"Mustahil," Sawyer berkomentar sambil meraih sepotong ayam lagi. Seorang pelayan muncul dan mengisi gelas anggur mereka.
"Tapi, itu tidak mustahil," kata Waverly. "Kau hanya perlu menemukan pasanganmu."
Sawyer berdengus dan tawa kecil meluncur dari bibirnya. "Kau pikir aku tidak pernah mencoba?"
"Aku tidak pernah mengatakan kau tidak pernah mencoba," Waverly mulai menjelaskan. "Tetapi, kau tidak bisa benar-benar menguji sebuah ikatan dengan mengurung seseorang dalam sebuah ruangan."
Sawyer mengamati piringnya. Waverly melihat tangan pria itu bergetar sedikit sebelum dia lanjut makan.
"Kita harus mengujinya, Sawyer. Hanya itu satu-satunya cara agar kau bisa benar-benar menyelamatkan kawananmu."
Pria itu terhenti, pisau serta garpunya berkelontangan ketika terjatuh ke piring. Wajahnya mulai dipenuhi kejengkelan serta keputusasaan. "Lalu apa? Gagal lagi seperti sepuluh kali sebelumnya? Wanita yang jauh lebih baik darimu sudah pernah mencobanya."
Perkataan pria itu menghantam Waverly layaknya sebuah tombak es.
Ketika melihat Waverly tidak berbicara, Sawyer menatapnya, matanya seolah menantikan perlawanan. Waverly menarik napas untuk mendapatkan ketenangannya kembali dan menekan perasaan terhina luar biasa yang mulai menggelegak dalam dirinya.
"Tapi, mereka bukan aku," dia berkata tegas. Waverly menatap balik Sawyer yang ekspresinya kini berubah dari tidak puas menjadi tertarik. Jelas sekali dia tidak menyangka Waverly akan membalas begitu cepat.
Pria itu terus menatapnya. "Kau bersedia untuk tetap tinggal meski mengetahui apa yang akan terjadi padamu jika hal ini tidak berhasil?"
Waverly tidak menjawab dan hanya terdiam, Sawyer mengetahui jawabannya.
Dia mengangkat alis. "Menarik. Gila, tetapi menarik."
"Kau merasa ini gila?"
Sawyer menggeleng. "Aku hanya tidak paham mengapa seseorang mau mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan sebuah kawanan yang bahkan bukan kawanan mereka."
Waverly menyesap anggurnya. "Dan aku hanya tidak paham mengapa seorang Alpha tidak ingin melakukan segala yang dia bisa untuk melindungi kawanannya. Jadi, kurasa kita impas."
Sebuah seringai. Waverly mulai dekat dengan apa yang dia cari. Sawyer mengamatinya dari atas hingga bawah dan Waverly bisa merasakan pipinya sedikit memanas.
"Kurasa begitu," jawab pria itu. "Kalau begitu, beritahu aku. Jika rencanamu ini berhasil dan kita semua hidup bahagia selamanya, apa yang akan kau lakukan?"
Waverly memiringkan kepala. "Apa maksudmu?"
"Persis seperti yang sudah kukatakan," ucap Sawyer, meletakkan siku pada meja dan menautkan jemari. "Kau akan terbebas, dan, yah ... hidup. Kau tidak punya rencana lain setelah Gerhana Bulan?"
Waverly mengalihkan tatapannya dari mata Sawyer ketika ia berusaha menyembunyikan rasa malunya. "Yah ... aku selalu ingin berpetualang ke seluruh penjuru negeri. Mungkin bahkan seluruh dunia, suatu hari nanti. Tetapi, itu tidak mungkin."
"Kenapa?" tanya Sawyer. "Aku sudah pernah mendengar orang-orang meninggalkan kawanan mereka untuk beberapa waktu yang lama, untuk mengeksplorasi tanah tersebut dan menemukan lokasi baru."
Waverly mengangguk, tetapi tetap menatap ke bawah. "Ya, tetapi mereka bukan putri dari seorang Alpha."
"Ah," kata Sawyer mulai paham. "Itu menjelaskan segalanya. Tidakkah kau memiliki saudara atau semacamnya?"
Sorot mata Waverly jadi menerawang ketika kenangan tentang Finn dan Isadore melintas dalam benaknya, dan sebuah senyuman muncul di bibirnya. "Seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan. Sebenarnya adik perempuanku-lah yang seharusnya datang ke sini, tetapi aku menawarkan diri menggantikannya."
Sawyer memusatkan perhatian pada Waverly. "Adikmu adalah kandidatnya?" tanyanya sedikit bingung. "Kalau begitu mengapa kau—"
"Tanggung jawab," hanya itu satu-satunya jawaban Waverly. "Ayahku selalu menekankan pentingnya tanggung jawab pada kami dan aku mengetahui posisiku sebagai putrinya." ujar Waverly, suaranya seperti sedang melamun. "Aku selalu ingin menjalani impianku dan menikmati hidup seperti yang kuinginkan, tetapi pada saat itu, ketika kudengar nama adikku disebut ... sesuatu terjadi begitu saja dan rasanya aku tidak bisa menghentikan diri sendiri. Aku tahu hal yang harus kulakukan."
Tatapan Waverly terpaku pada mata Sawyer dan untuk sesaat, sepertinya dia melihat kilasan takjub di dalam sana. Mata Sawyer terlihat seolah-olah memahaminya ... Waverly menggeleng untuk menyingkirkan pemikiran-pemikiran itu, kemudian menarik napas.
"Bagaimana denganmu?" tanyanya berusaha mengubah topik. "Kau begitu penggerutu dan misterius ... apa masalahmu?" nada suaranya penuh candaan, tetapi Sawyer jadi menurunkan tatapan matanya dan kembali pada makanan penutup yang kini sudah ada di piringnya.
"Tidak ada yang perlu diketahui," ujarnya.
"Tidak ada saudara? Atau mungkin sepupu?"
Sawyer menusuk makanannya dengan garpu, mengabaikan pertanyaan Waverly. Tangannya satu lagi yang menjuntai lemas pada lengan kursi kini menegang.
Senyuman Waverly memudar. "Sawyer?"
Pria itu segera menatapnya lagi. "Dengar, aku sudah bilang tidak ada yang perlu dibahas, paham?"
Waverly melesak kembali pada kursinya. Dia bisa merasakan secercah kebahagiaan yang baru saja dia rasakan kini kembali hancur dalam dirinya. Bagaimana dia bisa masuk dan mempertimbangkan kecocokan mereka jika pria ini tidak menunjukkan hal yang dia sembunyikan padanya?
Seolah bisa membaca pikirannya, Sawyer mendadak berdiri dari meja dan menghela napas. "Ikut aku, aku ingin menunjukkanmu sesuatu."
Waverly menjadi waspada. "Ke mana?"
Samar-samar, Sawyer memutar mata jengkel. "Apa kau selalu butuh jawaban untuk segala hal?"
"Tidak, tetapi—"
"Bagus, kalau begitu ayo pergi."
Pria itu hendak beranjak keluar dari ruang makan ketika Waverly berdiri dan menghentikannya. "Dengan satu syarat," katanya.
Dia menyadari mata Sawyer menurunkan pandangan dari matanya dan menelusuri tubuh Waverly. Rasanya sepasang mata itu sedang mengamati setiap bagian dari pakaiannya sebelum kembali bertatapan dengannya.
Waverly melingkarkan tangannya di sekitar pinggang. Tidak ada yang pernah membuatnya merasa begitu ... terekspos. Wajahnya merona, tetapi dia berdehem dan berdiri tegak, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Aku ingin punya lebih banyak barang dalam ruangan. Jika aku tidak boleh keluar atau setidaknya meninggalkan rumah ini, aku ingin punya sesuatu untuk dilakukan. Mungkin beberapa buku, sebuah cermin sungguhan, dan tempat duduk."
Dia menanti selagi pria itu terlihat mempertimbangkan saran tersebut. Waverly mempertahankan ketenangannya, mempersiapkan diri untuk hal terburuk. Akan tetapi, yang dia terima hanya anggukan. "Baiklah."
Waverly menatapnya terkejut. "Sungguh?" tanyanya.
Sawyer menunduk dan memicingkan matanya. "Kau meragukannya?"
"Tidak, aku hanya—tidak menyangka akan ... semudah ini."
"Kau tidak memercayaiku?"
Waverly mengangkat bahu. "Sulit untuk memercayai orang yang tidak kau kenal."
Sawyer terkekeh pelan sambil memutar cincin-cincin di tangannya. Waverly memainkan jemarinya, berusaha mengendalikan diri meski perasaan berbunga-bunga mulai timbul dalam dirinya. Mereka berdua sama-sama paham yang Waverly katakan itu benar, tetapi bukannya mengakui bahwa Waverly benar, Sawyer hanya berbalik dan meninggalkan ruang makan, memberikan Waverly jeda untuk bernapas sebelum mengikutinya.