“Turunin gue di sini!” pinta Sera begitu mobil Gio meninggalkan halaman rumah Jouvan dan Rea.
Gio mengernyit, bingung dengan permintaan gadis yang duduk di sebelahnya.
“Gio, lo nggak dengar? Gue minta turun di sini,” seru Sera kesal.
Gio menginjak rem mobilnya mendadak, membuat Sera terdorong ke depan. “Lo mau ngapain turun di sini?” Gio melihat sekitar jalan perumahan yang nampak sepi karena sudah jam sembilan malam. Walaupun cahaya lampu terang tetap saja suasana terlihat menyeramkan. “Lo mau orang mikir lo cewek bayaran yang sedang nunggu pelanggan, hah?” Gio mengerang kesal.
Apa yang di katakan Gio barusan, sontak membuat Sera terdiam. Kalimat terakhir begitu membuat hatinya nyeri. Siapa Gio bisa mengibaratkan dirinya seorang wanita tidak benar yang menunggu pelangg@n hanya karena ia meminta turun di sini? Apa ada yang salah?
“Lo tahu kalimat apa yang barusan keluar dari mulut lo itu?” tanya Sera datar tanpa melihat lawan bicaranya.
Gio diam, ia mencoba mengingat apa yang di ucapkan beberapa detik yang lalu. Jujur ia tidak memikirkannya sebelum diucapkan. Dan kini ia merasa menyesal.
“Oh sh1t! Kenapa gue ngomong begitu sama cewek ini. Tamatlah riwayat gue sekarang.” maki Gio pada dirinya sendiri.
Sera membuka pintu mobil, dan keluar dari mobil Gio tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Gio melihat Sera turun justru hanya diam, bingung apa yang harus di lakukan. Mungkin saja Sera tersinggung dengan perkataan bodohnya. Bukan mungkin tapi pasti.
Gio bergegas turun untuk menemui Sera. Wanita itu sedang sibuk dengan ponselnya.
“Lo mau apa turun di sini? Gue udah bilang sama Jouvan antar lo sampai apartemen. Ayolah kenapa lo jadi kayak anak kecil sih?”
Sera mengangkat wajahnya dan menatap Gio dengar sorot mata yang tidak bisa di mengerti.
“Kenapa sih lo meerasa bertanggung jawab banget sama gue? Pertama, pulang dari Bali, kedua pulang gue dari Lampung dan yang ketiga tadi sore di depan Galaxy Media. Dan sekarang yang ini. Gi, dengar baik-baik ya. Jauh sebelum lo datang di kehidupan gue, hidup gue baik-baik aja. Gue biasa pergi kemana pun gue mau, Entah siang atau tengah malam. Jadi jangan pernah berpikir gue cewek lemah. Dan satu hal lagi, jangan sekali-sekali lo peduli sama gue atau kasihan sama gue,” ucap Sera dengan lantang dan tegas. “Sory taksi gue udah datang. Gue duluan” Sera berlalu dari hadapan Gio yang mematung.
Ucapan gadis itu membuat perasaannya gelisah, merasa bersalah dan sedih. Saat ia tersadar, taksi yang ditumpangi Sera sudah pergi cukup jauh sampai yang tersisa hanya cahaya lampu di bagian belakang mobil.
Gio bergegas kembali ke mobilnya. Ia tidak mau di anggap orang tidak waras karena berdiri sendiri di pinggir jalan saat malam hari. Bukan takut dengan set@n tapi takut diteriaki orang gila.
***
“Hai cantik, udah lama nih nggak ke sini? Ke mana aja non, sibuk memburu berita?”
“Ssstttt, jangan ribut. Lo mau gue diliatin sama orang-orang” pergi ke tempat seperti ini tidak membuat ia lengah. Sera selalu berusaha agar orang-orang tidak mengenalinya sebagai seorang reporter.
“Opsss! Sory, gue lupa lo orang famous” bisiknya.
“Ya udah, buatin gue yang seperti biasa” ucap Sera ketika b0kongnya mendarat sempurna di kursi bar. Ia tidak pulang ke apartemen tapi pergi ke club, seperti biasa saat suasana hati dan pikirannya sedang kacau maka tempat ini selalu jadi tujuan akhirnya.
Jack meracik minuman yang diminta Sera. Minuman dengan kadar alkohol rendah karena ia tidak mau tumbang sedangkan besok harus bekerja. Belum lagi kalau ia mabuk dan membuat ulah bisa saja memancing orang-orang dan akhirnya identitasnya ketahuan. Tamat sudah riwayatnya jika itu terjadi.
Sera langsung menyambar gelas yang di berikan oleh Jack. Menenggaknya hingga tandas.
“Ada masalah? Kok muka lo lecek kayak cucian belum di setrika?” tanya Jeck setengah bercanda.
Sera mengangkat bahunya pelan, “Biasa pekerjaan. Kayak lo nggak tahu gue aja. Selain kerjaan, apa lagi yang bisa bikin gue berakhir di sini,” jawabnya santai.
“Iya juga. Gue hampir lupa dengan siapa sedang bicara. Si ratu judes dan masa bod0h.”
Diam-diam sosok yang sebelumnya mengikuti Sera kembali muncul. Ia memperhatikan gadis itu dari meja yang cukup jauh. Matanya awas tidak ingin kehilangan target yang di intai.
Sampai tengah malam yang Sera lakukan hanya duduk dan menikmati minumannya. Jika bukan karena Jeck mencegahnya mungkin gadis itu tidak akan berhenti minum.
“Lo kayaknya harus pulang deh. Kondisi lo udah nggak stabil. Lo mabuk, Ser,” ucap Jeck setengah berteriak. Karena suaranya kalah dengan suara hentakan musik.
“Iya iya, gue tahu batasan gue sendiri. Sebelum gue tepar terus dikerjai sama orang berotak kotor lebih baik gue pulang,” ucap Sera sambil menyerahkan uang pada Jeck.
Sera berjalan sedikit terhuyung, tapi masih dalam kondisi sadar. Kepalanya terasa berdenyut dan pusing. Ia keluar dari club yang ada di kawasan Jakarta Selatan. Setelah sampai di luar, ia memasukkan tangannya ke dalam tas untuk mengambil ponselnya. Ia hendak memesan taksi online untuk mengantarnya ke apartemen.
Tiba-tiba sebuah tangan besar menyambar dan mencekal pergelangan tangan Sera dan bicara setengah memerintah, “Ikut gue,” titahnya tegas.
Sera menghentakkan tangannya ketika tahu siapa sosok yang berbicara padanya. “Lo kenapa di sini? Ini bukan kebetulan kan? Lo buntutin gue, hah?” tanya Sera kesal.
Bukan menjawab Gio malah menarik Sera masuk ke dalam mobil miliknya. Membuka pintu dan memaksa Sera masuk. Ia tidak peduli jika Sera mengamuk karena ulahnya.
Sera yang dalam keadaan setengah mabuk tidak bisa berbuat banyak. Kepalanya terasa makin sakit dan ia tidak sanggup berdebat dengan Gio. Ia memilih untuk pasrah apa pun yang di minta oleh Gio. Sera menyandarkan tubuhnya di kursi, memasang seatbelt lalu memalingkan wajahnya ke arah luar jendela.
Gio menoleh ke samping, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tidak peduli seberapa marah Sera padanya. Yang jelas ia tidak akan tega membiarkan Sera pulang naik taksi dengan keadaan setengah mabuk. Gio tidak bisa membayangkan jika ada orang yang berniat jahat pada Sera.
Mobil mulai melaju, membelah jalanan Kota Jakarta di tengah malam. Masih sangat ramai, namun justru berbanding terbalik dengan suasana di mobilnya. Sera masih terdiam, posisinya bahkan sama tidak bergerak sedikit pun sejak tadi. Gio khawatir bisa saja gadis itu mengalami kram pada leher karena tidak merubah posisi sedikit pun.
Tanpa Gio sadari, Sera kini sedang menitikan air mata. Sera merasa bodoh harus menangis karena mengingat ucapan Gio beberapa jam yang lalu. Bukan hanya kata-katanya, tapi pria itu juga membentaknya. Kenapa dia seperti itu? Apa haknya bersikap seperti itu kepadanya?
Tidak lama, mobil yang di kemudian oleh Gio sudah sampai di apartemen Sera. Gio diam, karena berpikir kalau Sera akan semangat untuk keluar dari mobilnya. Tapi nyatanya Sera tetap diam, saat Gio mendekati gadis itu ternyata Sera tengah tertidur.
Gio mendesah pelan, “Sekarang apa lagi ini?” gumamnya pelan. “Kasihan kalau harus dibangunin kayaknya anak ini capek banget. Bukannya pulang malah lari ke club malam, kebiasaan sekali.” Gio menggeleng heran pada perilaku Sera.