Selagi mengekori Sawyer, Waverly memerhatikan kemegahan dari ruangan-ruangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya dalam griya tersebut. Pria itu membawanya menyeberangi pintu masuk menuju sebuah ruang duduk besar, diisi oleh berbagai furnitur berwarna putih dan meja kecil yang menghadap sebuah dinding kaca yang menghadap ke arah Pegunungan Trinity. Ini adalah pemandangan paling indah yang Waverly pernah lihat. Sepanjang dinding di sisi lain terdapat lukisan raksasa dari seluruh Alpha generasi sebelumnya.
Waverly berhenti di depan salah satunya, mengamati lukisan wajah tersebut. Itu adalah seorang pria yang memiliki warna mata yang sama uniknya dengan mata Sawyer, dan dia pun memiliki garis rahang yang sama tajamnya.
"Siapa beliau?"
Sawyer berbalik dan mendekati Waverly di depan lukisan. "Kakekku," jawabnya. "Beliau yang mendirikan Kawanan Bayangan Merah dan yang membuat kawanan ini menjadi kawanan paling disegani di negara bagian ini."
Tatapan Waverly tertuju pada lukisan tersebut, mengamatinya. "Kakekku juga sama. Beliaulah yang membawa kawanan kami dari San Fransisco setelah Perang Besar Werewolf. Beliau adalah seorang Alpha yang luar biasa, tetapi aku tidak tahu apa pun mengenai hal itu hingga beliau wafat."
Terjadi keheningan selagi mereka berdua mengamati lukisan tersebut. "Beliau terlihat persis sepertimu," kata Waverly pelan.
"Orang-orang juga bilang begitu," jawab Sawyer dengan senyum tipis. "Kuharap aku bisa mewariskan peninggalan hebat sepertinya."
"Apakah itu nama belakangmu?" Waverly menunjuk pada papan nama di dasar bingkai: Kane Einar.
Sawyer mengangguk. "Itu berasal dari bahasa Skandinavia. Artinya adalah 'pejuang yang gagah berani'."
Waverly menatap Sawyer yang kekagumannya terlihat jelas ketika pria itu mengamati lukisan kakeknya. Waverly bergerak ke lukisan di sebelahnya. "Dan yang ini?"
Sawyer mengikuti suaranya dan matanya menjadi fokus ketika dia mendekati lukisan tersebut. "Ayahku."
Waverly mengamati dan melihat sepintas ketidakberdayaan memenuhi wajah pria tersebut. Waverly menantinya untuk lanjut, tetapi dia tidak mengatakan apa pun. Mereka berdiri diam selagi mata pria itu mengamati lukisan tersebut. Kemudian, mendadak pria itu bergerak dan mulai melangkah. "Ke sini."
Waverly mengikutinya dari belakang, menyadari bahwa dia baru saja mengusik hal yang salah. Namun, rasanya seolah tiap kali dia nyaris mendekati kebenarannya, dia akan kembali terdorong mundur.
Mereka menuruni sebuah tangga yang terdiri dari tiga bagian menuju sebuah ruangan yang lebih pendek, yang terdiri dari beberapa rak buku setinggi langit-langit serta berbagai kursi berlengan kecil dan sofa pasangan. Sebuah perapian terletak di tengah untuk menghangatkan seluruh ruangan.
Sawyer membimbingnya memasuki sebuah pintu ganda menuju sebuah ruangan ketiga yang memiliki sebuah meja baja besar di depannya. Meja tersebut dipenuhi perlengkapan kantor dan dindingnya didekorasi oleh rak-rak yang terdiri dari foto-foto terbaru Sawyer, Christopher, dan beberapa orang yang tidak Waverly kenali.
"Wow," kata Waverly sambil mendekati sebuah jendela raksasa yang terletak di balik meja yang menampilkan seluruh pemandangan desa. "Ini ... sungguh luar biasa."
Sawyer mendekat dan berdiri di sampingnya. "Pemandangan ini mengingatkanku pada betapa pentingnya posisiku," katanya tanpa melepaskan pandangannya dari pemandangan di bawah.
Waverly mengalihkan pandangannya ke arah pria itu. Dia berdiri dengan satu tangan di dalam sakunya dan bayangannya memantul di jendela kaca ketika matahari senja mulai terbenam.
Pria itu kemudian bergerak mundur dan mulai menyingkirkan kertas-kertas di atas mejanya. "Saat makan malam tadi kau bilang kau tidak percaya aku sedang melindungi kawananku."
Mendengarnya membuat Waverly kembali memusatkan perhatian pada Sawyer. "Aku tidak pernah berkata begitu."
"Tetapi, kau memercayainya."
"Aku hanya memercayai pepatah kuno, 'kau tidak akan tahu sebelum mencobanya'."
Sawyer menelusuri setiap lembaran kertas sebelum berhenti pada satu kertas. "Yang ini," ujarnya. "Ini adalah pengumuman asli dari Sistem Penyatuan."
"Sistem Penyatuan?"
"Seperti itulah awalnya pengaturan ini disebut," kata Sawyer. "Ketika kutukan itu terjadi, aku berusaha menemukan pasangan di antara kawananku. Kemudian aku menciptakan Sistem Penyatuan, untuk mencari pasangan dari kawanan yang berbeda."
Dia meraih sebuah kertas dan menyerahkannya pada Waverly. Pada bagian atas dokumen tersebut, persis seperti surat yang diterima Kawanan Lycan nyaris seminggu yang lalu, terdapat simbol dari Kawanan Bayangan Merah. Di bawahnya terdapat penjelasan mengenai Pengorbanan yang menyebutkan jangka waktu tiga tahun.
"Pengorbanan seharusnya hanya berlangsung selama tiga tahun?" tanyanya tidak percaya. Dia menatap Sawyer yang mengangguk. "Tapi, seluruh kawanan sudah diwajibkan untuk mempersembahkan kandidat tiap empat tahun selama satu dekade ini ...."
"Aku sama sekali tidak pernah berniat begitu," Sawyer menjawab sambil mengambil kertas tersebut dari tangan Waverly. "Aku sudah mencoba menghentikannya, tetapi para kawanan itu tidak mau mendengarkanku. Mereka terus mengirimiku pasangan potensial."
Waverly menatapnya bingung. "Mengapa mereka melakukannya?"
Namun, rasa penasaran Waverly terhenti ketika pintu menuju kantor terbuka.
"Sawyer, kau harus membantuku."
Christopher memasuki ruangan dengan setumpuk kertas dan sebuah pena di tangannya. Dia meletakkan semuanya di atas meja di depan mereka dan mendongak ketika dia melihat Waverly berdiri di samping Sawyer dengan mengenakan gaun malamnya. Sebuah seringai muncul di wajahnya, menampilkan lesung di pipi kirinya dengan jelas. "Oh, bukankah kau terlihat begitu menawan. Kurasa, ini perubahan suasana yang bagus dari jaket bertudung dan celana olahraga."
Waverly tersenyum pada Christopher dan hendak menjawab sebelum Sawyer menyela.
"Apa ini?"
Christopher menunjuk kertas yang berisi dari berbagai nomor tiga digit. "Biaya pemeliharaan tanah. Aku sudah merencanakannya dengan teliti agar kita bisa melayani hampir segala permintaan, bahkan jika ..." dia mendongak menatap Sawyer yang memandangnya tajam. "Omong-omong ... aku tidak bisa memastikan pengeluaran untuk membantu perbaikan atap restoran Tillbury's di kawasan pertokoan."
Sawyer menatap lembaran kertas di hadapannya selagi Christopher melanjutkan.
"Kita bisa mengambilnya dari—"
Sawyer mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Tidak, tidak, restoran Tillbury's sudah ada sejak zaman kakekku. Sini, biar kuperiksa."
Sawyer meraih pena dan mulai menulis di kertas; matanya terlihat fokus. Waverly mengamati selagi pria itu menjelaskan alurnya pada Christopher. Dia memicing menatap angka-angka tersebut, mengerutkan alis. Meski terlihat bingung, dia melakukan perhitungan angka seolah-olah itu merupakan kebiasaan untuknya.
Dia meletakkan pena. "Begitu."
Christopher mengamati dokumen dan seringai muncul di wajahnya. "Dan inilah sebabnya kau adalah seorang Alpha," katanya. "Benar-benar dewa."
Sawyer tertawa lepas; fitur wajahnya semakin terlihat jelas di setiap tarikan napasnya selagi dia meletakkan tangannya pada bahu Christopher. "Aku tidak akan menyebut—"
"Tidakkah kau lihat bagaimana caramu menanganinya?" kata Christopher dengan penuh semangat. Sawyer lanjut terkekeh; ini adalah tawa terbanyak yang pernah Waverly lihat darinya.
"Dengar," kata Christopher begitu nada suaranya mulai stabil. "Beberapa pegawai ingin mengadakan sebuah pertemuan malam ini, sekitar pukul delapan sebelum mereka pulang."
Sawyer mengangguk. "Bagaimana dengan kunjungan desa?"
"Semua sudah diselesaikan tadi siang."
Mendengarnya, Sawyer tersenyum. "Terima kasih, kawan."
Christopher mengangguk. "Apa pun untuk seorang dewa." Sawyer menggeleng dan menahan tawa. "Baiklah, aku akan membawa ini ke Ruby dan memulainya. Sekali lagi terima kasih, Sawyer," kata Christopher. Dia mengangguk hormat dan menyeringai pada Waverly sebelum menutup pintu kantor.
Mata Sawyer masih menatap kusen pintu beberapa saat setelah Christopher pergi.
"Siapa Ruby?" Waverly bertanya penasaran. Sawyer menatapnya, matanya masih berkilau karena percakapan sebelumnya.
"Oh, akuntan kami," jawabnya santai. "Dia yang mengatur semua keuangan untukku."
Waverly menyeringai. "Kau bisa mengatur semuanya sendiri dilihat dari caramu mengatasinya." Waverly mengibaskan tangan di atas meja tempat tadi tumpukan kertas yang Christopher bawa sebelumnya diletakkan.
"Matematika hanya sesuatu yang bisa kulakukan," jawabnya. "Bukan sesuatu yang kunikmati."
Waverly terkekeh dan ketika mendongak, dia melihat Sawyer sedang menatapnya. Ekspresinya penuh tekad.
"Bagaimana jika rencana ini tidak berhasil?" tanyanya, suaranya merendah.
Waverly menghela napas. "Aku tidak tahu—" katanya. "Tapi, kurasa, untuk kawananmu, ini patut dicoba."
Tatapan Sawyer tetap tertuju padanya, nyaris seperti sedang mempelajarinya. Dalam jarak dekat dan tertutup seperti ini, Waverly bisa menghirup aroma kesturi dari parfum pria itu menguar dari kerah bajunya yang tidak tertutup. Kalungnya menjuntai hingga ke tengah dadanya, memperjelas sedikit lekukan otot yang bisa Waverly lihat di baliknya.
Mata Sawyer bergerak dari matanya hingga pipi kemudian pada bibirnya. Tubuh pria itu bergeser mendekat dan pada setiap langkah yang pria itu ambil, bintik halus di sekitar batang hidungnya tampak semakin jelas. Tubuh Waverly bergetar selagi dia menutup mata dan merasakan hawa dari napas pria tersebut semakin memanas.
Kemudian, hawa hangat tersebut menghilang. Waverly membuka mata dan melihat Sawyer berdiri dekat rak dengan tangan terkepal. Dia menatap lantai dan wajahnya berkerut.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Waverly dengan tenang. Sawyer berdiri diam dan tidak mengatakan apa pun. "Sawyer?"
"Keluar."
"Apa?" kata Waverly, lubang dalam perutnya seolah kembali terbuka. "Aku—"
"Pergi," ulang pria itu. Suaranya dingin dan mengancam. Waverly menatapnya, dipenuhi kekagetan. Dialah yang membawanya ke tempat ini, menerima syarat-syaratnya, dan beberapa detik lalu, rasanya, hendak menciumnya, dan sekarang ...
Waverly menanti beberapa saat. Sawyer tetap berada di tempatnya, pandangan matanya terangkat untuk menatapnya. Tubuh pria itu terlihat tegang, tetapi pandangannya lemah. "Kumohon," katanya.
Waverly menggigit bibir bawahnya dan menyetujui permintaan tersebut. Dia pun mengangkat kaki dan berjalan menuju pintu. Ketika dia berbalik, Sawyer sudah duduk di kursi pada mejanya dengan punggung menghadapnya. Waverly menghela napas dan meninggalkan kantor, dengan meninggalkan suara pintu yang tertutup menggema di telinganya.