Bab 13

1169 Kata
Dimas tiba di Bandara Ngurah Rai Denpasar, Bali tepat pukul sepuluh pagi setelah melakukan perjalanan udara selama belasan jam. Ia langsung menyalakan ponselnya. Ingin segera menghubungi istrinya yang ia yakini akan datang menjemputnya. Pria tampan berambut cepak itu sangat merindukannya. Betapa terkejut saat melihat ada tiga puluh panggilan tak terjawab dari Miko. Untuk apa Miko melakukannya, padahal istrinya tahu jika ia sedang berada di udara dan me non aktifkan gadget nya. Beberapa pesan darinya pun langsung di bukanya. Tubuhnya mendadak lemas saat membaca isi pesan dari sekretaris istrinya melalui nomor Miko. Pak Dimas, ini saya Ida sekretarisnya Mbak Miko. Saya ingin mengabari jika istri bapak mengalami kecelakaan lalu lintas saat ini ada di rumah sakit. Kondisinya kurang baik. Tidak...ini tidak mungkin... Dimas menggelengkan kepalanya. Ia berharap jika ini adalah kabar bohong atau prank yang sering dilakukan orang-orang  Sebelum dirinya naik pesawat keduanya sempat berbincang. Dimas mengumpulkan segenap kekuatannya. Ia harus bertahan dan segera menuju rumah sakit tempat istrinya dirawat. Dengan langkah panjang dan cepat  ia mendorong koper-kopernya. Pikirannya mendadak kacau dan tak karuan. Ya Allah lindungilah istri hamba-Mu. Jerit hati Dimas. Ibu dan saudara-saudaranya segera dihubungi. Tak terkecuali, ayahnya yang tengah berada di Belanda. Ternyata, mereka semua sudah tahu lebih awal daripada Dimas sebagai suaminya.Dimas menyesal. Dimas menumpangi sebuah taksi untuk bisa sampai ke rumahnya. Ia harus mampir  ke rumah terlebih dulu untuk menyimpan barang-barangnya yang cukup banyak. Beberapa berisi oleh-oleh untuk istri tercintanya. Sepanjang perjalanan perasaannya tak tenang, wajah istrinya memenuhi isi kepalanya. Air mata terus mengalir membasahi pipinya. Dimas sedih teramat sangat. Ia bertambah sedih saat melihat foto-foto kiriman dari Ida. Istrinya tampak dipasangi alat-alat medis terlihat lemah tak berdaya. Dimas pun tahu jika pagi ini istrinya akan menjalani operasi. Seandainya posisi bisa ditukar, biarlah dirinya yang menggantikan istrinya untuk merasakan semua penderitaannya.. Dimas merasakan sakit yang luar biasa. Bagaimana jika istrinya tak selamat. Ia takut kehilangannya. Semua mimpi dan rencana masa depan keduanya akan luluh lantah begitu saja. Dimas masih ingin terus bersama Miko untuk selamanya hingga kakek nenek dan maut memisahkannya.  *** Taksi yang ditumpangi Dimas, akhirnya tiba di depan rumah miliknya. Usai membayar ongkos, pria yang tengah bersedih itu berjalan tergesa menuju pintu masuk rumahnya. Kebetulan pintu dalam keadaan terbuka dan menampakkan sosok Mbok Darmini yang langsung menyambutnya. "Mbok,...apa yang terjadi dengan istri saya?" tanya Dimas begitu berjumpa dengan ARTnya. Ia masih belum percaya seratus persen dengan kabar yang diperolehnya. Ia berharap jika semua ini hanya mimpi belaka. Walaupun ibunya juga telah mengabari. Mbok Darmini menangis. Wanita berciput itu mengangguk pelan. Ia pun baru pulang dari rumah sakit tadi pagi. Semalam ia menginap menemani Ida. Wanita berstatus janda itu mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya, mengatur nafasnya sebelum mengeluarkam lata-katanya. "Kemarin sore Bu Miko mengabari saya katanya akan pulang terlambat karena hendak berkunjung ke rumah kontrakan Bu Ida." Mbok Darmini mulai bercerita tentang majikannya. "Sampai pukul sembilan malam Ibu belum juga pulang, saya benar-benar khawatir. Tak biasanya ibu pulang lebih dari pukul delapan. Saat saya menghubungi nomor ibu,  barulah saya tahu jika ibu kecelakaan. Saya langsung ke rumah sakit dan menemukan ibu dengan kondisi luka parah. Untung saja ada Bu Ida yang mengurus semuanya. Saya panik. Bapak juga tak bisa dihubungi karena sedamg dalam perjalanan." Mbok Darmini menutup wajahnya. Ia tak sanggup lagi membayangkan kondisi majikannya yang menyedihkan. Dirinya sengaja tidak pulang ke rumahnya dan tetap tinggal di rumah majikannya, menunggu kepulangan Dimas sesuai perintah Bu Ratih tadi pagi. Ia pun bersiap untuk menjaga rumah dan membantu keluarga majikannya jika diperlukan.  "Bu Ratih juga sudah ada di rumah sakit sejak tadi pagi." Mbok Darmini mengabari tuannya tentang kedatangan ibu kandungnya. Tentu saja Dimas tahu karena sewaktu di bandara ia langsung menghubungi ibu kandungnya itu. "Kalau begitu saya akan pergi ke rumah sakit sekarang juga! Bibi tetap tinggal di sini ya. Tolong siapkan baju ganti saya." Dimas tak sabar melihat kondisi istrinya saat ini. Ia berharap tak terjadi hal buruk menimpa wanita yang begitu dicintainya.  "Tolong bawa koper-koper ini ke dalam kamar, tidak perlu dibongkar biar nanti saja saya yang urus!" perintah Dimas. "Baik, Pak!" sang ART mengangguk. Dimas langsung berjalan tergesa, mengambil kunci mobil dan mengeluarkannya dari garasi. Pikirannya tak karuan. Ia harus segera tiba di rumah sakit secepat mungkin untuk menemani belahan jiwanya yang tengah berjuang antara hidup dan mati. Oa ingin memberikan doa dan semangat, ingin berada dekat di sampingnya. *** Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, beruntung dirinya mahir balapan sehingga bisa sampai du rumah sakit dengan selamat. Dimas langsung menuju HCU sesuai informasi dari ARTnya. Bu Ratih tampak duduk di koridor dengan wajah lesunya. Wanita berusia 50an yang selalu tampak cantik dan segar mendadak layu. Matanya tampak sembab dan bengkak akibat terlalu lama menangis. "Mami, gimana kabar Miko." Dimas memeluk ibunya. Ia tak kuasa menahan rasa sedihnya. Tangisnya kembali pecah. "Miko baru masuk ruang oprasi." Bu Ratih balas memeluk anaknya. Ia baru tiba tadi pagi. "Kamu yang sabar ya, Nak! Kita berdoa yang terbaik untuk  istrimu. Mami yakin Miko dapat melewati semua ini. Dia wanita yang kuat. "Kenapa bisa seperti ini?" Tangis Dimas semakin keras. Ia lupa jika dirinya adalah lelaki dewasa, bukan anak kecil lagi. Namun dengan kondisi seperti ini siapa yang kuat. Biarlah ia dianggap cengeng. "Kamu yang sabar ya Dim, kita doakan yang terbaik untuk kesembuhan istri kamu." Bu Ratih mengelus punggung putranya, memberikan kekuatan. Dimas dan Bu Ratih mengakhiri pelukannya, keduanya duduk di bangku. Bu Ratih menyodorkan botol berisi air mineral kepada Dimas yang butuh ditenangkan. "Minum dulu!" Ia membukakan tutup botolnya. Usai menerima botol, Dimas langsung meminumnya hingga menyisakan setengahnya. Kini ia sedikit tenang. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Dirinya baru saja teringat akan sosok wanita bernama Ida Ayu, sekretaris istrinya. "Ida dimana?" Dimas menanyakan keberadaan sekretaris istrinya yang tak terlihat. Ia harus bertemu segera untuk meminta informasi yang lebih mendetail tentang kronologis kecelakaan itu. "Dia ada di dekat ruang oprasi." Bu Ratih mengabarkan. Ingin rasanya Dimas segera ke sana, namun ia masih mengumpulkan segenap kekuatan. "Kita ke sana!"ajak Bu Ratih. Ia harus mengetahui perkembangan menantunya yang masih berada di ruang oprasi. Dimas berdiri menyetujui ajakan ibunya. "Ayo." Keduanya berjalan menuju ruang oprasi yang terletak tak jauh dari tempat mereka tadi. Di dekat ruangan itu, tepatnya di depan ruangan, Ida duduk sambil memegangi ponsel dan membaca ayat suci Al-Qur'an digital. Ia berusaha menenangkan hatinya dan berdoa untuk kelancaran proses oprasi Miko. Gadis berusia 27 itu menoleh ke arah Dimas dan Bu Ratih. Menggeser posisi duduknya untuk memberikan tempat. "Ida, bagaimana kabar Miko." Bu Ratih tak sabar menanti kabar oprasi menantunya. Tadi dirinya sengaja mengindar untuk.melakukan sholat dhuha dan menenangkan diri sejenak. "Kita tunggu saja, Dokter mengatakan jika oprasinya akan berjalan agak lumayan memakan waktu." Ida memberikan kabar. Dimas menatap ke arah Ida. "Ida, terima kasih kamu sudah menjaga istri saya." Dimas mendekat ke hadapannya. Gadis berkacamata di hadapannya sangat berjasa dalam mengurus istrinya. Dimas merasa berhutang budi. "Bapak tidak perlu berterima kasih, sudah kewajiban kita sebagai sesama manusia untuk saling tolong menolong. Apalagi Mbak Miko itu atasan saya yang sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri." Ida berkata lirih, menurutnya ini belum seberapa dengan apa yang dilakukan oleh Miko yang banyak membantunya. Ketiga orang dewasa itu pun lalu duduk di bangku depan ruang oprasi. Menantikan proses oprasi Miko segera usai. Mereka tak henti memanjatkan doa serta membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Bagi Dimas waktu berjalan sangat lambat. Ia tak sabar menanti dokter keluar ruangan dengan kabar gembiranya. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN