Melanggar Prinsip

1730 Kata
Jakarta, Indonesia Tepat pada hari sabtu, pada bulan Juni 2019. Tercatat sebagai hari istimewa bagi sepasang kekasih, dimanapun mereka berada. Sebab, sabtu menuju malam minggu adalah akhir pekan yang akan dihabiskan oleh pasangan, sahabat, teman, dan sendirian untuk menghabiskan waktu bersama. Sekedar jalan-jalan, makan malam diluar, berkumpul, atau pergi ke tempat bermain. Teruntuk sore menjelang malam itu. Seorang wanita cantik tengah bergegas dengan gerakan cepat bersiap dengan pearl accent tie blouse, celana jeans serta sepatu hak tinggi berwarna hitam miliknya. Itu adalah style ke kantor untuknya sebenarnya, tapi dia tidak punya waktu untuk berganti pakaian karena dia baru saja pulang dari kantor setelah ada urusan yang memang dijadwalkan pada hari itu tapi mengalami keterlambatan waktu alias waktu melar beberapa jam, mau tak mau dia terpaksa terlambat untuk datang pada janji yang sudah dibuat oleh kekasihnya tercinta padanya. “Ugh!” Tak tak tak “Ish… ya ampun, rambut lupa!” katanya saat melihat dirinya yang akan keluar dari pintu apartemen tapi terhenti setelah melihat kaca yang berada di dinding bagian samping lorong pintu, memperlihatkan dirinya dengan rambut yang masih dikuncir tinggi. Segera dia melepaskan ikatan rambutnya hingga rambut panjang itu tergerai sampai menutupi seluruh bagian punggungnya mencapai sebatas pinggang. Dia mengacak dan merapikan untuk membuat volume pada rambut yang berbekas akibat dikuncir selama seharian. Dia pulang ke apartemennya hanya untuk mentacap make-up sederhana setelah seharian dirinya bekerja di luar dan membuat wajahnya kusam. Dia memang terbiasa tidak membawa alat make up ataupun semacamnya jika di rumah dia telah memakainya. Dia wanita simple, tidak ingin ribet. Terlalu malas untuk membuat dirinya sendiri susah. Tapi hari ini dia mengakui, dirinya malah dikejar waktu akibat prinsip hidup tanpa ribetnya. Akibatnya dirinya gugup, dan berkeringat. “Untung-untung Haxel gak marah aku telat datang,” gumamnya sambil kembali meraih ganggang pintu apartemen miliknya. Tak tak tak Dia melangkah dengan gerakan cepat terlihat seperti berlari, mungkin dapat dikatakan berlari. Tapi dia juga tetap harus menjaga keseimbangan tubuhnya dan menjaga make up sederhana yang dia tacap tadi, takut-takut make up malah bergeser atau lebih parah lagi luntur akibat keringat yang membanjiri pelipisnya. “Hah hah hah….” Dia berhenti saat sudah mencapai lift untuk menuju basemant apartment tempat parkir mobilnya di sana. Tink!  Segera melangkah masuk, di dalam hanya dia sendiri. Tidak ada rasa takut untuknya walau selalu melakukan apapun sendirian. Di apartment pun dia sendirian, melalukan semuanya sendirian dan mandiri, tapi terkadang dia tetap saja kewalahan jika dirinya terlalu lelah. Karena hidup sendiri tetap saja dia harus bertahan hidup dengan cara sendiri, seperti mencari makanan, memasak atau delivery order makanan yang akan diantarkan sampai ke depan pintu apartmentnya. Dia tinggal di apartment juga baru beberapa bulan, artinya dia mulai tinggal di apartment pada akhir tahun 2018 lalu. Alasan dia ingin tinggal di apartment juga karena sebuah pekerjaan, dia ingin lebih dekat saja dari kantornya dari pada dia harus tinggal di rumah yang merupakan rumah Kakaknya. Tink! Tak tak tak Dia langsung masuk ke dalam mobil bagian jok kemudi, sebelum berangkat dia melihat ke arah jam tangan menunjukkan waktu, pukul 05:01. Dia sudah terlambat satu menit dari jadwal perjanjian. Dia padahal orang disiplin yang tidak suka terlambat, tidak suka dengan keterlambatan. Tapi hari ini tampaknya pengecualian dia tidak bisa tidak menyukai walau sebenarnya dia tidak menyukainya, tapi bagaimana bisa dia tidak menyukai dirinya  sendiri yang terlambat datang tempat dia sudah berjanji pada sang Kekasih. “Aduh… maafkan aku maafkan aku, Haxel bisa marah. Tuhan tolong jangan sampai dia menyindirku gara-gara hari ini.” Dia memohon dan berharap sang Kekasih tidak marah padanya karena hari ini dia melanggar prinsipnya, sanggat. Karena baru saja keluar dari basemant dia sudah terlambat tiga menit, bahkan untuk mencapai lokasi perjanjian saat jalanan lancar tidak macet akan membutuhkan waktu 25 menit. Tapi ini akhir pekan dan sore sabtu, tentu jalanan sudah dapat dipastikan macet. Dia sudah bertambah gugup memikirkan hal itu. Benar saja, antrian panjang perjalanan padat merayap ada di depannya. Segera dia meraih ponsel miliknya berniat untuk menghubungi sang Kekasih agar tidak mengkhawatirkannya karena dia datang terlambat. “Hallo…,” sapanya langsung saat panggilan yang dia lakukan pada kontak sang Kekasih tidak berapa lama dijawab langsung oleh yang dihubungi. “Hallo, kamu sudah diperjalanan? Jalanan pasti macet saat ini,” kata sang Kekasih langsung sebelum dirinya mengatakan maksud dia menghubungi sang Kekasih. “Iya…, jalanan macet. Maaf ya, Xel. Aku bakal telat datang, aku akan jelaskan kenapa aku bisa telat, maaf maaf.” Dia mengucapkan maaf berkali-kali pada sang Kekasih karena dia khawatir sang Kekasih marah padanya. “Pokoknya aku akan segera sampai di sana, janji! Jad-,” ucapannya terpotong karena sang Kekasih bersuara. “Gak papa, Sayang. Aku akan di sini, nungguin kamu. Hati-hati di jalan, focus pada jalanan aja jangan yang lain, ok?” sanggah sang Kekasih dengan nada suara menenangkan dan terkesan lembut, seperti biasanya. Yang membuat dirinya jatuh cinta bertahan lama pada sang Kekasih adalah kesabaran, kebaikan, dan keramahannya. “I-iya,” jawab wanita itu dengan agar tergagap. “Baiklah sudah dulu, ya. Aku menunggumu.” Setelah mengucapkan itu sang Kekasih lebih dulu memutuskan panggilan secara sepihak sebelum dirinya menjawab ucapan terakhir dari panggilan itu. Dia melihat layar ponselnya sudah kembali seperti semula menandakan tidak ada panggilan yang sedang berlangsung. Wanita itu menghela napas, dia khawatir sebenarnya Kekasihnya marah padanya, walau dia menghubungi sang Kekasih lebih awal dari keterlambatan yang akan terjadi di depan matanya, yaitu sampai ke lokasi bisa mencapai waktu 15 menit lebih lama dari waktu jarak tempuh normal, yang artinya dia bisa sampai ke tempat janjian dalam waktu 40 atau bahkan lebih dari 40 menit. “Dia marah?” tanyanya pada dirinya sendiri. Pasalnya dia merasa heran dan bingung pada Kekasihnya tadi yang menutup panggilan lebih dulu dan terkesan tergesa ingin cepat menyelesaikan pembicaraan dengannya. “Ada apa?” tanyanya lagi, tentu bukan pada siapapun melainkan pada dirinya sendiri. “Arghh bikin overthinking aja. Ayo dong jalan… macetnya jangan lama-lama, Ayah…!” gerutunya sambil mencengkram stir dengan kuat membuat tulang-tulang pada jari-jarinya terlihat memutih. Dia juga orang yang benci menunggu, macet adalah salah satu yang dia benci. Selama pindah ke Jakarta, yang selalu dia keluhkan adalah macetnya jalanan Ibu Kota. Sebab jika di kota asalnya atau tempat tinggal orang tuanya saat ini macet jarang terjadi, atau jalanan tidak sepadat ini. “Oke, ini aku sudah terlambat lima belas menit. Astaga…! Ini bukan hidupku sekali!” gerutunya mencoba menekan emosi yang memuncak di ubun-ubun kepalanya. Dia terlihat kepeningan, memijit pelipisnya dan melepaskan kacamata lalu pijitan pindah ke panggal hidung ramping nan mancungnya. Wanita itu terlihat sedikit gemas dengan jalanan di depannya yang bergerak hanya beberapa senti kemudian terhenti lagi. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran jok, terlihat menghempas-hempaskan kepala bagian belakangnya untuk membunuh kebosanan dan pikirannya yang saat itu menjadi semakin semberaut akibat macet masih belum bisa di lewati. “Sabar-sabar…, orang sabar disayang Haxel, lepas macet ini jalanan lancar kok, mungkin sih. Argh…,” desah geramnya memanjang dan sering terdengar karena dirinya yang sudah semakin tidak nyaman. Setelah melewati masa tekanan batinnya, tepat 42 menit waktu yang dirinya butuhkan untuk sampai di lokasi janjian yang disebutakan oleh sang Kekasih. Dia menghentikan mobilnya di area parkir yang memang dia sediakan di café tempat Kekasihnya menunggu. Wanita itu keluar dengan tergesa, tapi sebelum dia masuk ke dalam café, dia malah berhenti untuk sebentar melihat kaca mobilnya sendiri dengan maksud berbercermin. Padahal di dalam ada kaca yang dapat dia gunakan untuk bercermin. “Astaga aku lupa meja nomor berapa!” kesahnya saat sadar dia tidak mungkin bertanya tanpa tahu meja yang dituju nomor berapa atau lebih parah lagi dia berkeliling ke seluruh bagian café untuk mencari Kekasihnya. Wanita itu langsung merogoh tasnya mencari ponselnya dan mendeal kontak sang Kekasih. “Hallo, kamu meja nomor berapa? Aku lupa,” kata wanita itu langsung. “Kamu sudah sampai? Sekarang dimana?” Bukannya menjawab, sang Kekasih malah bertanya balik padanya. “Aku? Aku di parkir, baru saja sampai. Kamu dimananya?” tanya wanita itu sekali lagi pada sang Kekasih. Lalu sebentar tidak terdengar apapun di sana. “Sebentar,” katanya. “Meja nomor empat puluh dua di lantai dua,” sebut Kekasihnya. Wanita itu langsung tersenyum lebar. “Baiklah, aku sebentar lagi sampai ke sana.” Setelah itu panggilan wanita itu lebih dulu menutup panggilan tersebut. Dia masuk ke dalam dan bertanya pada waiter untuk menanyakan pastinya meja nomor 42 yang dia tuju. Saat sampai di bar seorang wanita melewati wanita itu dengan sedikit menyenggol bahunya. Tapi wanita itu tidak berhenti sama sekali, dia tetap melangkah walau dirinya yang ditabrak, dia hanya bisa melihat pungung wanita itu menjauh menuju ke arah pintu keluar. Setelah mendapatkan informasi yang dia butuhkan, dia naik ke lantai dua. Kata waiter yang mengatakan keberadaan meja nomor 42 yaitu terletak di lantai dua, bagian outdoor.  “Naami!” Sebuah suara mengalihkan perhatian wanita tadi yang bernama Naami itu pada satu meja yang ditempati oleh seorang pria, yang dia kenali sebagai Kekasihnya, bernama Haxel Wyman Agung. Melihat Kekasihnya melambaikan tangannya tinggi untuk memberikan kode pada Naami menemukan meja mereka. Naami melangkah dengan langkah ringat dan senyuman yang mengembang dikedua sudut bibirnya. “Hai. Maaf aku telat banget,” seru Naami dengan wajah penuh penyesalan. Haxel balas tersenyum pada Naami. “Ayo duduk dulu, gak papa kok. Lihat aku masih nungguin kamukan?” kata Haxel sambil menatap Naami dengan lembut. Naami tersenyum dengan kesungguhan ucapan Kekasihnya itu. Pembiacaran mereka berlanjut hingga tiba-tiba Haxel meraih tangan Naami dan menggenggamnya. “Maukah kamu menikah denganku?” tanya Haxel tiba-tiba pada Naami yang membuat Naami langsung saja terbelalak, terkejut dan senang sudah pasti. “Ka-kamu seri-ius?” tanya Naami memastikan pendengarannya. Bahkan dia menatap lekat Haxel meminta jawaban pastinya. Haxel tersenyum melihat respon Kekasihnya yang menurutnya sangat lucu. Haxel menganggukkan kepala. “Ya, tentu saja. Sebentar,” seru Haxel. Kemudian Haxel melepaskan genggaman tangan Naami yang duduk di seberang mejanya. Haxel merogoh kantong jas yang dia kenakan saat itu dan mengeluarkan kotak perhiasasan berwarna biru tua dengan tekstur beludru saat disentuh. “Will you marry me, Naami Aurora G.?” Tanpa diduga Haxel beranjak dari duduknya di seberang Naami dan bertulut di samping Naami. Sekali lagi Naami terkejut dan terperangah dengan mulut yang terbuka dan mata yang membulat. Naami tersenyum dan menganggukkan kepala. “Yes, I will,” jawab Naami dengan bahagia. Haxel langsung bangkit dan memeluk Kekasih yang sekarang sudah menjadi Calon Istrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN