Villia POV.
Aku kembali ke meja kerjaku ketika aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Suruhan Dave memang sebuah perintah yang harus aku laksanakan, dan jika melihat nasib teman-temanku yang magang dan baru masuk kemarin, tak ada yang bernasib sama denganku, bahkan banyak yang meminta untuk bertukar tempat dan rela membayar berapa pun agar aku mau menyerahkan Dave kepada mereka. Tapi tentu saja aku tidak mau, aku tidak akan pernah melakukannya, karena bekerja di bawah Dave pun membuatku sudah linglung, apalagi harus pindah tempat dan berbaur dengan orang baru.
“Sudah selesai?” tanya Dave.
“Yes. Aku sudah menyelesaikannya,” jawabku dan menunjuk dokumen yang sudah aku pisahkan dan sudah aku jilid.
“Tidak ada yang salah?”
Aku menggelengkan kepala, aku bukan orang bodoh yang melakukan kesalahan semudah itu. Aku juga baru mendengar bahwa pria yang kini duduk disampingku menyukai pria, tidak menyukai lawan jenisnya, aku sempat terkejut, namun ini dunia penuh dengan kebebasan, kebebasan dalam berperasaan, kebebasan dalam memilih jalan hidup, dan kebebasan dalam memilih apa yang harus dipilih.
“Jika sudah selesai, atur semua ini di ruang rapat, satu meja dua dokumen berbeda.”
“Sekarang?” tanyaku.
“Tidak mungkin besok,” jawabnya.
Aku mengangguk, lalu kembali mengangkat dokumen itu menuju ruang rapat.
Ku hela napasku panjang dan menubruk sesuatu diluar sana hingga seluruh dokumen yang aku pegang berhamburan ke sana kemari. Aku menoleh dan melihat seorang wanita parubaya berpakaian mewah.
“Kamu punya mata atau tidak? Punya, ‘kan? Jika punya, kenapa kamu tidak melihat jika berjalan?” tanya wanita parubaya itu, dilihat dari pakaiannya, ia seperti seorang karyawan penting.
“Maafkan saya, Nyonya,” kataku membuat wanita itu bersedekap didepanku. Aku harus lebih kalem dan lebih waspada, mungkin saja satu sikap bisa membuatku kehilangan segalanya dalam sekejap.
“Maaf?” Wanita itu tertawa dan menggelengkan kepala. “Aku tidak membutuhkan maaf dari kamu. Seorang karyawan yang tidak penting seperti kamu, hanya menjadi hama di perusahaan ini, sebelum menyebar lebih baik tinggalkan semuanya.”
“Kenapa Anda mengatakan itu?”
“Karena saya harus mengatakannya. Kamu karyawan magang kan di sini? Jadi, kamu harus tahu posisimu dan jangan membuat masalah dengan orang penting seperti saya.”
“Maafkan saya. Saya akan lebih berhati-hati lagi.”
“Dasar hama,” geleng wanita parubaya itu dan meninggalkanku sendirian di sini, dengan seluruh dokumen yang berhamburan. Aku ingin sekali berteriak, namun aku tidak boleh gegabah, aku memang karyawan magang dan aku tidak memiliki wewenang untuk marah. Meski aku tidak salah.
Sejak tadi, aku sudah memperhatikan jalanku, namun wanita parubaya itu yang menubrukku. Aku hampir saja melupakan satu hal, bahwa di sini berbeda dengan kampus. Aku harus menahan diri dan tidak melakukan apa pun meski aku benar.
Setelah mengumpulkannya lagi, aku masuk ke ruang rapat dan membagikan dokumen itu di atas meja, sepertinya akan ada rapat penting yang akan dihadiri orang-orang penting.
Setelah membagikannya, aku kembali ke ruangan, lalu tak melihat Dave ada di meja kerjanya, aku menoleh kanan kiri dan tidak menemukannya, lalu menyadari satu hal, apa yang aku lakukan, mengapa aku mencarinya? Aku menggeleng dan kembali duduk di kursi kerjaku.
“Eh anak magang, kerjakan ini.”
“Dan kerjakan ini juga,” kata yang lainnya.
“Tapi—”
“Kamu magang di sini, dengan mengikuti perintah kami, kamu bisa mendapatkan nilai yang baik.”
“Benarkah?”
“Tentu saja. Jadi, lakukan apa pun yang kami perintahkan.”
“Baiklah.”
“Aku juga. Kerjakan ini semua dan simpan di meja kerjaku. Aku mau makan siang,” kata yang lainnya membuatku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
Aku menggeleng tak percaya dengan suruhan semua orang padaku, apa salahku pada mereka, aku benar-benar tidak memahami semua ini, pekerjaan semua orang harus aku kerjakan dan kini telah menjadi kebiasaan mereka. Mereka bersenang-senang di atas penderitaanku. Aku benar-benar kesal, namun aku harus menerima semua ini, aku tidak boleh mengeluh apalagi kesal pada mereka semua. Karena ini sudah menjadi tanggung jawabku untuk mengikuti perintah mereka.
Lebih baik mengerjakan semua ini dibandingkan harus membeli kopi di bawah sana.
Ku hela napasku dan ku lihat dengan seksama tumpukan dokumen di depanku, benar-benar jahat sekali mereka, melakukan ini kepada anak polos sepertiku. Aku mana memahami semua pekerjaan ini? Aku baru seminggu bekerja di sini dan sekarang aku harus mengerjakan pekerjaan semua orang, benar-benar melelahkan.
Aku menumpuh kepalaku di atas meja kerjaku, belum juga aku beres mengerjakan dokumen yang di berikan Dave, dan sekarang aku harus bekerja untuk orang lain.
Helaan napas terdengar, aku menoleh dan melihat Amrie tengah membawa dua cangkir kopi di tangannya. Aku menggeleng tak percaya, aku baru saja ingin bekerja dengan tenang, namun kehadiran Amrie malah mengacaukan segalanya, aku masih mengingat jelas bagaimana ia mengancamku dan ia mengatakan tidak akan putus denganku, andai aku punya kekuatan, aku akan membuat Amrie menyadari apa yang ia lakukan.
“Ada apa lagi?” tanyaku.
“Aku membawakanmu kopi, sepertinya semua orang membuatmu lelah,” katanya.
Arggh. Memang benar yang di katakan Amrie, semuanya jadi membebaniku dan aku lelah karena mereka, aku harus tenang dan tidak memperlihatkan kelelahan itu didepan Amrie. Ia pasti akan senang melihatnya, aku curiga semua orang menyuruhku karena dirinya dan rencana busuknya untuk mengerjaiku.
“Apa ada yang bisa aku bantu? Aku bisa mengerjakan semuanya loh,” kata Amrie dengan sombongnya.
“Aku tidak membutuhkan siapa pun untuk membantuku.”
“Oh jadi kamu sombong sekarang? Kamu jadi bersikap seperti ini padaku?”
“Apa sih. Kenapa kamu selalu menggangguku? Biarkan aku bekerja dengan tenang.”
“Aku juga sudah mengatakan kepadamu, jangan harap akan merasa tenang jika kamu menarik kata-katamu itu, aku tidak mau putus dan aku tidak akan pernah mau,” jawab Amrie membuatku lelah dengan semua ini.
Apa aku harus meninggalkan perusahaan ini? Tapi, aku harus kerja dimana? Aku tidak mungkin pergi dari tempat ini dan meninggalkan semua yang sudah aku mulai. Namun, aku tidak bisa jika harus berhadapan setiap hari dengan Amrie.
Dia pria yang arogant dan sarkasme, aku tidak mau berhubungan dengannya lagi. Dia yang memulai semuanya dan aku yang harus menanggung semuanya. Aku benar-benar sudah hampir gila.
Sesaat kemudian, suara deheman terdengar, aku menoleh dan bangkit dari dudukku, aku membungkukkan badanku melihat Dave sudah kembali bekerja dan kini duduk di kursi kerjanya.
“Apa kamu sudah mengerjakan pekerjaan yang aku suruh?” tanya Dave membuatku menjadi makin lemah tak berdaya.
“Saya belum mengerjakannya,” jawabku dengan polosnya. Dia pasti tidak akan menerima jawabanku, atau aku langsung dipecat dari sini.
“Kalau begitu, aku berikan kamu waktu dua jam untuk menyelesaikan itu,” kata Dave.
“Baiklah. Akan saya kerjakan sekarang juga,” kataku dengan nada lemah tak berdaya.
“Apa ada yang bisa aku bantu, Tuan Amrie?” tanya Dave membuatku tidak perduli dan aku fokus menatap layar monitorku, mengabaikan Amrie yang masih menatapku saat ini.
“Aku mau menemui pacarku, apa salah?” tanya Amrie membuat mataku membulat.
“Apa kamu tidak memahami apa yang aku katakan? Aku gak memiliki hubungan lagi denganmu,” kataku membela diri.
“Yang aku tahu, ini kantor dan ini departemen dimana ini ranahku, jadi kenapa kamu di sini? Jika mau berkencan, silahkan keluar dan tidak di sini. Ini ranah pekerjaan, jadi sepertinya tanpa saya jelaskan, kamu tahu maksudku,” kata Dave membuatku lebih tenang, dia memang penyelamatku.
Amrie menatap tajam ke arah Dave, sepertinya Amrie sangat marah, ia pun langsung melangkahkan kaki meninggalkan departemen ini, aku menghela napas panjang dan menatap ke arah Dave.
“Makasih, Tuan,” ucapku.
“Lakukan pekerjaanmu? Jangan berterima kasih padaku, aku tidak melakukan itu karena dirimu, tapi karena perusahaan ini,” jawabnya membuatku lemas.
Aku menghela napas dan menganggukkan kepala, ya sudahlah, jawaban Dave bukan yang terpenting saat ini, aku harus mengutaman pekerjaan yang di berikan Dave dulu sebelum rekan lainnya. Aku harus menyelesaikan ini agar pulang tepat waktu.
Aku tidak tahu apa yang terjadi saat ini, namun hatiku malah sakit ketika Dave mengatakan bahwa bukan karena aku dia melakukan itu kepada Amrie.
Aku menggelengkan kepala dan menghela napas halus.
Sesaat kemudian, Clarissa datang dan menghampiri Dave, aku menoleh sesaat dan menggelengkan kepala, itu bukan urusanku, Clarissa langsung duduk disamping Dave dan menyandarkan kepalanya di bahu Dave. Wah, mereka seperti orang yang berpacaran saat ini. Aku jadi iri dan mencoba tenang, andai saja Amrie tidak melukaiku, aku pasti akan selalu bahagia bersamanya, namun Amrie malah melakukan itu kepadaku dan aku kesal. Setelah melakukan perselingkuhan didepanku, ia malah berharap aku memaafkannya. Aku sangat kesal dan aku bingung.
“Aku lelah,” kata Clarissa membuatku tertegun dan menghela napas halus.
“Lelah karena apa?”
“Aku menerima kemarahan saat ini,” jawab Clarissa.
Apakah mereka berpacaran? Namun, tidak ada yang tahu? Apakah mereka menyembunyikan hubungan mereka? Mereka tidak mungkin hanya sekedar teman.
Aku menoleh dan melihat Dave mencoba melepaskan diri dari Clarissa.
“Tetap seperti ini saja, Dave,” lirih Clarissa.
“Ada apa denganmu?” tanya Dave.
“Aku lagi lelah,” jawab Clarissa.
“Tapi jangan begini di kantor,” kata Dave.
“Mereka keluar makan siang, jadi tidak masalah kan kalau aku begini? Hanya kamu yang dapat menenangkanku saat ini.”
“Kamu jangan melakukan hal ini, ini kantor,” kata Dave.
“Aku tahu. Jangan bergerak, Dave, aku butuh seseorang yang dapat membuatku tenang.”
“Terus kamu di marahi seperti apa?”
“Aku di marahi pamanku karena Amrie tidak bekerja dengan baik.”
“Terus?”
“Aku tanya padanya, apa Amrie juga tugasku? Aku menggeleng tak percaya ketika paman malah menamparku,” geleng Clarissa.
Kasihan sekali Clarissa, mendengarnya di tampar oleh pamannya, yang aku dengar Clarissa dan Amrie memang ponakan pemilik perusahaan ini, itu lah yang aku dengar, aku kasihan juga mendengar cerita Clarissa. Aku benar-benar merasa kasihan kepadanya.