"Sayang, maafkan aku!" Miko memeluk tubuh suaminya yang kini tengah berbaring sambil memejamkan matanya. Terdengar deru nafasnya tak beraturan, pertanda sedang menahan emosinya. Dimas memang sedang kesal dengan ulah istrinya. Menawarkan beberapa gadis untuk dijadikan istri ke 2 nya disaat para wanita lain mati-matian berjuang agar suami tidak tergoda perempuan lain merupakan hal konyol dan gila. Istri macam apa dia. Dimas merasa tak dihargai.
Pria berumur dua puluh enam itu berbeda dari yang lain bahkan dari saudara-saudaranya.
Seumur hidupnya ia hanya dekat dengan seorang gadis, hanya Miko seorang yang ia cintai. Cinta pertama dan terakhir, endless love. Sulit rasanya untuk bisa jatuh cinta kepada wanita lain.
"Sayang, kamu bicara dong! Jangan diam saja!" Miko mengguncang tubuh Dimas. Rasanya sangat menyakitkan jika pasangan mencuek bebekkan.
"Aku maafin kamu Sayang, asal jangan bahas lagi soal anak atau pernikahan gila itu. Hilangkan semua pikiran tak waras itu. " Dimas membuka matanya lalu memandangi wajah cantik istrinya, ia membalas pelukan sang istri dan mengelus rambut hitamnya penuh sayang. Ia tahu istrinya sedang berjuang meraih impiannya memiliki seorang anak. Tapi kenapa harus begitu caranya.
Dimas tidak pernah bisa marah atau kasar kepada Miko. Begitu mudah ia memaafkannya. Ia terlalu mencintainya. Sangat.
Kalau sudah begini Miko jadi salah tingkah. Ia pun sangat mencintai suaminya yang setia dan jujur itu. Seumur berhubungan, Dimas tak pernah lirik sana sini apalagi selingkuh. Dia memang lelaki idaman semua wanita.
"Kita berdua saja sudah cukup! Aku dan kamu," bisik Dimas. Ah, faktanya banyak juga pasangan yang menghabiskan waktunya berdua sampai akhir hayat tanpa anaknya. Ups, jadi inget film Up deh.
"Makasih. Oke. Aku tidak akan membahas lagi masalah itu," Miko setuju. Ia tak ingin ribut dengan Dimas.
Tapi ia tetap memiliki niat menjodohkan suaminya dengan wanita yang layak menurutnya. Ia pasti akan mencarikan wanita itu secepatnya.
Saat ini ia butuh jeda untuk mencari solusi permasalahannya dengan Dimas. Ia ingin mencari calon madu tapi jika Dimas tidak mau mungkin ia akan berjuang keras agar suaminya bisa menikah lagi. Bagaimana pun caranya.
Sebulan sudah Miko tidak lagi membahas rencana gilanya. Wanita itu sedang memikirkan rencana lain yang dinilai lebih baik dan tidak membuat suaminya kesal.
Salah satunya adalah membiarkan Dimas pergi sendirian jika ada acara yang tidak terlalu menuntut dirinya mendampinginya. Ia ingin memberi kesempatan kepada Dimas berkenalan dan dekat dengan wanita lain. Kalau ditempelin terus olehnya mana ada yang berani melirik dan mendekati Dimas. Faktanya, memang benar. Semua perempuan merasa rendah diri begitu melihat Miko. Miko yang cantik dan pintar serta bertutur kata lemah lembut. Penguasaan bahasa asing yang mumpuni plus gayanya yang memikat dan fashionable. Miko yang mandiri, cerdas dan selalu dikagumi baik pria maupun wanita. Sangat sempurna.
***
Dimas keluar dari ruangan kerjanya dengan tergesa. Lengan kemejanya sudah digulung hingga sebatas sikut. Dasinya pun telah dicopot. Ia tampak
keren mengenakan kaca mata hitamnya sambil mengarahkan ponsel ke telinganya. Siapapun yang melihatnya pasti akan terpesona dan langsung jatuh hati. Gen ganteng yang diwariskan oleh ayahnya patut diacungi jempol.
Jum'at sore ini Dimas hendak menemui Fikri, asisten pribadi ayahnya di sebuah Cafe yang terletak di sudut Hotel miliknya. Begitu tiba di tempat tujuan, ia melihat orang yang akan ditemui olehnya tengah duduk di pojok ruangan sambil menikmati secangkir kopi.
Dari jauh keduanya telah saling melihat.
"Apa kabar Dimas?" Fikri menyambut anak ke dua bosnya itu. Ia baru saja tiba di Denpasar beberapa jam yang lalu. Pria bertubuh atletis itu sengaja datang dari Jakarta ke Bali untuk urusan pekerjaan, mewakili Pak Yusuf yang tak dapat hadir. Setiap berada di Bali ia pasti akan menginap di hotel milik Dimas. Tentu saja ia akan langsung menghubungi anak bosnya tersebut untuk nongkrong dan ngopi bareng.
"Alhamdulillah, baik Mas," jawab Dimas singkat. Keduanya berjabat tangan lalu berpelukan menunjukkan keakraban sebelum duduk mengambil posisi duduk masing-masing.
"Yakin?Tapi kamu terlihat lagi stres, kelihatankucel banget. Coba ngaca deh." Fikri yang selalu tampil klimis dan rapi sedikit mencibir seraya menatap Dimas penuh selidik. Ada yang disembunyikan oleh pria di hadapannya. pikirnya.
"Mas Fikri sudah macam cenayang saja pakai main tebak-tebakan. Betewe bagaimana kabar kerjaan?" Dimas paling suka membicarakan urusan pekerjaan dengan siapapun kecuali Miko. Khusus dengan sang istri ia lebih suka membicarakan urusan pribadi.
"Sibuk. Tapi disempat sempatin jalan-jalan. Refresh sejenak sebelum bergelut dengan kesibukan, kamu tahu sendiri kan bagaimana tuh bos saya," ucapnya sambil tersenyum. Menjadi assiten itu merupakan pekerjaan yang menyita banyak waktu. Ia harus siap bekerja dua puluh empat jam jika dibutuhkan. Siap dipanggil kapan pun dan siap menemani bosnya pergi kemana pun serta siap mewakili bosnya saat berhalangan hadir. Seperti saat ini.
"Gimana nih proyek nusa dua?" Sudah sampai mana." Fikri menatap Dimas. Ingatannya langsung tertuju pada pembangunan resort mewah milik Dimas yang belum lama dikerjakan.
"Alhamdulillah, progresnya luar biasa. Masih jalan. Mudah-mudahan tahun depan sudah kelar." Dimas tersenyum lebar. Sejauh ini bisnisnya selalu berjalan lancar.
"Katanya tuh resort cukup mewah ya." Fikri berucap setelah meminum kopinya.
"Begitulah." Dimas tersenyum malu-malu. Di hadapan Fikri ia merasa kecil.
"Dananya pasti besar," Tebak Fikri. Anak bosnya itu memang hebat. Di usianya yang belum 27 tahun sudah memiliki kerajaan bisnis di dunia pariwisata dan perhotelan. Hal yang paling mengagumkan, Dimas menjalankan usahanya belum lima tahun.
"Dananya Papi yang bantu. Saya bayar cicilannya, tanpa Papi semua tak akan semulus ini." Dimas membeberkan rahasianya. Diantara dirinya dan Fikri selalu terbuka. Karena pria bermata sipit itu dalam keluarganya sudah dianggap sebagai bagian mereka.
"Keren sekali. Saya malah belum kepikiran untuk menjalankan bisnis selain trading. Sampai detik ini masih saja betah jadi kacung," Fikri tertawa renyah membayangkan sepak terjang dirinya sendiri. Lulus S2 ia langsung mengabdikan dirinya kepada Pak Yusuf. Melanjutkan tradisi keluarganya. Sejak jaman kakek buyutnya mereka terikat dengan keluarga Hadiwijaya. Menjadi pengabdi mereka.
"Walaupun kacung tapi gajinya tinggi kan ga jauh dari para pejabat? " Dimas pun ikut tertawa. Ia tahu persis nominal fantastis yang diterima Fikri dari ayahnya setiap bulannya, yakni ratusan juta rupiah, asalkan siap pasang badan selama dua puluh empat jam. Belum lagi bonus dan fasilitas lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu.
"Ha...ha.. Alhamdulillah, lumayan buat nabung nikahan nanti. Saya tak perlu lagi repot minta orang tua. Tahu sendiri kan biaya pernikahan zaman sekarang tuh ga murah," Canda Fikri dengan tawa terbahak.
"Mas mau nikah? Serius?" Dimas menyinggung Fikri yang masih single diusia akhir 20an. Entah mengapa pria itu betah sendiri.
"Ha...ha...mau lah, tapi belum ada calonnya. Masih nyari." Pria 29 tahun itu menertawakan dirinya yang masih menjomblo padahal kurang tampan dan kurang kaya gimana.
"Cari dong, ingat bentar lagi pala 3 lho. Ga enak sendirian terus." Dimas mengingatkan Fikri. Di usia 23 dirinya sudah berhasil meminang gadis Jepang dan memboyongnya ke tanah air. Terbilang sangat muda untuk ukuran pria zaman sekarang namun Dimas melakukan pernikahan lebih awal untuk menghindari hal buruk.
"Ga sempat. Kamu tahu kan saya super sibuk. Papi Yusufmu itu selalu memberi mandat ini itu. Tidak ada waktu buat mencarinya. Tapi tenang saja, saya kan pria jadi santai saja lah," jawabnya kalem memberi alasan.
"Di kantor Papi memangnya ga ada ya? Padahal di sana banyak bidadarinya. Di antara mereka tidak ada yang kepilih ya?" Dimas menatapnya tak percaya. Masa iya orang seganteng Fikri tal ada yang mau. Kantor ayahnya itu dihuni banyak spesies wanita muda yang 99,9% dijamin kecantikan dan keseksiannya.
"Tidak ada." Bukan tidak ada yang cantik. Tapi yang cocok dengan Fikri tidak ada. Fikri sosok perfeksionis dan pemilih. Standarnya terhadap wanita itu lumayan tinggi dengan kriteria yang sempurna. Kebanyakan gadis pun pada sebal berhubungan dengannya yang kaku dan formal serta sering menggurui.
"Miko mana?" Fikri baru menyadari ketidakhadiran pasangan Dimas. Seharusnya pertanyaan ini dilontarkan di awal perjumpaan.
"Jalan bareng dengan temannya," jawab Dimas. Akhir-akhir ini Miko senang pergi tanpa Dimas. Dimas sendiri tak mempermasalahkan. Ia berusaha memahami istrinya.
"Tumben, biasanya kalian seperti amplop dan prangko." Fikri tahu betul mereka itu lengket sekali. Kemana pun selalu berdua.
***
Beberapa hari belakangan ini Dimas lebih banyak menghabiskan waktu bersama Fikri. Kebetulan asissten ayahnya itu berada di Bali selama sepekan, sehingga Dimas memiliki teman ngobrol. Banyak hal yang dibahas oleh keduanya. Mulai dari pekerjaan hingga urusan pribadi.
Seperti hari ini, Dimas kembali mengajak Fikri nongkrong bareng lagi.
"Mau curhat apa?" Fikri menatap anak bosnya penuh selidik. Kemarin-kemarin Dimas belum menyampaikan sesuatu yang mengganjal pikirannya.
"Tentang rumah tangga saya." Dimas tidak berani menatap Fikri. Pria di hadapannya itu pandai membaca pikiran orang.
"Memangnya ada masalah apa?" Fikri bertanya penuh selidik. Berusaha memancing Dimas untuk mengeluarkan isi hatinya.
"Miko...
Dimas ragu untuk membicarakannya.
"Dia minta kamu nikah lagi, gitu?" Fikri langsung menebak arah pembicaraan Dimas yang tampak gagu.
Benar saja dugaan Dimas, Fikri memang pandai menebak-nebak.
"Kok mas Fikri tahu?" Dimas heran. Ia tak pernah membicarakan apapun dengannya. Apa benar Fikri memiliki.ilmu ghaib.
"Saya selalu tahu semua hal entang keluarga Hadiwijaya," Fikri tersenyum bangga. Bagaimana tidak tahu setiap persoalan, jika setiap waktu ia nempel dengan Mami Papinya Dimas. Untuk saat ini bisa dijamin 100% Fikri tahu semua masalah keluarganya.
"Tante Ratih sudah cerita banyak." Fikri memberi tahukan darimana sumber berita yang ia terima. Jawabannya ternyata ibunya.
"Saya stress." Dimas mengaduk gelasnya yang berisi jus tomat kesukaannya. Kepalanya terasa berat dan mungkin saja bisa meledak.
"Enjoy saja, ntar cepet tua. Bisa ubanan tuh rambut." Fikri terkekeh.
"Kalau saya jadi kamu, saya mau terima saja usulan Miko. Apalagi kalau ceweknya cantik dan sesuai kriteria. Kanan Kiri Cantik. Keren sekali bukan punya dua pendamping. Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan." Tanpa diduga pria 29 tahun itu memberikan usulan poligami. Ia mendukung rencana gila istrinya.
"Tidak menyangka ya, ternyata mas Fikri yang serius bisa berpikir gila seperti ini." Dimas membelalakkan matanya. Fikri ternyata sama saja dengan pria-pria mata keranjang yang banyak bertebaran di muka bumi.
"Ha...ha....abisnya kamu tuh lucu sekali, dikasih jalan malah ga mau, susah lho nyari istri kaya Miko yang rela dimadu. Kebanyakan wanita itu tidak mau berbagi pasangannya." Fikri tertawa.
Hmmm, mas Fikri belum ada pasangan. Apa aku minta profil gadis-gadis itu untuk mas Fikri saja ya. Minta solusi ini malah menjerumuskan ke jurang poligami. Batin Dimas. Ia kembali teringat proposal gadis - gadis yang diajukan Miko.
Hening beberapa saat hingga tampak ada seorang wanita muda yang dikenali oleh Dimas berjalan mendekat ke arah mereka.
Seorang wanita muda berkaca mata tersenyum hormat ke arah Dimas dan Fikri saat melintas tepat dihadapan keduanya.
"Pak Dimas," sapanya ramah seraya menganggukkan kepalanya.
"Ida..." Dimas balik menyapa wanita muda berkacamata itu. Ia tentu kenal dengannya karena mereka sering bertemu di kantor Miko.
"Kamu sedang apa disini?" Dimas mengajukan pertanyaan.
"Saya ada janji dengan teman. Mbak Mikonya mana?" Ida memperhatikan sekitarnya, tak nampak Miko dalam penglihatannya.
"Oh...Miko kebetulan sedang ada acara dengan teman-temannya.." Dimas memberitahukan keberadaan istrinya yang tak ikut serta.
"Kalau begitu saya permisi, Mari Pak."
Gadis Bali itu berlalu dari hadapan keduanya.
"Siapa Dim?" Fikri bertanya penasaran setelah Ida menjauh dari mereka.
"Sekretaris Miko namanya Ida Ayu Anggita. Dia masih single." Dimas memberikan jawaban seraya tersenyum penuh arti.
"Oh..." Fikri manggut-manggut. Ia memang belum pernah berjumpa dengan Ida.
Ekor mata Dimas tanpa sadar mengikuti arah berjalannya Ida. Ia tampak duduk di salah satu meja di cafe tempat ia dan Fikri berada.
Gadis Misterius
Jika bertemu jarang banyak bicara basa basi. Namun selalu bersikap ramah dan sopan.
Ia terlalu tertutup. Bahkan tentang keluarganya pun Miko dan Dimas tidak kenal. Tak pernah satu kali pun ada undangan acara hajatan apapun untuk mereka berdua yang notabene bos nya.
"Mas Fikri tertarik dengan gadis tadi?" Dimas malah mengajukan pertanyaan konyol. Tentu saja Fikri tertawa.
"Aku bukan orang yang bisa langsung jatuh cinta kepada wanita. Butuh proses panjang untuk sampai ke tahap jatuh cinta. Butuh alasan yang kuat untuk tertarik pada lawan jenis, bukan hanya sekedar dia cantik dan ramah. Ada banyak pertimbangan." Fikri berkata jujur. Ia sosok yang realistis harus ada alasan dalam menyukai dan membenci sesuatu. Ia pun selalu memikirkan baik buruk dan untung rugi.
"Pantas saja, ga laku-laku." Giliran Dimas yang menyerang Fikri. Fikri sama sekali tak tersinggung.
"Jadi gimana nih tentang Miko? Kenapa dia sampai menyuruh kamu nikah lagi?" Fikri ingin mendengar secara langsung penjelasan dari Dimas.
"Mas juga pasti tahu masalah yang kami hadapi. Miko belum bisa memberikan keturunan. Ia tampak sedih dan tertekan, padahal saya tak pernah menuntut dia. Soal anak itu kan Allah yang menentukan. Miko malah menyuruh mencari wanita lain untuk saya nikahi agar saya bisa punya keturunan. Padahal tanpa anak pun kami tak masalah dan akan baik-baik saja." Dimas menceritakan permasalahan yang ada.
"Dia bahkan menawari saya sejumlah wanita cantik untuk dipilih, coba saja bayangkan betapa rumitnya. Saya tak bisa melakukan keinginan Miko." Dimas mengusap pelipisnya, sementara Fikri manggut-manggut. Ia dapat membayangkan perasaan Dimas yang sedang kacau.
"Sebaiknya kalian diskusi lagi, jangan lupa minta petunjuk Allah dan kalau perlu konsultasi ke pakar pernikahan." Fikri hanya bisa memberikan saran. Ia tak berpengalaman mengurusi masalah pernikahan.
***
TBC