Saat Raga Dibatasi Jarak dan Waktu

1593 Kata
Waktu terus bergulir. Hari demi hari berlalu dengan cepat. Hana tetap saja berkutat dengan rasa sepi. Sedangkan Nathan juga menghabiskan waktu dengan kesibukannya sebagai publik figur. Nathan masih disibukkan dengan syuting film-nya bersama Samanta. Beberapa hari belakangan mereka bahkan melakukan proses syuting di luar kota. Hal itu membuat Hana semakin kesulitan untuk menghubungi Nathan. Satu-satunya yang bisa dilakukan Hana untuk mengobati rindu hanyalah dengan melihat wajah Nathan di layar kaca. Beberapa hari belakangan Hana juga selalu mendengar lagu-lagu Nathan setiap malam. Padahal Hana bukanlah seorang penikmat musik. Dari dulu dia sama sekali tidak tertarik dengan musik dan lagu. Satu-satunya alasan Hana mendengarkan lagu itu hanyalah karena suara Nathan. Lagu itu membuat Hana bisa mendengar suara suaminya berulang-ulang. Walau tidak mampu menepis rindu, tapi setidaknya itu bisa membuatnya sedikit tenang.                                                                        Siang ini Hana sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya yang sebenarnya juga tidak seberapa. Beberapa hari terakhir dia juga tidak memasak dan memilih untuk memesan makanan siap saji saja. Sehari-hari Hana hanya menghabiskan waktunya di tempat tidur. Meskipun sudah tidur dalam waktu yang sangat lama, tetapi Hana terus saja mengantuk dan lelah sepanjang hari.  “Aku benar-benar merasa bosan,” desis Hana. Sejak merantau ke Ibukota dua tahun lalu, Hana memang tidak mempunyai teman sama sekali. Jauh sebelum Nathan menjadi selebritis pun, Hana hanya menghabiskan waktunya bersama Nathan seorang. Hana pun beranjak ke halaman rumahnya. Rumput di halaman itu sudah terlihat meninggi. Beberapa semak liar juga sudah tumbuh di pinggir pagar. Halaman rumah itu tidak terlalu luas. Satu hal yang disukai Hana adalah di sudut halaman itu ada sebuah pohon jambu bijiyang sekarang sudah berbuah lebat. Senyum Hana tersungging saat dia melihat sebuah buah jambu biji berukuran besar yang sudah masak.Tanpa ragu Hana langsung mendekat dan mulai meraih dahan pohon yang bisa dijangkaunya. Dalam sekian detik dia sudah berhasil memanjat pohon itu. Kemampuan Hana yang satu itu ternyata belum berkurang. Tatapannya masih tertuju pada buah jambu biji yang berukuran besar itu. Hana memijak sebuah dahan yang cukup kuat. Tangan kanannya memegang sebuah dahan di atasnya dan tangan kirinya pun berusaha keras untuk menjangkau buah jambu itu. Hap. “Yess...!!!” Hana bersorak begitu berhasil mendapatkannya. “Aku juga mau!” Deg. Hana terkejut mendengar suara itu. Dia segera melihat ke bawah dan ternyata itu adalah suara seorang bocah laki-laki yang merupakan anak tetangganya. Bocah cilik itu kini tengah menengadah menatap Hana dari balik pagar. “Hamid... kamu ngapain di sana?” sergah seorang perempuan yang lekas berlari menghampiri bocah itu. Hana yang masih berdiri di atas pohon pun tersenyum malu, sedangkan ibu dari bocah itu juga balas tersenyum tipis sambil memegang kedua pundak putranya. “Tunggu sebentar ya... Kakak akan mengambilkannya untuk kamu,” ucap Hana  kemudian. Akhirnya Hana memetik lagi beberapa buah jambu biji untuk bocah itu. Setelah mendapatkannya, Hana segera turun dan mengantarkan buah itu ke sebelah dengan langkah riang. “Ini untuk kamu!” Hana menyerahkan beberapa buah jambu biji kepada bocah itu. Bocah lelaki dengan gigi ompong itu hanya menatap sekilas, lalu menyembunyikan kedua tangannya ke belakang punggung. Hana pun menatap bingung, ibu dari bocah itu pun segera berbisik ke telinga anaknya. “Ayo ambil buahnya dan bilang terima kasih,” ucap sang ibu. Hana kembali menyodorkan jambu biji di tangan kanannya itu sambil tersenyum. “Aku nggak mau,” rengek bocah itu. Hana mengernyitkan dahinya. “Kenapa?” Tatapan Hamid beralih pada jambu biji berukuran jumbo yang ada di tangan kiri Hana. Menyadari hal itu Hana pun tertawa pelan. sementara sang ibu dari bocah itu tersenyum malu. “Kamu mau yang ini, ya?” tanya Hana. Hamid langsung mengambil buah itu dengan cepat dan segera berlari pergi. “M-maafkan anak saya, ya,” ucap ibu Hamid. Hana lekas menggeleng. “Nggak apa-apa kok, Mbak... oh iya sebelumnya kenalkan, saya Hana.” Hana menjulurkan tangannya. Perempuan dengan potongan rambut pendek sebahu itu pun menyambut uluran tangan Hana sambil tersenyum. “Saya Airin!” “Padahal saya sudah hampir setahun tinggal di sini, tapi belum pernah menyapa,” ucap Hana malu-malu. Airin pun tersenyum. “Kalau kamu tidak keberatan ayo mampir dulu... kita bisa minum teh bersama.” “T-tapi—” Hana terlihat ragu. “Ayolah... ayuk kita masuk dulu!” Airin pun menyeret Hana untuk masuk ke dalam rumahnya. _ Suasana dalam rumah Airin begitu nyaman dan asri. Ada banyak tanaman hias dan juga aneka lukisan yang memenuhi setiap sisi dinding rumahnya. Selain itu di pojokan senelum anak tangga, terdapat sebuah sudut yang dipenuhi oleh peralatan melukis. Hana pun terkesima melihat berbagai lukisan yang tersebar itu. Tidak lama kemudian sosok Airin pun kembali muncul dengan membawa nampan yang berisi dua cangkir teh untuk mereka berdua. “Nah... ayo silakan diminum dulu tehnya,” ucap Airin ramah. Hana tersenyum malu, kemudian menyeruput teh itu perlahan setelah meniupnya terlebih dahulu. Airin pun memerhatikan sosok Hana lekat-lekat, lalu tersenyum tipis. “Sepertinya kamu jarang keluar rumah, ya?” tanya Airin. “I-iya, Mbak,” jawab Hana. “Kamu umur berapa?” tanya Airin. “24 tahun.” Airin membelalak kaget, dia langsung meletakkan gelas tehnya, lalu menatap Hana dengan raut wajah antusias. “K-kamu serius? Berarti kita seumuran... kamu nggak perlu manggil aku Mbak segala,” sergah Airin. Hana menatap tak percaya. Apalagi Airin juga sudah dikarunia seorang anak yang sudah cukup besar. Menyadari raut wajah Hana, Airin pun mengerti dan langsung menjelaskan. “Aku menikah saat kelas tiga SMA,” ucap Airin kemudian. “K-kelas tiga SMA?” Hana semakin merasa bingung. Airin pun tersenyum malu. “Sebenarnya aku malu mengatakan ini... tapi dulu itu aku hamil di luar nikah.” Deg. Hana melotot kaget. “Kamu pasti kaget, ya?” Airin menyeringai pelan. “Tapi semua berakhir dengan baik kok. Ayah Hamid adalah sosok yang bertanggung jawab. Dia langsung menikahi aku dan juga memboyong aku pindah ke sini.”  Hana menelan ludah. “L-lalu di mana ayah Hamid sekarang?” “Dia bekerja di Malaysia dan hanya pulang sekali dua minggu... kadang juga satu bulan sekali saja. Malahan kalau pekerjaannya terlalu banyak, dia bisa tidak pulang selama tiga bulan berturut-turut,” jawab Airin. Hana terhenyak mendengar cerita itu. Dia merasa bahwa Airin memiliki kemiripan dengannya. Raut wajah Airin pun mendadak berubah sendu. Dia meneguk gelas tehnya dengan tatapan kosong. Hana pun menjadi merasa sedikit merasa bersalah karena sudah melontarkan pertanyaan seperti itu. “M-maafkan aku..., bisik Airin kemudian. Airin tersadar dan langsung tersenyum. “Kenapa kamu minta maaf segala? Hmm... dulu aku memang merasa kesepian dan sedih setiap harinya. Tetapi seiring berjalannya waktu, kehadiran Hamid bisa mengusir semua sepi dan juga menepis rindu. Waktu terasa berjalan begitu cepat karena aku mempunyai kesibukan setiap hari untuk mengurusnya.” Hana berpikir sebentar. “Kesibukan? Seorang anak?” “Kamu sendiri apa sudah menikah?” tanya Airin. Hana terkejut. “S-sudah... aku juga sudah menikah.” Airin menatap heran. “Tapi aku tidak pernah melihat sosok pria sekalipun juga.” “Situasi kita kurang lebih sama... suami aku juga jarang pulang karena kesibukannya,” jawab Hana. Airin menatap nanar sebentar, lalu kemudian tertawa pelan. “Wah... kebetulan macam apa ini? sepertinya kita memang ditakdirkan untuk berteman. Apa kamu mau berteman sama aku?” Hana pun tersenyum senang. “Tentu saja.” Jarum jam terus bergerak, tetapi Hana masih betah bermain di rumah Airin. Sepanjang hari dia melihat bagaimana kesibukan ibu satu anak itu. Hana menemani Airin memask, melihatnya sibuk mengurus Hamid, membuatkan makanannya, mengganti pakaiannya, memandikannya, dan segala t***k bengek kesibukan sebagai seorang ibu yang lainnya. Di mata Hana kegiatan itu terlihat begitu menyenangkan. Airin pun terlihat sangat bahagia melakoni semua kesibukannya itu. Kehidupan ibu dan anak itu terlihat menyenangkan. Suasana rumah Airin pun menjadi begitu heboh karena kehadiran bocah cilik itu. Tidak ada waktu bagi Airin untuk bermenung. Tidak ada waktu bagi perempuan itu untuk merasakan sepi. Hana pun kini menatap iri. “Apa aku juga akan bahagia seperti dia jika mempunyai seorang anak?” tanya Hana dalam hati. _ Nathan baru saja selesai mandi dan ingin segera beristirahat. Lelehan air masih mengalir pelan di wajah dan badannya. Lelaki bertubuh atletis itu hanya mengenakan sehelai benang yang melilit di pinggangnya. Tatapan Nathan pun beralih pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Nathan meraih handphone-nya dan kemudian beranjak keluar menuju beranda kamar yang ada di luar. “H-halo... akhirnya kamu punya waktu senggang ya? apa kamu sudah makan? bagaimana prose syutingnya? Semua baik-baik saja kan? lalu kapan kamu bisa pulang ke rumah?” Nathan menghela napas. Sementara dibalik telepon Hana masih melontarkan pertanyaan yang bertubi-tubi. “Kenapa kamu belum tidur?” tanya Nathan kemudian. “Belakangan ini aku sulit tidur di malam hari,” jawab Hana. “Kenapa?” “Karena aku selalu merindukan kamu....” Nathan menelan ludah. Keadaan pun mendadak hening. Nathan tidak menjawab. Hana pun juga terdiam di seberang sana.” “Apa kita tidak bisa bertemu walau hanya sebentar saja?” tanya Hana. Pupil mata Nathan tersentak. Sebenarnya dia memiliki libur selama dua hari dan besok adalah hari terakhir liburnya. Sebenarnya Nathan bisa saja pulang ke rumah. Sebenarnya hari ini pun dia bisa datang menemui Hana, tapi... Tatapan Nathan beralih pada ranjang di dalam kamar. “Maafkan aku... untuk saat ini aku belum bisa pulang.” Hening. Hana tidak lagi bersuara ataupun berkomentar. “Ya sudah... sebaiknya kamu segera beristirahat,” lanjut Nathan. “T-tapi—” Tut... tut... Hana belum selesai berbicara, tetapi Nathan sudah memutuskan panggilan itu. Dia pun beranjak kembali masuk ke dalam kamar. Langkah Nathan pun terhenti saat perempuan itu menatap padanya. “Kamu sudah bangun?” tanya Nathan. Perempuan berambut pirang itu tersenyum, lalu menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya. Dia duduk di pinggir ranjang itu, lalu menyuruh Nathan mendekat dengan menggerakkan jemarinya. Nathan pun mendekat dan perempuan itu langsung melingkarkan tangannya di pinggang Nathan. Nathan pun tersenyum. “Kamu kenapa, Ta?” Samanta melepas pelukannya, lalu menengadah menatap Nathan. “Kenapa kamu mandi duluan?” “Karena kita harus segera pergi dari sini,” jawab Nathan dengan suara setengah berbisik. Semanta pun beralih meraih leher Nathan, lalu menariknya hingga wajah mereka berdua menjadi sangat dekat. Keduanya bahkan bisa merasakan hangatnya helaan napas masing-masing. “Tapi aku masih menginginkan kamu,” bisik Samanta. Deg. Nathan meneguk ludah, sedangkan Samanta kini memandangnya dengan tatapan menggoda. Sorot mata perempuan itu seolah sudah menghipnotisnya. Nathan menatap wajah cantik itu lekat-lekat. Samanta pun tersenyum seraya melepaskan handuk yang melilit pinggan Nathan. “Aku masih menginginkannya.” Jemari Samanta beranjak menyentuh bagian sensitif milik Nathan. Nathan meneguk ludah. Sorot matanya kini berubah buas. Aliran darah panas pun mulai mengaliri wajahnya. Sedetik kemudian dia langsung melumat bibir Samanta dengan ganas. Deru napas lelaki itu pun memburu. Bibir nathan pun beranjak turun menelusuri leher Samanta dan mengecupnya ringan. Sebelum melanjutkan aksinya, Nathan menatap Samanta, lalu berbisik pelan. “Aku pun juga masih menginginkannya....” _ Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN