Chapter 13

1338 Kata
Dave tidak membuang waktu lama untuk mencerna kode dari Nath perihal penampilannya kini. Dia kembali menyambangi kamar rawat Nath setelah membeli alat cukur sekaligus foam untuk menghilangkan bulu-bulu di rahangnya. Dia akan memakai kamar mandi yang ada di ruang perawatan istrinya untuk membuat wajahnya bersih seperti dulu. “Maukah kamu membantuku membersihkannya, Nath?” Pertanyaan menggodanya membuat Nath mendelik. “Boleh-boleh saja, tapi apakah kamu mau menerima risikonya? Sebab tangan kananku masih tertancap jarum infus, jadi aku hanya punya tangan kiri.” Dengan seringainya Nath menanggapi pertanyaan Dave. Dave bergidik sebab dia tahu pasti bahwa Nath bukan kidal. “Lain kali saja kalau begitu,” tolaknya cepat. “Ya sudah aku pakai kamar mandimu dulu,” sambungnya sambil melangkah menuju kamar mandi. Diperlukan waktu satu jam untuk Dave membabat habis bulu-bulu yang tumbuh memenuhi rahangnya. Dia tersenyum menatap pantulan wajahnya yang telah bersih dan lebih segar di cermin samping wastafel. “Sekarang tinggal memangkas rambut ini,” gumamnya. Dave cepat merapikan peralatan cukurnya. Dia sudah tidak sabar meminta pendapat Nath atas setengah penampilan barunya kini. Ketika keluar dari kamar mandi, Dave tersenyum saat melihat Nath menonton televisi sambil memakan buah naga yang tadi dia kupas dan potong kecil. “Menurutmu bagaimana penampilanku sekarang?” Pertanyaan Dave membuat Nath terkejut dan spontan menghentikan aktivitasnya menikmati potongan buah naga yang tinggal sedikit. Nath menoleh dan cukup terpesona melihat wajah suaminya sudah terbebas dari bulu-bulu yang menggelikan. Namun dia berusaha keras menanggapinya sebiasa mungkin, karena tidak mau melihat Dave melayang. “Bagus. Bersih,” jawabnya datar. “Hanya itu?” tanya Dave tidak percaya. “Memang kamu maunya aku jawab apa?” balas Nath tak acuh. “Siapa tahu kamu bilang bahwa aku sudah kembali tampan,” ujar Dave penuh percaya diri dan tersenyum sehingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi. “Dasar,” cibir Nath dan kembali mengalihkan perhatiannya pada layar televisi. “Mau aku kupaskan buah lagi?” Dave menawarkan setelah duduk di samping Nath. “Tidak perlu, aku sudah kenyang dan mengantuk,” tolak Nath. “Baiklah. Setelah kamu tidur, baru aku pulang. Sekarang tidurlah.” Dave menaikkan selimut yang berjejal di kaki Nath. “Tidak usah. Sekarang saja kamu pulang,” Nath kembali menolak. “Tidak. Apa mau aku dongengkan sebuah cerita?” goda Dave. Pupil mata Nath membesar. “Ish! Aku bukan Della,” ketusnya, kemudian memunggungi Dave. Dave tertawa melihat kekesalan istrinya. “Tidurlah,” ucapnya lalu mendaratkan kecupan ringan pada kepala sang istri. *** Setelah menunggui dan memastikan Nath tidur, Dave baru beranjak keluar kamar perawatan sang istri. Sebelum pulang menemui putrinya, dia berniat mampir ke barber shop untuk memperbaiki penampilan rambutnya agar Della mulai mengenalinya sebagai Papanya. Mengingat interaksinya tadi dengan Nath membuat Dave bagaikan orang gila karena senyum-senyum sendiri. Dia tidak ambil pusing dengan penilaian orang, yang penting saat ini hatinya sangat bahagia. Usai berkeliling mencari barber shop yang tidak terlalu ramai, akhirnya Dave menghela napas lega setelah menemukannya. “Siang, Pak. Mau dipotong model apa?” tanya pemilik barber shop setelah Dave masuk. “Buzz cut,” jawab Dave setelah duduk di hadapan cermin. ”Sekarang kamu tidak akan bisa lagi mengerjai Papa, Nak. Apalagi menyamakan Papa dengan anjing peliharaanmu itu,” tambahnya dalam hati. “Anaknya sudah lahir ya, Pak?” celetuk laki-laki di belakang tubuh Dave yang mulai memangkas rambutnya. Dave hanya menatap penuh tanya sang laki-laki itu dari pantulan cermin. “Kalau laki-laki berambut panjang, biasanya istrinya sedang hamil. Saat sang istri sudah melahirkan, maka ayah si bayi akan memotong rambutnya. Memang tidak semua laki-laki berambut panjang seperti itu, tapi masih banyak juga yang memercayai mitos tersebut demi kebaikan sang buah hati.” Penjelasan panjang lebar sang pemilik barber shop membuat Dave mengulum senyum. “Tidak, Pak. Anak saya sudah berusia tiga tahun dan istri saya sedang tidak hamil lagi. Saya hanya bosan saja berambut panjang dan putri saya mulai protes,” balas Dave sambil memerhatikan ketelatenan tangan laki-laki yang menurutnya seumuran sedang menata rambutnya. “Oh, maaf kalau begitu, Pak,” ujarnya merasa bersalah karena pertanyaan lancangnya. “Tidak apa-apa. Memang benar masih banyak yang memercayai mitos tersebut, tapi kita juga tidak bisa asal menyalahkan atau melarang mereka, sebab itu didasari oleh keyakinan seseorang. Tujuannya pun tidak lain untuk keselamatan sang buah hati dan istri,” Dave menambahkan dengan bijak. *** Saking senangnya atas penampilan barunya yang pasti membuat Della terkesima, Dave melupakan janjinya kepada sang anak. Alhasil, sesampainya di rumah dia mendapati Della yang sudah menunggunya di teras depan menelan kekecewaan. “Nenek, Della tidak mau bersama Om Dave lagi,” Della mengadu pada Bi Rani yang sedang menggoreng pisang. Wajahnya pun kini ditekuk. “Sayang, Papa minta maaf. Bagaimana kalau sekarang kita beli ice cream vanila dan ikan?” Dave mengikuti Della yang tersungut-sungut menuju dapur. “Tuan, sebaiknya makan siang dulu. Bibi sudah siapkan makanan kesukaan Tuan,” ucap Bi Rani sambil mematikan kompor. “Bi, jangan panggil aku Tuan lagi. Panggil saja Dave. Lagi pula Bibi bukan lagi asisten rumah tangga keluarga Sakera,” tegur Dave. “Seenak apa pun makanan yang ada tetap tidak akan terasa apa-apa, jika bocah mungil ini masih marah, Bi,” tambahnya berbisik sambil melihat Della yang masih cemberut memeluk kaki Bi Rani. Bi Rani tertawa melihat tingkah Della. “Della tidak boleh marah begitu. Sebaiknya Della juga makan, katanya tadi Della mau makan jika disuapi Om Dave? Sekarang Om Dave sudah datang, jadi waktunya Della makan.” Bi Rani menggendong Della. “Ayo, Nak, Papa suapi. Selesai makan kita langsung berangkat membeli ice cream dan ikan.” Dave mengambil alih Della dan berjalan cepat menuju meja makan. “Om tidak bohong lagi?” selidik Della memerhatikan ayahnya intens. “Papa tidak bohong, Sayang. Tadi Papa hanya lupa,” Dave beralasan. “Baiklah, tapi Om harus membelikan Della ikan yang banyak,” ujar Della sambil membentangkan tangannya. “Iya, nanti Papa sekalian belikan aquarium-nya juga,” putus Dave pada akhirnya. “Horee! Om, nanti kita beli yang besar ya,” balas Della antusias apalagi setelah Dave menyetujuinya. “Oh ya, kenapa Om Dave bilangnya Papa terus?” Della menatap Dave dengan ekspresi polos bercampur heran. Dave melirik Bi Rani yang tengah memerhatikannya. “Karena Della sudah Om anggap sebagai putri sendiri, jadi tidak ada salahnya kan Om bilang Papa?” jelas Dave meski dadanya berdenyut nyeri. Della hanya manggut-manggut sambil bersandar pada d**a bidang sang ayah. Bi Rani yang hanya menjadi pendengar ikut tersenyum dan menggelengkan kepala melihat kedekatan Della dengan Dave. ”Della yang belum tahu apa-apa saja sudah sedekat ini dengan Papanya, apalagi sudah tahu?” Bi Rani membatin. *** Dave dan Della kini dalam perjalanan kembali ke rumah setelah membeli yang diinginkan Della. Semenjak kembali dari toko boneka yang mereka singgahi, Della terus memeluk erat boneka anjing yang tadi dibelikan Dave. “Om, ini bonekanya laki-laki apa perempuan?” tanya Della sambil sesekali mencium boneka berukuran sedang itu. Dave terkekeh mendengarnya. ”Della, Della, mana Papa tahu jenis kelamin boneka itu karena tidak dijelaskan, selain itu mereka semuanya lucu dan imut,” batin Dave. “Sepertinya perempuan, Sayang,” jawabnya asal. “Boleh namanya Brown, Om?” “Hmm, sebaiknya Browny saja, Sayang,” Dave menyarankan. Della mengangguk. “Halo, Browny,” sapa Della sambil melambaikan tangannya ke arah Browny. Senyum Dave semakin mengembang. “Della suka?” “Suka, Om. Nanti akan Della kenalkan Browny dengan Mama,” jawabnya. “Oh ya, rambut di wajah Om sudah dipotong ya?” tambahnya menyeletuk. Hampir saja Dave tersedak mendengar pertanyaan putrinya yang polos ini. ”Nak, kamu kira Papamu ini monyet?” batinnya bertanya-tanya. “Rambut di kepala Om juga sudah tidak panjang, jadi tidak bisa lagi Della ikat seperti rambut Mimi,” Della kembali berujar tanpa peduli ucapannya membuat sang ayah frustrasi. Dave menarik napasnya perlahan dan mengembuskannya pelan-pelan sebelum memberikan tanggapan. “Iya, Sayang, tadi sudah Papa potong. Mama yang menyuruh, katanya supaya Della mengenali Om sebagai Papanya Della.” Dave memerhatikan reaksi putrinya. Della terdiam, mencerna jawaban Dave. Tidak lama kemudian Della kembali membuka suara, “Jadi Om Dave benar Papanya Della? Tapi kata Mama, Papa pulangnya lama, Om, karena Papa masih mencari uang yang banyak,” balas Della polos. Dave hanya mampu mengembuskan napas mendengar jawaban sang putri yang terkesan menolak statusnya. ”Sabar, Dave. Ingat perkataan istrimu, jangan menggebu-gebu sebab Della masih kecil,” batinnya menenangkan. “Om, Della ngantuk,” bilang Della sambil beberapa kali menguap. Dave menoleh. “Tidurlah, Nak.” Setelah melirik spion, Dave menepikan mobilnya untuk membantu Della mencari posisi nyaman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN