“Hana aku sudah dapat pekerjaan...!!!”
Suara teriakan itu membuat Hana terbangun dari tidurnya. Gadis itu mengucek-ucek matanya sebentar, lalu kembali menajamkan pendengarannya. Padahal dia baru saja terlelap setelah kelelahan bekerja di supermarket. Hana bahkan masih mengenakan seragam kerjanya karena tidak punya tenaga lagi untuk mengganti pakaian.
“Hana ayo keluar...!!!”
Mata Hana masih mengantuk berat langsung nyalang ketika mendengarkan suara itu sekali lagi. Hana lekas menyisir rambutnya, memeriksa kerak mata dan juga wajahnya, lalu kemudian membuka jendela kamar kost-nya itu lebar-lebar.
“Nathan...?”
Hana terkejut melihat Nathan yang berada di bawah sana.
“Ayo buruan ke sini...!” teriak Nathan lagi.
Hana pun bergegas turun menemui Nathan. Di ujung sana Nathan tersenyum girang sambil menggoyang-goyangkan sebuah map di tangannya. Hana pun mendekat dengan tatapan heran. Dia melirik Nathan dari ujung kaki hingga kepala. Hari ini penampilan pria itu terlihat sangat berbeda. Nathan mengenakan setelan kemeja formal, celana dasar dan lengkap dengan sepatu kulitnya. Tidak hanya itu, rambutnya sebelumnya agak panjang dan terkesan berantakan kini juga terlihat rapi dan klimis.
“K-kamu dari mana?” tanya Hana.
Nathan yang masih tersenyum langsung menarik Hana ke dalam pelukannya dan mendekapnya dengan sangat erat. Hana pun semakin heran. Apalagi saat Nathan mulai menggoyang-goyangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Binar mata Nathan benar-benar menyiratkan rasa bahagianya yang tidak terhingga.
“Kamu kenapa, sih? sepertinya senang sekali. Sampai teriak-teriak juga malem-malem begini. Nanti anak-anak yang lain merasa terganggu, lho.” Hana melepaskan diri dari pelukan Nathan dan menatap pemuda itu lekat-lekat.
“Aku dapat pekerjaan! aku berhasil mendapatkan pekerjaan!” pekik Nathan girang.
Bola mata Hana membulat. Gadis itu pun mengelus kepala Nathan dengan lembut. “Selamat, ya... akhirnya perjuangan kamu menemukan titik terang juga.”
Nathan mengangguk cepat. “Akhirnya... akhirnya aku bisa menikahi kamu.”
Deg.
Hana tersentak. Nathan kini menatapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Sementara itu Hana masih tertegun dengan kelopak mata yang terus berkedip dengan cepat. Hana bahkan tidak bisa memercayai kalimat yang baru saja didengarnya itu.
“M-maksud kamu?” tanya Hana.
Nathan tidak menjawb dan kembali memeluk Hana dengan erat. Pemuda itu mengelus kepala Hana penuh kasih dan mengecupnya ringan.
“Sekarang aku bisa menjaga kamu! Sekarang aku akan membahagiakan kamu... Sekarang saatnya kita untuk menjalani sisa hidup ini bersama-sama.” Nathan berucap lembut dengan binar tekad dan keyakinan yang terpancar jelas di kedua matanya.
_
Bibir Hana membentuk lengkungan tipis saat teringat kenangan itu. Rasanya baru kemarin dia mendengar Nathan mengucap janji suci sehidup semati dengannya. Rasanya baru kemarin mereka hidup berdua di dalam kamar kost yang sempit dan pengap. Kehidupan mereka setelah menikah memang serba pas-pasan secara finansial. Setelah menikah, Hana keluar dari pekerjaannya di supermarket. Mereka hanya mengandalkan gaji Nathan yang bekerja di sebuah pabrik roti di kota Padang. Sebagai seorang istri Hana harus pandai berhemat agar dapur yang tetap mengepul. Tidak ada cerita uang berlebih. Tidak ada barang-barang mewah. Tidak ada perhiasan yang mahal, namun saat itu...
Mereka merasa bahagia.
Saat itu Hana bisa melihat Nathan setiap hari. Dia bisa memeluknya sepanjang malam. Hal yang paling disukai Hana adalah menunggu Nathan pulang dari bekerja. Masih terbayang jelas diingatannya bagaimana Nathan tersenyum walaupun dia sebenarnya sudah kelelahan karena bekerja. Nathan akan segera mandi membersihkan diri, sementara itu Hana akan menyiapkan makanan untuknya. Menu makanan pun seadanya saja. Kadang hanya sebutir telur ceplok yang nantinya juga dibagi dua.
Sebenarnya Hana merasa baik-baik saja dengan kehidupan yang seperti itu. Namun diam-diam Nathan mulai dirasuki rasa bersalah. Dia merasa tidak bisa membahagiakan Hana. Dia merasa tidak bisa memenuhi janjinya. Karena itulah Nathan memutuskan untuk mengajak Hana merantau ke Ibukota. Nathan berharap bisa memberikan kehidupan yang lebih layak. Nathan ingin memenuhi janjinya. Nathan ingin lepas dari jerat masalah finansial yang selalu membuatnya sakit kepala. Siapa sangka, ternyata Nathan memang berhasil. Kehidupannya kini berbeda 180 derajat. Dia bisa memberikan Hana kartu kredit tanpa limit. Dia bisa membelikan Hana perhiasan mahal dan juga rumah mewah. Sekarang Hana bisa membeli apa saja tanpa perlu bertanya terlebih dahulu ini berapa? Tapi...
Dia tidak bahagia.
TING TONG
Suara bel membuat Hana tersadar dari lamunan panjangnya. Hana mengernyit heran. Dia beralih emnatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Tidak ada suara mobil yang terdengar, tapi siapa yang berkunjung ke rumahnya malam-malam seperti ini?
“Apa mungkin Airin?” bisik Hana.
Hana pun segera keluar dari kamarnya untuk memeriksa. Setiba di dekat pintu dia memperlambat langkah kakinya. Hana yang sedikit takut mengintip lewat kaca jendela terlebih dahulu.
Deg.
Mata perempuan itu langsung membulat. Secepat itu juga dia memutar knop pintu dan membukanya dengan sangat kuat.
“Nathan...!”
Nathan tersenyum tipis. Dia menatap Hana lekat-lekat. Kedua matanya terlihat sendu. Tidak ada kata yang diucapkannya. Nathan hanya terus memandang Hana. Tidak beberapa lama setelah itu dia berjalan lebih dekat dan menjatuhkan kepalanya di pundak Hana.
“K-kamu kenapa?” tanya Hana.
Nathan meneguk ludah. “Maafkan aku....”
Hana mengangkat wajah Nathan dengan kedua telapak tangannya, lalu menatap wajahnya lekat-lekat. Hana mengenali raut wajah itu. Dia paham betul dengan mimik wajah Nathan yang seperti ini.
“Kenapa? apa yang sudah kamu lakukan? Kenapa kamu merasa bersalah?” tanya Hana.
Kelopak mata Nathan membuka dan menutup sangat pelan. Sorot mata itu benar-benar melukiskan rasa bersalah yang teramat dalam. Hana pun menatap heran. Tidak biasa-biasanya Nathan terlihat seperti itu.
“K-kamu merasa bersalah karena tidak bisa membalas pesan aku? karena tidak menjawab panggilan telepon dari aku? atau kamu merasa bersalah karena tidak bisa pulang ke rumah? Tidak apa-apa! aku bisa memakluminya. A-aku—”
Nathan langsung memeluk Hana dan kembali membenamkan wajahnya di pundak perempuan itu.
“Kenapa kamu merasa bersalah?” bisik Hana.
Nathan memeluk Hana lebih erat. Dia tidak menjawab pertanyaan itu, namun dalam hati dia pun berucap.
“Karena aku sudah mengkhianati kamu....”
_
Hana menatap Nathan yang sudah terlelap di sampingnya. Raut wajah pria itu terlihat lelah. Hana pun memiringkan tubuhnya untuk bisa melihat sosok Nathan lebih jelas. Setiap inci dari wajah itu membuat Hana tersenyum. Bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, bibir yang merah alami, serta bagian favorit Hana yaitu rahangnya yang tegas dan tajam seperti dipahat.
Sebenarnya Hana sangat merindukan Nathan. Dia ingin berbincang lebih lama. Dia masih ingin bermanja-manja padanya. Lebih dari itu Hana tentu saja ingin mencumbunya. Dia tidak menampik bahwa sekarang dia sangat menginginkan itu. Hana pun meneguk ludah. Jemarinya perlahan menyentuh pipi Nathan dan mengelusnya dengan lembut. Setelah itu Hana juga melingkarkan tangannya perlahan ke tubuh Nathan.
“Kamu sudah tidur?” tanya Hana setengah berbisik.
Nathan membuka matanya.
Hana pun tersenyum tipis. “A-aku mau—”
“Maaf... tapi hari ini aku sangat lelah.” Nathan menyingkirkan tangan Hana yang melingkar dipingganya, lalu berbalik membelakangi istrinya itu.
Deg.
Hana menatap nanar dengan d**a yang terasa sesak. Dia sudah jengah dengan alasan itu. Terakhir kali Nathan juga menggunakan alasan yang sama. Bibir Hana pun terbuka hendak meluapkan kekesalannya, namun kemudian Hana teringat raut wajah Nathan yang tadi terlihat begitu bersalah. Hana pun mengurungkan niatnya. Dia memilih untuk mengalah. Dia memilih untuk memahami.
“Mungkin sebaiknya aku tidak mengganggunya lagi setiap hari... Yah, mungkin selama ini aku memang egois dan tidak memikirkan perasaannya,” bisik Hana dalam hati.
Hana menggeser tubuhnya dan membenamkan wajahnya ke punggung Nathan. Aroma tubuh itu setidaknya memberikannya sebuah kenyamanan. Matanya pun mulai terpejam dengan sebuah senyuman yang masih tergurat di wajahnya.
“Tidak apa-apa... seperti ini pun aku sudah merasa bahagia,” bisik Hana dalam hatinya.
Sementara itu, Nathan juga membuka matanya perlahan. Dia merasakan hangatnya helaan napas Hana di punggungnya. Tidak lama kemudian dia juga merasakan punggungnya yang basah. Nathan menelan ludah. Apakah Hana kini menangis?
Benar.
Hana memang menangis. Air mata perempuan itu terus mengalir dari balik kelopak matanya yang tertutup rapat. Hana menangis tanpa suara. Air matanya sudah membasahi punggung Nathan yang memang tidur dengan bertelanjang d**a.
Nathan merasakan aliran hangat itu terus mengucur di punggungnya. Sebenarnya dia bisa saja berbalik dan membujuk Hana. Sebenarnya dia bisa saja menanyakan kenapa Hana menangis. Sebenarnya dia bisa saja memeluk istrinya itu untuk menenangkannya. Namun Nathan tidak melakukannya. Karena sebenarnya Nathan sudah tahu kenapa Hana menangis. Dia sebenarnya mengerti akan keinginan Hana. Tapi Nathan benar-benar tidak mempunyai gairah sedikit pun untuk melakukannya. Dia kehilangan hasrat pada perempuan itu.
Apa dia tidak lagi mencintainya?
Tidak!
Nathan jelas masih peduli pada Hana. Dia bahkan dihantui rasa bersalah yang teramat sangat. Itu jugalah yang menjadi alasan kenapa dia memutuskan untuk pulang malam ini. Nathan pun memejamkan matanya rapat-rapat ketika terbayang segala dosa yang sudah dia lakukan bersama Samanta.
Sekelebat bayangan tentang Samanta pun langsung memenui ingatannya. Bagaimana perempuan itu tersenyum padanya, bagaimana sorot perempuan itu menatapnya, bagaimana perlakuan Samanta padanya,
Kenapa?
Tanda tanya besar pun kini bergelayut di hati dan pikiran Nathan. Sebenarnya sejak kapan dia mulai melihat Samanta dengan cara yang berbeda? sejak kapan dia mulai tertarik dengan perempuan itu? Nathan pun tersenyum saat teringat dengan kata-kata Samanta yang dulu sempat ditertawakannya.
Samanta pernah mengatakan bahwa dia selalu terlibat cinta lokasi dengan lawan mainnya. Nathan benar-benar tidak percaya bahwa hal itu juga menimpanya. Kebersamaan di lokasi syuting, seringnya menghabiskan waktu bersama, nyatanya membuat iman Nathan goyah. Nathan masih belum yakin bahwa dia telah jatuh cinta pada Samanta, namun yang pasti Nathan mulai merasa nyaman dengan perempuan itu. Dia bahkan selalu merasa bersemangat setiap harinya. Proses syuting yang biasanya terasa melelahkan kini malah terasa menyenangkan. Ya, Nathan memang tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.
“Apakah aku telah jatuh cinta kepadanya?”
_
Bersambung...