta tadi siang!" Aku dengan yakin menebaknya di dalam hatiku. "Kenapa?" tanya Tuan Firdaus yang jelas saja enggan mengatakan kalau sekarang dia sedang berada di rumahku. "Aku datang ke rumahmu, tapi bibi di sini bilang kalau kamu sedang pergi." “Aku memang tidak ada di rumah. Jadi kamu kembalilah pulang!” Dia mengangkat kelopak matanya untuk menatapku. Sepertinya keberadaanku di sini membuat percakapannya menjadi cukup sulit, tapi sayang, aku tidak berencana untuk menghindar dan malah berdiri lebih dekat tepat di depannya sehingga aku tetap dapat mendengar apa yang wanita itu katakan di telepon. "Fir, ke mana kamu pergi selarut ini? Orang-orang di rumah menunggumu pulang, aku juga tidak bisa tidur sama sekali sampai kamu pulang ke rumah!" "Aku sedang ada urusan penting sekarang. Sudah ya, aku tutup dulu teleponnya!" Dia mengucapkan kata-kata yang begitu singkat dan langsung mengakhiri panggilan tersebut. Selesai dengan panggilan itu, dia pun mulai menatapku beberapa saat sebelum berbalik dan berjalan keluar ruangan. Aku mengikuti di belakangnya. "Hei Tuan, kamu mendobrak pintu kamar sampai rusak, sementara ini bukanlah rumah saya. Jadi kamu harus mengganti kerugiannya!" Dia tak menjawab tuntutanku. Namun, aku adalah seorang jurnalis yang tak kenal menyerah dalam menuntut jawaban dari seseorang. Aku terus mengikuti langkahnya yang terus berjalan secara perlahan kembali ke lantai utama. Setibanya di depan pintu, telingaku seperti mendengar suara deru mesin mobil di luar rumah. Meskipun aku tidak pernah mengendarai mobil sport, bukan berarti aku tidak tahu suara dari jenis-jenis mobil itu. "Siapa yang datang? Sepertinya dari suara mobil itu, ini pertama kalinya mobil itu datang ke sini." Rasa penasaran menuntunku untuk melangkah mendekati door view pada pintu. Sampai akhirnya, melalui lubang kecil itulah aku bisa tahu bahwa Keisha ternyata sudah ada di depan rumah. "Berarti saat berbicara dengan Tuan Firdaus di telepon, wanita itu memang sedang dalam perjalanan ke rumah ini," gumamku menganalisa. "Siapa?" tanyanya pelan. "Pacar Anda ada di luar sekarang, tapi kamu harus berpikir lebih dulu jika ingin keluar! Karena pasti dia bisa sangat marah kalau sampai melihat saya ada di rumah ini bersama Anda," ucapku dengan penuh penekanan. Memastikan apa yang aku lihat, Tuan Firdaus pun juga melihat door view untuk meyakinkan jika aku tidak salah. "Seperti apa yang saya katakan, saya tidak berbohong! Wanita Anda itu benar-benar datang, kan?" ucapku santai. Tentunya dengan nada berbisik agar wanita bernama Keisha itu tidak mendengarnya. Aku sudah dapat menebak jika wanita itu melacak keberadaan Tuan Firdaus melalui GPS ponselnya hingga dengan mudah menemukan di mana kekasihnya saat ini. Tangan Tuan Firdaus kini sudah berada di kenop pintu dan langsung memutar kunci yang menggantung di sana. Dia sangat pintar. Tentu saja dia tahu bahwa jika wanita itu masuk dan membiarkannya melihatku, semua orang pasti akan tahu, termasuk keluarganya. Setelah memastikan pintu terkunci, dia pun berbalik dan sangat dekat denganku. Tiba-tiba kepalaku mulai terasa pusing saat dia mendekatiku. "Bau tembakau ini, seolah-olah mengingatkanku pada sesuatu. Aku seperti pernah menciumnya, tapi di mana?" gumamku hanya diam dan terus mengingat. Meskipun baunya cukup ringan, tapi ini sangat istimewa. Aku seperti memiliki ingatan yang cukup dalam tentang hal ini. Lamunanku seketika buyar saat suara Tuan Firdaus seperti melayang di atas kepalaku. "Saya akan menginap di sini satu malam." "Anda bisa tidur di tempat tidur saya. Lagi pula, menurut saya Tuan sangat tampan. Jadi itu bukan suatu kerugian untuk saya." Senyuman sinis pun seketika terulas dari sudut bibirnya. Dia sejenak melirikku dengan sorot matanya yang tajam. "Jika kamu ingin bekerja di Wijaya Group, menjauhlah dari saya malam ini!" "Sepertinya pria seperti Anda tidak bisa mendengar lelucon kecil dari saya. Padahal saya tidak sungguh-sungguh mengatakan semua itu," ucapku meladeni ancamannya dengan santai. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN